Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dan Pemenuhan Hak Konstitusional nya
Oleh: Albar Santosa Subari
Ketua Lembaga Adat Melayu Sumatera Selatan
ASSAJIDIN.COM –Setidak tidaknya bagi Mahkamah Konstitusi ada dua alasan mengapa masyarakat hukum adat atau kesatuan masyarakat hukum adat perlu diberdayakan, dalam arti dipenuhinya hak hak konstitusionalnya yaitu:
a, bahwa MK sebagai pengawal konstitusi harus mengawal dua ketentuan UUD 45, yaitu ketentuan Pasal 18 B ayat (2) yang berbunyi, Negara mengakui dan melindungi kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisional nya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Dan Pasal 28 ayat (3) yang berbunyi ” Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
b, bahwa menurut Pasal 51 ayat (1) UU no 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ( UU 24/2003), Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang memenuhi empat koridor konstitusi termasuk salah satu subjek hukum yang dapat menjadi pemohon dalam pengujian undang-undang yang dianggap merugikan hak hak konstitusionalnya Masyarakat Hukum Adat/ Konstitusi Masyarakat Hukum Adat.
Dari dua ketentuan konstitusi jelas apakah istilah kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat yang dipakai dalam pasal 18 B ayat (2) UUD 45 mempunyai makna yang sama dengan istilah ” masyarakat tradisional” yang dipakai dalam pasal 28 I ayat (3) UUD 45 yang jelas, dapat diidentifikasi bahwa;
pertama, bahwa KMHA bernuansa pemerintahan, karena diletakkan di bawah bab VI Pemerintahan Daerah, sedangkan ” masyarakat tradisional” lebih bernuansa kultural/ budaya dan terkait dengan hak asasi manusia ( HAM), karena di letakkan di bawah bab XA Hak Asasi Manusia.
Kedua, bahwa untuk KMHA negara memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap hak hak tradisional nya, sedangkan untuk masyarakat tradisional, negara hanya memberikan penghormatan.
Ketiga, kedua pasal konstitusi tersebut memberikan persyaratan tertentu, yaitu untuk KMHA (1) sepanjang masih hidup: (ii) sesuai dengan perkembangan masyarakat (III), sesuai dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia dan (IV). diatur dalam undang-undang. Sedangkan untuk masyarakat tradisional, identitas budaya dan haknya baru dihormati apabila selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Masalah yang muncul adalah ukuran ukuran apa dan siapa yang berwenang menentukan ukuran ukuran dimaksud, agar suatu KMHA dikatakan masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan sesuai dengan prinsip NKRI. Apakah frasa diatur dalam undang-undang yang tercantum dalam pasal 28 B ayat (1) UUD 45 mengandung makna bahwa kriteria harus diatur dengan undang-undang khusus mengenai KMHA, ataukah cukup asal sudah diakomodasi dalam berbagai undang-undang sektoral, seperti UU Pemda, UU Kehutanan, YU Perkembangan, UU Perikanan dan lain sebagainya, seperti yang dilakukan selama ini?. Sedangkan untuk masyarakat tradisional, karena tidak ada perintah untuk diatur dalam atau dengan undang-undang, siapakah yang memiliki otoritas untuk menentukan kriteria bahwa identitas budaya dan hak hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban?