MOZAIK ISLAM

Keistimewaan Malam dan Seni Menghadapinya

AsSAJIDIN.COM — Pada suatu subuh ibu saya bercerita tentang salah satu kiai yang dikaguminya. Kiai tersebut sejak kecil begadang dan baru tidur ketika matahari sudah terbit. Ibu berkata, kalau bisa kamu seperti itu. Saya yang sudah ngantuk berat dan beranjak tidur asal mendengarkan, tapi anehnya sejak subuh itu, entah kenapa saya mendadak mendapat karunia dalam bentuk keberanian melawan kantuk.

Saya masih berusia sekitar antara 11 sampai 12-an tahun, dan saya tak meminta alasannya mengapa harus demikian—hal yang sejauh ini memang saya hindari begitu ibu saya sudah dawuh. Baru belakangan saya mengadakan ijtihad apa sebenarnya yang ingin dicapai oleh ibu saya dengan cerita itu. Apa ibu saya hanya sekadar cerita kalau kiai dalam cerita itu tidak pernah tidur malam, atau ada pesan tersembunyi di balik cerita tersebut—mengingat bahwa ending dalam cerita berbunyi kalau bisa kamu seperti itu.

Karena yang bercerita adalah ibu dengan didasari ending semacam imbauan, itu sebabnya saya selalu terbayang bahwa ibu saya sedang menjalankan misi penempaan bagi anaknya. Apalagi saya berkeyakinan bahwa apapun yang terucap dari ibu mengandung kalimat Tuhan. Lagian, bukankah ibu, seperti kata WS Rendra, adalah kiblat nurani dari kehidupan kita?

Studi sederhana berikut bukan dalam rangka meragukan dawuh ibu saya yang di luar mainstream ini. Namun apa salahnya mensyukuri karunia dengan cara mencari penjelasan dari sesuatu yang tak konvensional dalam pola kehidupan banyak orang? Saya juga tidak tahu kenapa tiba-tiba ingin sekali menelaah anjuran ibu itu, minimal dengan penelusuran ini saya bisa sejenak terhindar dari kegiatan tak berguna, memotong resonansi mata rantai dari sesuatu yang berujung muspra-ngerasani teman, misalnya. Atau setidaknya dengan kerja telaah ini saya bisa sekaligus belajar mengolah wacana menjadi sebuah senandung dialektika.

Baiklah, kita mulai. Pertama, yang langsung terlintas dalam pikiran saya adalah takjub kenapa malam kok bisa sampai dipakai Tuhan untuk menyatakan Sumpah—Surah Allail. Apa luar biasanya malam? Saya sempat agak jengkel karena tak kunjung menemukan alasannya. Maka sebagai dasar untuk memahaminya secara utuh, saya agaknya perlu mengadakan eksplorasi singkat.

Karena itu, saya mesti lebih dulu mengekstrak definisi sumpah dari sudut pandang KBBI bahwa sumpah ialah: -Pernyataan secara resmi dengan bersaksi terhadap sesuatu yang dianggap suci. -Pernyataan yang disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya. -Janji atau ikrar yang teguh. Maka bila merujuk pada definisi di atas, tentu saja malam menempati posisi dari salah satu yang tak terjangkau oleh kesederhanaan tafsir. Maksudnya, malam adalah sesuatu yang sakral dan suci sehingga Tuhan secara resmi memakainya sebagai pernyataan sumpah. Artinya ada sesuatu yang agung yang tak dapat dicapai selain di dalam waktu malam.

Maka satu-satunya cara untuk bisa menyaksikan keagungan itu, saya perlu menghadapi malam dalam keadaan sepenuhnya sadar. Terlebih jika menyertakan hal-hal yang senantiasa dipelihara malam; bintang dan bulan. Keduanya juga dipakai Tuhan untuk menyatakan sumpah secara resmi. Urutannya seperti ini, malam adalah sesuatu yang sakral, dan kesakralan malam ditunjukkan dengan Tuhan memakainya sebagai alat sumpah. Bulan dan bintang adalah dua makhluk yang eksistensinya berada di dalam malam—juga dibuat Tuhan untuk bersumpah.

Lihat Juga :  Ingin Punya Handphone Sendiri, Abdul Yunus Nekat Curi HP Bocah Jemaah Masjid Agung Palembang

Kita, manusia, bersumpah dengan atas nama Tuhan, tapi Tuhan justru bersumpah dengan atas nama malam—bersumpah atas nama sesuatu yang diciptakan-Nya sendiri Salah satu cirinya, shalat paling baik setelah fardhu adalah shalat allail, yaitu tahajud. Dan tahajud hanya bisa dilaksanakan pada waktu malam. Paling baik itu posisinya sudah tak ada yang melampaui.

Apalagi kalau menyertakan dalil bahwa shalat adalah tiang dari agama. Artinya, tak ada aktivitas apapun yang kebaikannya melebihi ritual tahajud di waktu malam. Maka jika itu yang ingin dicapai oleh ibu saya, artinya betapa halus sindiran ibu; menyuruh tahajud tapi tidak memakai kalimat yang mengandung kata perintah untuk tahajud.

Namun hanya disuruh melek wengi (bangun malam). Dan bila itu benar, alangkah ndableknya saya yang sudah tahu itu perintah-dalam garis bawah dan sekaligus distabilo, dan meski disampaikan dengan carasanepo, namun saya bersikeras pura-pura tidak tahu-menolak kesimpulan yang saya susun sendiri. Ataukah dengan dianjurkannya saya berjaga itu supaya untuk menghindari malas-malasan menjumpai subuh?

