Mangkir Bekerja tanpa Alasan, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?

AsSAJIDIN.COM — Cuti bersama lebaran usai sudah. Selama delapan hari, pemerintah memberi dispensasi bagi masyarakat untuk berlebaran, bersilaturahmi dengan sanak saudara. Kini tiba saatnya untuk kembali bekerja, menjalani aktivitas normal seperti biasa.
Namun, meski libur cukup lama diberikan, terkadang masih saja pegawai negeri atau karyawan swasta yang masih mangkir bekerja. Alasannya pun macam-macam, masih suasana lebaranlah, masih capeklah, sampai pada alasan yang sebenarnya tak urgen atau justru dibuat-buat.
Rendahnya etos kerja itu pun, memang menjadi perhatian serius Kementerian Pendayagunaan
Apartur Negara dan Reformasi Birokrasi. Pemerintah berupaya untuk mendisiplinkan aparaturnya melalui Peraturan pemerintah No 53/2010 Tentang Disiplin PNS. Sejauhmanakah efektivitas PP itu, memang belum ada data pasti. Minimal, paling tidak pemerintah beriktikad untuk melakukan reformasi birokrasi.
Aktivitas cabut sebelum jam kerja usai, sebetulnya tak hanya menjangkiti para oknum PNS. Fenomena ini
juga menyerang oknum karyawan swasta. Pemandangan bolos kerja atau meninggalkan ruangan
dan urung kerja sebelum jam aktif kerja selesai menjadi persoalan yang kian dianggap sepele, padahal
justru memiliki konsekuensi yang sangat berat.
Di negara-negara berkembang, fenomena ini nyaris menjelma sebagai budaya yang diakui atau
tidak, masih sangat mengakar. Di negara-negara Timur Tengah, misalnya. Rendahnya kedisiplinan
oknum PNS ataupun karyawan swasta di Mesir, mendapat perhatian serius dari
Lembaga Fatwa (Dar al-Ifta) negara berjuluk Seribu Menara itu.
Menurut lembaga yang kini dipimpin oleh Mufti terpilih yaitu Syekh Syauqi Ibrahim Abd el-Karim Allam
tersebut, Islam menegaskan bahwa pekerjaan adalah salah satu bentuk amanat yang wajib ditunaikan oleh
si penanggungjawab. Jika amanat yang dimaksud itu tak ditunaikan maka ia dinyatakan telah berkhianat.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya.” (QS. an-Nisaa’ [4]: 58). Penegasan tentang pentingnya menunaikan
amanat ini juga tertuang di ayat ke-8 surah al-Mu’minuun. “Dan orang-orang yang memelihara
amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.”
Sebuah hadis juga menguatkan status pekerjaan itu sebagai bentuk tanggung jawab. Rasulullah SAW
menyatakan bahwa, tiap-tiap manusia adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas
tugasnya. Dengan demikian, maka seorang pegawi negeri ataupun swasta bertangungjawab atas
kewajiban yang ia emban. Tugasnya tersebut, akan dipertanyakan kelak di akhirat.
Atas dasar inilah, maka bolos kerja dengan sengaja dan tanpa alasan yang kuat adalah bentuk pengkhianatan
terhadap pekerjaan itu. Termasuk beranjak meninggalkan pekerjaan sebelum jadwal resmi yang
ditetapkan. Kecuali jika alasan meninggalkan pekerjaan sebelum jam resmi berakhir itu ialah perintah
dari atasan. Jika tidak, maka aktivitas ilegal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip agama.
Ketentuan ini berlaku permanen. Baik saat Ramadhan atau bulan-bulan lainnya.
Sepakat dengan pendapat ini, sejumlah lembaga fatwa resmi negara-negara Timur Tengah mengadopsi fatwa
yang dikeluarkan oleh Dar al-Ifta. Misalnya Lembaga Wakaf Uni Emirat Arab, Lembaga Fatwa Kuwait, dan
Komite Tetap Kajian dan Fatwa Arab Saudi.
Lembaga fatwa yang terakhir ini menambahkan tidak diperbolehkan pula memanipulasi data kehadiran. Misalnya, bila yang bersangkutan hanya hadir empat hari dalam sepekan. Sementara ia menambahkan satu hari baik
dengan membuat laporan palsu atau mendelegasikan absensi, contohnya. “Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah akad-akad itu.” (QS. al-Maidah [5]: 1).
Lembaga ini juga mengingatkan agar para bawahan tidak terpengaruh dengan sikap lalai atasan. Jika menyaksikan atasan yang mengabaikan kedisiplinan itu, hendaknya jangan ditiru. Semestinya, justru atasan yang tak
memberikan contoh baik itu dinasihati dengan cara yang bijak.
Seorang karyawan, sesuai dengan hukum Islam adalah obyek sewaan ajir dengan ketentuan-ketentuan khusus,
antara lain tenggat yang telah disepakati antara kedua belah pihak. Syarat tersebut wajib dipenuhi
oleh pihak ajir, dalam hal ini ialah karyawan swasta ataupun negeri. Sebuah hadis riwayat Abu Dawud
menegaskan bahwa orang Islam wajib memenuhi syarat yang diberlakukan atas mereka. Selama syarat itu
berada dalam koridor syariat.(*)