NASIONALPENDIDIKAN

Bejat dan Sungguh Tidak Bermartabat 

ASSAJIDIN.COM — Dunia pendidikan tanah air khususnya ponpes kembali tercoreng setelah tewasnya Bintang, santri Ponpes Al Hanifiyah Kediri.

Bintang yang asal Banyuwangi ini tewas mengenaskan dianiaya empat seniornya. Korban meninggal dunia Jumat (23/2/2024) siang.

Kasus ini terkuak ke publik setelah video kemarahan keluarga korban kepada pria yang mengantarkan jenazah Bintang, viral.

Di video itu, tampak darah masih berceceran dari kain kafan korban. Video tersebut beredar di media sosial hingga grup WhatsApp.

Sebelum meninggal dunia, Bintang juga sempat mengirim pesan kepada keluarganya di Afdeling Kampunganyar, Dusun Kendenglembu, Desa Karangharjo, Kecamatan Glenmore, Banyuwangi melalui WhatsApp (WA).

Pesan itu berisi permintaannya untuk dipulangkan dari pondok yang berada di Kecamatan Mojo, Kota Kediri. Bintang mengaku sudah tidak kuat berada di sana.

Dalam pesannya kepada keluarga, Bintang sempat mengaku ketakutan. Namun, dia tidak menjelaskan apa yang membuatnya takut.

 

Membimbing Anak Didik

Menurut H.M. Arifin (1995: 148) Tujuan umum pesantren adalah membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmunya menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.

Pesantren berfungsi sebagai pusat pendidikan dan penyiaran ajaran agama Islam. Kedua fungsi ini bergerak saling menunjang, pendidikan dapat dijadikan bekal dalam mengumandangkan dakwah sedangkan dakwah bisa dimanfaatkan sebagai sarana dalam membangun sistem pendidikan.

Dalam Mukernas ke-5 RMI (Rabithah al-Ma’ahid alIslamiah) di Probolinggo pada tahun 1996, disebutkan ada tiga peran dan fungsi pesantren sesuai watak kemandirian dari visi emansipatorisnya.

Pertama, sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam. Artinya, pesantren ikut bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa dan mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia yang memiliki ilmu pengetahuan yang handal, serta dilandasi iman dan takwa yang kokoh.

Kedua, sebagai lembaga perjuangan dan dakwah Islamiah. Artinya, pondok pesantren bertanggungjawab mensyiarkan agama Allah serta ikut berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan umat beragama serta meningkatkan kerukunan antarumat beragama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Ketiga, sebagai lembaga pemberdayaan dan pengabdian masyarakat. Artinya, pesantren wajib mendarmabaktikan peran, fungsi, dan potensi emansipasi yang dimilikinya guna memperbaiki kehidupan serta memperkokoh pilar eksistensi masyarakat demi terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil, beradab, sejahtera, dan demokratis.

Sistem pengajaran di pondok pesantren terbagi menjadi dua yaitu sistem pembelajaran klasikal dan sistem pembelajaran non klasikal.

Sebagai lembaga pendidikan pondok pesantren memiliki beberapa metode pembelajaran, antara lain: sorogan, bandongan atau wetonan, halaqoh, metode hafalan / tahfiz, metode muazakaroh/bathsul masa’il.

Para santri yang mondok maupun santri kalongan sama-sama belajar pada tempat dan waktu yang sama.

 

7 Metode

Ada 7 metode yang biasanya dilakukan oleh pondok pesantren untuk mencapai tujuan utama yaitu membentuk santri yang berakhlakul karimah atau berakhlak mulia seperti :

1. Pembelajaran Agama: Pondok pesantren memberikan pendidikan agama yang kuat sebagai bagian utama dari kurikulum.

Lihat Juga :  Maksuba, Kue Basah Pilihan Saat Lebaran Khas Palembang

Santri akan mempelajari ajaran agama, seperti Al-Quran, Hadis, Fiqih, Akhlak, dan Sejarah Islam. Mereka juga diajarkan tentang pentingnya mempraktikkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.

2. Pembinaan Spiritual: Pondok pesantren mendorong santri untuk memperkuat hubungan mereka dengan Allah melalui ibadah, seperti shalat, puasa, dan ibadah sunnah lainnya.

Santri juga diajarkan untuk selalu mengingat dan bersyukur kepada Allah dalam segala hal yang dilakukan.

3. Etika dan Adab: Santri diajarkan tentang tata krama, sopan santun, dan adab dalam berinteraksi dengan sesama manusia.

Mereka diberikan pengetahuan tentang adab makan, berbicara, berpakaian, dan berbagai aspek kehidupan lainnya yang mencerminkan nilai-nilai Islam.

4. Pengembangan Diri: Pondok pesantren juga memberikan perhatian pada pengembangan diri santri di bidang akademik, seni, dan olahraga.

Pembelajaran tidak hanya terbatas pada pengetahuan agama, tetapi juga meliputi ilmu pengetahuan umum, seperti matematika, bahasa, dan sains.

Selain itu, santri juga didorong untuk mengembangkan bakat dan minat mereka dalam seni dan olahraga sebagai sarana penyaluran energi positif.

5. Bimbingan Pribadi: Guru dan pengasuh pondok pesantren berperan sebagai pembimbing dan teladan bagi santri.

Mereka memberikan arahan, nasihat, dan pengawasan yang diperlukan untuk membantu santri memperbaiki akhlak dan kepribadian mereka.

Santri juga diajarkan untuk menghargai otoritas dan menghormati para guru dan orang yang lebih tua.

