Luar Biasa Sinergi Gerakan Dakwah Secara Berjamaah

AsSAJIDIN.Com – Dakwah yang kita tahu adalah seorang ustadz yang memberikan ilmu dengan berbagai model kajian. Bisa di mesjid-mesjid atau bisa juga di rumah-rumah majelis ilmu (majelis taqlim) dan jamaah majelis sebagai penerima ilmu itu. Dakwah lazim kita ketahui satu arah.
Tapi, sebenarnya bila dakwa dilakukan bersama jamaah, ternyata lebih dahsyat gerakannya, dan tepat sasarannya, terutama pencapaian yang dikehendaki untuk menguatkan ukhuwah islamiah dan menyatukan elemen intelektual dan jamaah seara luas termasuk menyampaikan pesan Al Quran dan Sunnah kepada manusia secara luas.
Coba kita simak apa yang dihimbaukan oleh Umar bin Khattab. Katanya; “ Wahai masyarakat arab, tidak ada Islam kecuali dengan jamaah, tidak ada jam’ah kecuali dengan kepemimpinan, tidak ada kepemimpinan kecuali dengan ketaatan bersama. ” (Umar Bin Khattab RA)
Kalimat Umar bin Khattab itu menegaskan pentingnya berjamaah, sampai-sampai dikatakan bahwa tidak ada Islam kecuali dengan jamaah. Kalimat selanjutnya, tidak ada jamaah kecuali dengan kepemimpinan, yang berarti bahwa dalam suatu jamaah diharuskan adanya seorang pemimpin yang mengorganisir dan mengatur jamaah tersebut.
Ustad Drs H. Lufti Izzuddin, beberapa waktu lalu menyebutkan soal kebersamaan atau secara berjamaah lah yang sangat tepat dalam menyampaikan dakwa Islamiyah kepada masyarakat luas.
Dan bila ada dua komponen anatara para Usatad yang dmaksudkannjuga sebagai pemimpin umat dan jamaah yang bersatu untuk melaksanakan syi’ar agama Islam maka faedahnya luar baisa.
Ibnu Taimiyah dalam bukunya Siyasah syar’iyyah menegaskan pentingnya ada pihak yang menyerukan atau ustadz atau juga dalam hal ini pemimpin umat Islam. Kepemimpinan adalah satu diantara kewajiban-kewajiban agama yang terbesar, bahkan agama tidak bisa tegak tanpa adanya kepemimpinan.
* Gerakan Islam*
Dibahas Lutifi, puncak kemunduran politik Islam terjadi ketika runtuhnya Khilafah Turki Utsmani tahun 1924 oleh Musthafa Kamal at-Taturk. Setelah itu, banyak bermunculan gerakan-gerakan Islam dengan semangat memunculkan kembali kejayaan Islam. Gerakan-gerakan ini hanyalah sebagai sarana untuk mencapai kejayaan Islam, untuk mewujudkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Tidak penting gerakan apakah mereka, apa nama kelompok mereka, dan apa baju mereka selama tujuannya tetap sama.
Di Indonesia, ada banyak gerakan dakwah skala nasional. Beberapa diantara nya seperti Muhammmadiyah, Nadhlatul Ulama (NU), dan Persatuan Serikat Islam (Persis). Sedangkan dalam skala Internasional seperti Jamaah Tabligh (JT), Hizbut Tahrir (HT), Salafi, dan Ikhwanul Muslimin (IM). semua gerakan ini memiliki pemimpin masing-masing.
Semua gerakan ini esensinya adalah sama, yaitu mengembalikan khilafah Islamiyah dan mengembalikan kejayaan Islam. Walaupun dengan cara dan gerak yang berbeda-beda. Ada, yang bergerak lewat dakwah ke pelosok dan masjid-masjid, ada yang berdakwah dengan teriakan tegas khilafah tanpa perlu politik demokrasi, ada yang berpegang bahwa untuk mencapai kekhilafahan bisa melalui system demokrasi dan politik. Gerakan mereka berbeda-beda, tetapi tujuan tetap sama. Bahkan, untuk mencapai Jakarta ada yang naik pesawat, kereta, ataupun mobil.
Lalu, dimanakah letak permasalahan antar gerakan ini? Semua gerakan itu benar selama tetap berada dalam jalur aturan Allah SWT, selama tetap dalam konteks amal ma’ruf nahi mungkar yang memang membutuhkan sistem berjamaah. Yang salah adalah apabila setiap gerakan merasa benar sendiri, dan bahkan malah menjatuhkan gerakan lain yang memang satu tujuan, satu perjuangan. Saling mengkotak- kotakkan, menganggap lawan satu sama lain. Yang satu dianggap ekstrimis, yang satu fanatik, yang lain terlalu toleran, dan sebagainya.
Contohnya dalam kasus kudeta Mursi di Mesir. Ketika itu banyak anggota Ikhwanul Muslimin yang ditangkap dan disiksa, kerusuhan dimana-mana, tetapi gerakan-gerakan lain hanya diam saja dan malah menghakimi, padahal saat itu Ikhwanul Muslimin pun sedang berusaha menegakkan khalifah dengan cara dan tahapan mereka. Ada yang bilang “Itulah mengapa kita tidak boleh berpolitik”. Ada pula yang menganggap bahwa “Apabila politik tidak berpengaruh untuk kebangkitan Islam, kenapa Mursi harus dikudeta? ”
Di Indonesia sendiri, dalam menentukan tanggal dan hari untuk Idul Fitri dan Idul Adha saja masih selalu terdapat perbedaan. Yang satu hari senin yang satu hari selasa. Padahal semua muslim berkiblat yang sama, berpatok yang sama, bertujuan sama, mengapa harus merasa paling benar?
Hal seperti inilah yang membuat orang berpikiran bahwa si A adalah Islam Muhammadiyah dan si B adalah Islam NU. Padahal, sebenarnya kedua-dua nya adalah Islam. Islam yang sama-sama berpegang pada ajaran nabi Muhammad SAW dan berpegang pada al-Qur’an dan As-sunnah.
Kalau ustads Somad, pernah mengatakan agar kalian jangan sampe saling menyikut dan tidak juga saling membedakan faham. Karena semua umat Islam adalah satu, dan dengan kesatuan itu maka terbentukan ukhuwah yang besar dan erat ikatannya.
Disinilah letak pentingnya bersatu, berjamaah, merapatkan shaf. Supaya umat Islam tidak mudah tersulut api adu domba, tidak mudah di cerai beraikan, dapat saling merangkul dan menguatkan.
Sebuah portal dakwatuna.com, mengutip Untung Wahono, MSi. (2003). Pemikiran Politik dalam Islam. Dalam tulisannya menyebut, apabila ada kata lelah dan menyerah dalam berjamaah, hingga merasa ingin keluar, maka akan menjadi selelah dan semenyerah apakah apabila sendirian.(*)
Penulis: Bangun Lubis