Barangkali… Dan mengapa pula baru boleh tidur harus setelah matahari terbit? Ataukah ibu ingin mengasah anaknya ini agar punya daya tersinggung untuk malu tidur pagi? Sebab konon, kata orang-orang tua; sopo wonge turu lebar subuh, rizqine ditotol pitik rezekinya dipatok ayam). Oh, iya… Saya baru ingat, saya pernah sekali bertanya—dan selanjutnya tidak pernah, tentang manfaat melek wengi, dan beliau cuma jawab; Sing penting melek. Terserah meh lapo. (Yang penting berjaga, terserah mau ngapain). Heuheuheuheuheu

Kedua, saya jadi teringat di dalam kitab Kifayatul Adzkiya, bahwa sahrul layali—melek wengi, adalah salah satu dari empat syarat untuk mencapai maqom Wali Abdal. Sedikit keterangan, wali abdal menurut kebanyakan pendapat ulama jumlahnya hanya tujuh di dunia ini pada setiap zamannya.

Mungkinkah ibu saya punya cita-cita terselubung agar saya menjadi wali abdal dengan potongan mbelgedhes seperti saya ini? Saya berupaya meyakin-yakinkan diri bahwa sesungguhnya tidak demikian yang dikehendaki beliau. Atau jika benar tidak, bukankah seseorang yang menyerupai salah satu kaum, maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut?

Artinya, yang hendak dicapai oleh ibu saya, meski tidak menjadi wali abdal, paling tidak sudah menyerupai tirakatnya wali abdal. Oh tidak! Ketiga, dalam salah satu hadis ada redaksi ini “عليكم بالدلجة فإن الأرض تطوى بالليل”—Hendaklah kalian mengadakan perjalanan di malam hari, karena bumi dilipat di waktu malam. Dalam redaksi tersebut Malam diucapkan dua kali, satu sebagai derivasi—الدلجة dan lafal الليل sendiri— Artinya, yang hendak dicapai dari redaksi itu adalah upaya menegaskan Malam sebagai waktu terbaik untuk mengadakan perjalanan. Toh, perjalanan malam selalu lebih lancar ketimbang siang, kita tahu kalau waktu malam jalan raya sepi. Iya toh? Makanya, Isra’ Mi’raj juga dilakukan pada waktu malam.

Lihat Juga :  Makna Sepotong Kayu

Lailatul Qadar juga itu berlangsung di malam hari. Al-Qur’an—menurut beberapa ulama’, juga diturunkan pada waktu malam. Dari sini, saya nyaris menemukan apa yang sejauh ini saya ingin simpulkan, bahwa saya disuruh ibu untuk keluyuran pada waktu malam. Tentu saja, yang dimaksud keluyuran dalam pengertiannya itu bukan hanya mengandung makna tunggal. Dengan kata lain, perjalanan malam itu punya makna ‘polisemi’-artinya bukan perjalanan fisik semata. Namun juga keluyuran secara ruhaniah. Mengadakan Outbound dengan misi mencari jatidiri.

Sederhananya, bahwa perjalanan di situ sinonim dengan proses. Sebuah proses bisa saja terjadi di alam pikiran, bisa saja berlangsung dalam imajinasi, bisa saja dalam bentuk bekerja via batin— Bukankah doa adalah pekerjaan batin, perjalanan dari harapan ke pasrah? Dan seterusnya. Tentu saja, malam bukan satu-satunya medium bagi pejalan untuk mengadakan perjalanan. Hadis tersebut hanya menawarkan kemungkinan terbaik dari semua waktu yang ada, yaitu waktu malam sebagai rekomendasi bagi pejalan untuk mencapai tujuan secara lebih dinamis.

Tentu saja pejalan di sini bukan sekadar pejalan kaki, kita bisa menafsirkannya sebagai pejalan apapun, termasuk pejalan cinta. Heuheuheuheu Pendeknya, saya jadi menduga-duga bahwa Tuhan menciptakan malam semata agar ketenangan menemukan maknanya. Saya bersyukur untuk telah diberi karunia dalam bentuk keberanian menghadapi malam selama lebih dari lima belas tahun belakangan ini dengan keadaan sepenuhnya sadar.

Sebab pada praktiknya, hanya sedikit orang yang bersedia dhohir-batin menerima karunia itu, bahwa sesungguhnya hanya sedikit orang yang ternyata siap menerima malam sebagai karunia. Maka sejak saat itu sampai ketika saya tulis catatan ini, saya masih menjadi makhluk nokturno; yaitu menjadi manusia yang aktif pada saat keheningan mencapai tahap paling sublim.

Malam adalah keheningan dalam bentuk lain, seperti kata Sapardi Djoko Damono bahwa malam sibuk di luar suara. Artinya jauh dari keramaian, kalau toh ada keramaian di waktu malam paling-paling itu cuma seorang jomblo yang sedang berurusan dengan kesepiannya. Akhir kalam, bila ada istilah begadang, bagi saya itu berlaku tidak pada waktu malam.

Tapi antara jam 8 pagi sampai dhuhur dan kadang-kadang sampai ashar atau bahkan sampai maghrib. Atau bila saya ternyata kedapatan tidur malam, itu semata karena sedang khilaf. Sekian dan mohon dimaklumi adanya. Kairo. Penulis adalah penyair, pegiat sastra. (*/Sumber: https://www.nu.or.id)

Back to top button