AsSajidin.com, Palembang — Mengutip Tafsiralquran.id, ada banyak yang menyebutkan tentang peristiwa yang melatarbelakangi turunnya (asbabun nuzul) Surat Ad-Dhuha.
Semua riwayat itu mengerucut pada satu kondisi, yakni kegundahan Nabi Muhammad SAW akibat terhentinya wahyu dari Allah SWT dalam beberapa waktu.
Disebutkan bahwa setelah sepuluh kali menerima wahyu – yakni 1. Iqra’, 2. al-Qalam, 3. Al-Muzzammil, 4. al-Muddatstsir, 5. al-Lahab, 6. at-Takwir, 7. Sabbihisma, 8. Alam Nasyrah, 9. al-Ashr, dan 10. al-Fajr – Nabi Muhammad SAW dalam beberapa waktu tidak lagi menerima wahyu. Hal ini membuat beliau sedikit khawatir dan gelisah (Tafsir Al-Misbah [15]: 323).
Ketidakhadiran wahyu Al-Quran tersebut melahirkan berbagai tanggapan masyarakat Arab. Bahkan – menurut Quraish Sihab – ini memberi dampak negatif dalam jiwa Nabi SAW (gejolak psikologis).
Beliau menjadi gelisah dan memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi. Diriwayatkan bahwa beliau sampai bolak-balik pergi ke gua Hira karena sangat menginginkan wahyu datang.
Di tengah kegundahan Nabi Muhammad SAW, seorang perempuan berkata kepada beliau – dikatakan itu adalah Ummu Jamil istri Abu Lahab – “Wahai Muhammad, setanmu benar-benar telah meninggalkanmu.” Lantas turunlah firman Allah SWT dalam surah Ad-Dhuha. (HR. Bukhari, no. 4983).
Identitas tokoh yang mengatakan hal itu memang simpang siur, namun melalui riwayat tersebut kita dapat memahami bahwa nabi sedang dalam kondisi gejolak jiwa.
Ditolak
Pandangan di atas ditolak oleh Muhammad Abduh, sang pembaharu tafsir modern.
Menurutnya, kecil kemungkinan kaum musyrikin mengetahui ketidakhadiran wahyu.
Baginya, yang sebenarnya terjadi adalah Nabi Muhammad SAW. begitu merindukan wahyu setelah merasakan manisnya keterhubungan dengan Allah swt. Akibatnya, beliau takut, gelisah, khawatir jikalau itu terjadi secara permanen (Tafsir al-Manar).
Ketidakhadiran wahyu Al-Quran ini berlangsung dalam beberapa waktu. Ada riwayat yang menyebutkan 2 atau 3 hari, ada yang menyebutkan 12 hari yakni al-Thabari, dan ada pula yang menyatakan selama 15 hingga 40 hari.
Namun jika kita berkaca pada besarnya kegundahan Nabi Muhammad SAW – hingga dikatakan al-Maraghi beliau hampir frustasi – maka dapat disimpulkan bahwa itu terjadi dalam waktu yang cukup lama.
Orang-orang mungkin bertanya, sebenarnya apa yang menyebabkan wahyu terhenti?
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa penyebabnya adalah seekor anjing, tetapi pendapat ini ditolak oleh Ibnu Hajar.
Menurutnya, kisah lambatnya turun yang disebabkan anak anjing itu mahsyur, akan tetapi itu sangat gharib bahkan ganjil dan terbantahkan oleh hadis dalam kitab Shahih Bukhri.
Terlepas dari apa penyebab terhentinya wahyu, menurut sebagian ulama peristiwa ini – baik fatratul wahyi sebelum turunnya al-Muddatstsir atau ad-Dhuha – menunjukkan bahwa otoritas pewahyuan sepenuhnya berada di tangan Allah SWT, bukan atas kehendak Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang dituduhkan oleh orang-orang kafir bahwa beliau memanipulasi wahyu. Allah SWT adalah pemilik wahyu dan Dia-lah yang mengaturnya.
Menurut Quraish Shihab, ketika Surah Ad-Dhuha turun dikisahkan bahwa Nabi SAW bertakbir karena senang dan gembira.
Dari pengamalan beliau inilah, para ulama menganjurkan agar setiap selesai membaca surat ini dan surat-surat yang tercantum dalam Mushaf sesudah ad-Dhuha agar bertakbir pula, baik pembacaan tersebut dalam shalat, maupun di luar shalat. (Tafsir Al-Misbah [15]: 325).
Namun riwayat yang menyebutkan Nabi SAW bertakbir tersebut tidak bisa dikatakan sahih, karena hadisnya dhaif.
Hal ini telah disampaikan oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’lan al-Azim dan Imam asy-Syaukani dalam Fath al-Qadir.
Meskipun demikian, jika kita merujuk pada peristiwa kegundahan Nabi Muhammad saw, maka suatu hal yang wajar seandainya beliau bertakbir ketika wahyu kembali datang sebagai bentuk kegembiraan.
Keutamaan
Melansir Liputan6.com, Surah ad-Dhuha merupakan surah ke-93 dalam Al-Quran. Surah ini tergolong dalam surah Makkiyah karena diturunkan di Kota Makkah.
Surah yang terdiri dari 11 ayat ini disebut dengan ad-Dhuha yang berarti waktu Dhuha. Di mana waktu dhuha adalah ketika matahari sepenggalahan naik.
Berikut keutamaan Membaca Surah Ad-Dhuha:
1. Senilai 360 sedekah
“Di dalam tubuh manusia terdapat tiga ratus enam puluh sendi, yang seluruhnya harus dikeluarkan sedekahnya.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Siapakah yang mampu melakukan itu wahai Nabiyullah?”
Beliau menjawab, “Engkau membersihkan dahak yang ada di dalam masjid adalah sedekah, engkau menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan adalah sedekah. Maka jika engkau tidak menemukannya (sedekah sebanyak itu), maka dua rakaat Dhuha sudah mencukupimu.” (HR. Abu Dawud).
2. Mengajarkan untuk berperilaku baik pada anak yatim
Anjuran ini jelas tercantum dalam Surah Ad-Dhuha ayat 9 yang artinya,
“Maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewenang-wenang.”
Allah memerintahkan kita untuk tidak berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim.
Nabi Muhammad SAW yang merupakan Rasul Allah pun adalah sosok yang sangat menyayangi serta memuliakan anak yatim.
Manfaat dari mengimani ayat ini adalah kita terbiasa untuk bersikap baik ke anak yatim dan semua orang.
3. Mengingatkan manusia untuk selalu bersyukur
Allah SWT menyayangi hamba-hamba-Nya yang senantiasa bersyukur. Surah ad-Dhuha ayat 11 yang artinya:
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur)”.
Manfaat dari mengucap dan merasa bersyukur adalah selalu merasa cukup dan terhindar dari sikap iri dengki terhadap hal-hal yang tidak kita miliki.
Hal ini tentu baik bagi ketenangan hati dan pikiran agar kita terhindar dari stress.
4. Membuat diri mudah melakukan ibadah
Ibadah shalat dhuha merupakan salah satu cara untuk mendatangkan rezeki.
InsyaAllah dengan melaksanakan serta membaca surahnya, dan yakin atas kuasa Allah, kita akan mendapatkan rezeki yang berlimpah.
Rezeki yang bermanfaat bagi kehidupan dunia maupun akhirat.