6. Lingkungan yang Islami: Pondok pesantren menciptakan lingkungan yang islami di mana santri dikelilingi oleh suasana yang mendukung pengembangan akhlakul karimah.

Asrama, masjid, dan area belajar diatur sedemikian rupa untuk memfasilitasi ibadah dan kegiatan-kegiatan positif.

7. Pengabdian Sosial: Pondok pesantren sering mendorong santri untuk terlibat dalam kegiatan pengabdian sosial dan membantu masyarakat sekitar.

Melalui pengabdian sosial, santri diajarkan tentang pentingnya kepedulian terhadap sesama dan bagaimana mengaplikasikan nilai-nilai agama dalam melayani orang lain.

Menurut Sosiolog Universitas Indonesia Ida Ruwaida, ada 4 faktor utama penyebab terjadinya kekerasan di lingkungan ponpes.

1. Kultur atau tradisi pesantren yang paternalistik

Budaya atau tradisi pesantren cenderung menempatkan sang kiai atau tokoh sebagai figur sentral, rujukan, atau bahkan role model.

Kepatuhan tersebut menjadi bagian yang ditanamkan sehingga bersikap kritis akan dianggap menyimpang hingga diyakini menjadi sumber dosa.

Cara pandang ini melandasi terbangunnya pola asuh satu arah, berorientasi pada sang tokoh, dan cenderung otoriter.

2. Adanya anggapan bahwa kekerasan adalah bagian dari media pembelajaran

Sebagian pesantren menggunakan kekerasan sebagai bentuk hukuman bagi para santri yang melanggar aturan.

Tujuannya agar mereka merasa jera. Namun, alih-alih membuat mereka jera, justru hukuman tersebut lebih dikedepankan daripada unsur pendidikannya.

Sehingga, hikmah hukuman tidak dipahami santri. Dengan kata lain, para santri mengikuti aturan bukan karena menyadari dan menghayati arti penting aturan, melainkan karena takut pada hukuman yang diterima jika melanggarnya.

Lihat Juga :  Februari 2024 Masih Hujan Lebat, ini Kabupaten/Kota di Sumsel yang Berpotensi Rawan Banjir dan Longsor

3. Dilema antara rasa solidaritas warga pesantren dengan literasi kemanusiaan

Solidaritas biasanya dimaknai sebagai membela atau mendiamkan kawan meskipun salah bersikap dan berperilaku, termasuk pada pelaku kekerasan.

Oleh karenanya, perlu ada edukasi kepada seluruh multipihak, yaitu pengajar, pendamping, para santri, dan orang tua/wali, bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan agama yang melahirkan lulusan yang bukan hanya menjadi ahli agama yang religius, melainkan juga seseorang yang bertoleransi positif, berintegritas, dan humanis.

Salah satunya ditandai dengan spirit bahwa pesantren merupakan area yang menolak kekerasan, apapun bentuknya.

4. Minimnya pemahaman tentang keberagaman

Setiap santri memiliki latar belakang sosial ekonomi, wilayah tinggal, watak dan karakter, serta latar budaya yang beragam. Mendidik dan mengasuh santri dengan latar belakang berbeda tentu menjadi tantangan tersendiri.

Perlu dilihat kembali kedudukan dan peran pesantren sebagai institusi pendidikan yang justru berperan sebagai “cross cutting affiliation”.

Oleh sebab itu, keberagamaan dan sikap inklusif menjadi bagian dari kehidupan pesantren.

 

Anti Kekerasan

Tindak kekerasan di pesantren bisa dihindari dan dicegah karena Islam memiliki spirit anti kekerasan. Pesantren sebagai institusi pendidikan menjadi salah satu agen sosialisasi.

Bahkan, bagi santri yang bermukim bertahun-tahun, apalagi sejak lulus sekolah dasar/sederajat, pesantren menjadi agen sosialisasi primer.

Maka dari itu, pola pembelajaran dan pola asuh di pesantren sangat berkontribusi besar pada pembentukan karakter santri.

Pesantren merupakan agen sosialisasi antisipatoris karena tidak hanya menyiapkan pendakwah, tetapi juga calon-calon tokoh dan pemuka agama.

Oleh sebab itu, pesantren selayaknya mendidik dan mengajarkan para santri agar memiliki jiwa ketokohan atau kepemimpinan yang kuat, tidak goyang karena ombak, tidak lapuk karena zaman, dan tidak lupa akar budaya ke-Indonesiaan-nya.

Para santri juga harus mampu mengendalikan emosi, kreatif, mandiri, berintegritas, dan inklusif.

Menurut Ida, karakter seperti itu hanya bisa dibangun dari pesantren yang tokoh, kiai, guru-guru, dan para pengelolanya mampu menjadi role model atau rujukan bagi anak didiknya.

 

Ditangani Bersama

Peristiwa kekerasan yang terjadi di pondok pesantren ini menjadi sesuatu yang harus segera ditangani bersama.

Pemerintah dengan segala perangkatnya harus bahu-membahu bekerja sama dengan pengelola pondok pesantren untuk melakukan tindakan-tindakan preventif guna mencegah kembali terjadinya kekerasan di pondok pesantren.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama adalah melakukan pembinaan dan sosialisasi pesantren ramah anak.

Selain terjalinnya komunikasi dengan pihak pengelola pesantren, santri adalah titipan orang tua kepada para kiai, ibu nyai, dan ustadz. Sehingga, santri harus diperlakukan seperti anak sendiri.

Dengan kata lain, selain mendapatkan hak belajar santri juga harus mendapatkan perlindungan. ***

 

(Dari berbagai sumber)

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button