KAJIAN

Refleksi Atas Relasi Pancasila, Agama dan Budaya

Oleh : Albar Santosa Subari

ASSAJIDIN.COM — Sebagai sumber tata nilai dan sistem simbolik, ketiganya, dalam dimensi tertentu, mengalami persaingan dalam mendefinisikan realitas, tetapi dalam dimensi yang lain mereka dapat saling bekerjasama, dak Ng mengisi dan saling membutuhkan. Hubungan yang tidak saling mengganggu dan saling mencari, akan terjadi, jika ketiganya memposisikan diri dalam ranah yang dimiliki dan sekaligus menyadari akan limitasi nya.
Agama dan kebudayaan misalnya, by nature mengalami kerisauan abadi atas setiap perubahan yang disodorkan, khususnya oleh globalisasi yang serba menuntut homogenisasi dan sekularisasi. Penagihan perubahan yang begitu cepat yang serba membutuhkan jawaban normatif, tidak selalu tersedia jawaban cepat – saji dari agama. Sebagai sistem nilai yang bersifat deduktif ( dibenarkan dulu baru dibuktikan), membuat agenda cenderung mengalami kesulitan untuk meramu jawaban instan yang dibutuhkan tanpa mereduksi nilai kesakralan. Perubahan yang diakibatkan modernisasi yang tanpa mempertimbangkan dampak ikutannya, sekularisasi, yang mengancam eksistensi agama, merupakan musuh utama dari semua agama..
Demikian juga yang terjadi dalam kebudayaan. Sebagai sumber nilai dan sistem simbolik yang sebagian diproduksi dari tradisi, modernisasi yang menawarkan perubahan yang tanpa memperdulikan keberadaan tradisi, mudah mengancam eksistensi budaya dalam semangatnya untuk melestarikan nilai nilai lama. Sementara disharmoni antara Pancasila dan Agama sering kali terjadi, jika keduanya telah mengalami perubahan.
Posisi agama sebagai ADDIN, dalam tatanan sistem nilai merupakan ” beyond’ ideologi. Tetapi agama bisa menjadi ideologi jika telah memfungsikan diri sebagai legitimasi status quo ( kekuasaan).. Sebaliknya Pancasila bisa berubah menjadi” pseudo-agama” , jika ia menduduki karakteristik agama sebagai doktrin yang taken for granted, given, sami’na wa-atho ‘ na ( mendengar dan taat) yang tidak dapat dikritik dan bersikap doktriner. Pancasila hanya akan memiliki fungsi optimal jika ia diletakkan sebagai ideologi terbuka.

Lihat Juga :  Chiki 'Ngebul" Dilarang Dikonsumsi, ini Bahayanya

 

Jika ingin melacak sejarah, ternyata dari serangkaian kilasan sejarah yang tersedia, bahwa setiap gerakan yang muncul dalam panggung bangsa Indonesia merupakan kontinuitas yang saling mengisi. Boedi Utomo yang dikobarkan oleh dokter Soetomo dan kawan-kawan, seringkali dijadikan tonggak sejarah atas hari Kebangkitan Nasional.. Gerakan moral yang semula bersekala regional ( etnis Jawa) saling mencari – sebagai kesadaran awal paham kebangsaan.
Gerakan itu mengilhami Sumpah Pemuda, yang mempertegas kebutuhan; satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa, yang tanpa menyertakan satu agama sebagai bentuk pencegahan pelembagaan pembulatan mayoritas, yang dapat memadamkan pluralisme. Jangkauan imajinasi budaya yang dituangkan dalam Sumpah Pemuda, bukan sekedar memuat kebutuhan historis, tentang Bhinneka Tunggal Ika, tetapi juga menyediakan pencegahan kemungkinan terjadi nya negara agama..
Pada 1 Juni, bung Karno merumuskan Pancasila sebagai ideologi negara, sebagai upaya mempertegas lagi bahwa pluralisme adalah conditio sine quo non bagi Bangsa Indonesia.
Dalam periode orde baru, posisi Pancasila yang telah diletakkan sebagai ” pseudo-agama, yang tertutup terhadap kritik dan difungsikan sebagai legitimasi kekuasaan. Akibatnya Pancasila telah mengalami berbagai distorsi dan krisis legitimasi”.

Lihat Juga :  Tergugah Nyaleg DPRD Palembang untuk Wujudkan Keadilan Sosial

Sementara itu di tengah tengah era reformasi di mana keterbukaan telah mendapatkan ruang terbesar sepanjang sejarah Indonesia, sisa keraguan terhadap Pancasila mulai muncul lagi. Bahkan tawaran ideologi alternatif ( piagam Jakarta) mulai marak diwacanakan kembali.
Sebaliknya semangat romantisasi untuk mengembalikan Pancasila secara murni dan konsekuen, juga mulai bergairah lagi. Kini wacana yang ” mempersoalkan” Pancasila sebagai ideologi negara tidak seproduktif pada zaman periode pertama ( perdebatan Bung Karno dan Natsir) ( Anis Saidi, 2004).
Kembali jika kita merekonstruksi sejarah, sejak kelahirannya sampai pasca reformasi kendala Pancasila sebagai guidance bangsa hanya di seputar inkonsistensi penerapan nya dan relasinya dengan agama yang secara laten belum selesai sejak Pancasila ditetapkan sebagai ideologi negara..
Tidak pernah terbayangkan bahwa warisan perdebatan lama antara Bung Karno dengan Natsir tentang Pancasila dan Piagam Jakarta, kini terulang lagi ( idem).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button