KAJIANKALAMMUSLIMAHSYARIAH

Menyimak Fikih Perempuan: Keadilan dan Kesetaraan dalam Islam

ASSAJIDIN.COM — Resensi buku ini ditulis oleh Moh. Habibullah Mahmud, Mahasantri Ma’had Aly Lirboyo Kediri, Jawa Timur.

Mengambil judul “Fikih Perempuan: Keadilan dan Kesetaraan dalam Islam’, dikutip dari laman NU Online.

Berikut uraiannya …

Dewasa ini, diskursus tentang isu-isu perempuan dalam Islam semakin berkembang. Jika dulu kajian tentang perempuan berkutat pada posisi perempuan dalam Islam, kini cakupannya telah meluas menjadi lebih kompleks.

Kontekstualisasi hukum-hukum Islam yang dianggap tidak lagi relevan menjadi perhatian utama. Ini mengingat terjadinya perubahan besar dalam konstruksi sosial. Konstruk sosial saat ini sudah jauh berbeda dengan konstruk sosial zaman para fuqaha’ hidup.

Perbedaan kultur ini mengharuskan perbedaan hukum pula. Hingga akhirnya, muncullah gagasan-gagasan baru rekonstruksi hukum Islam yang berkaitan dengan perempuan.

Semangat pembaruan ini sebenarnya sangat baik dan selaras dengan prinsip hukum Islam yang dinamis dan responsif terhadap perubahan zaman dan kondisi.

Namun sayangnya, tidak jarang ditemukan pemikiran-pemikiran yang notabene asing dalam khazanah fikih klasik.

Dan ironisnya, gagasan tersebut justru kerap menjadi alternatif bagi masyarakat luas yang hendak memahami tuntunan agama menyangkut perempuan.

Di sisi lain, asumsi semacam ini muncul karena biasnya pemahaman hukum Islam yang berkaitan dengan perempuan.

Banyak kalangan yang tidak sepenuhnya memahami teks-teks keagamaan yang berkaitan dengan perempuan. Hingga akhirnya, tak jarang ditemukan perilaku amoral terhadap perempuan dilegitimasi atas dasar agama. Padahal, agama sama sekali tidak merestui tindakan yang melanggar keadilan dan kesetaraan.

Dihadapkan dengan realitas seperti ini, buku Fikih Perempuan: Keadilan dan Kesetaraan dalam Islam ini hadir sebagai upaya pesantren untuk menyudahi kekaburan yang ada terkait teks-teks keagamaan yang bersinggungan dengan perempuan.

Buku ini menyuguhkan wawasan seputar fikih perempuan yang bisa dibilang segar. Sebab, selama ini perbincangan mengenai isu-isu perempuan masih didominasi oleh akademisi non-pesantren yang tidak jarang juga mengadopsi pemikiran dari luar Islam.

Lihat Juga :  Sejarah Infak, Sedekah dan Zakat dalam Islam (1)

Sedangkan buku ini mampu menyajikan pemahaman fikih perempuan yang arif dan adil dengan cara Islam sendiri, tanpa mengadopsi pemikiran dari luar.

Selain gagasan yang terbilang segar itu, pembahasan dalam buku ini pun juga komprehensif, mulai dari telaah kedudukan perempuan dalam Islam, kajian teks-teks agama yang berkaitan dengan perempuan secara individu, perempuan dalam ranah rumah tangga, hingga relasi laki-laki dan perempuan dalam ranah sosial.

Semua itu diulas dalam buku ini dengan pendekatan teks-teks yang ada dalam kitab salaf.

Misalnya, dalam konteks rumah tangga, kebolehan suami memukul istri seringkali disalahpahami sebagai legitimasi agama atas superioritas laki-laki, sehingga sering kali tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terjadi dengan dalih kebolehan itu.

Akibatnya, sebagian cendekiawan menyangsikan teks tersebut dan menilainya diskriminatif terhadap perempuan.

Bahkan, ada yang sampai mengabaikannya dari hukum Islam dengan dalih perbedaan konstruk sosial.

Pada masa itu, budaya patriarkis masih sangat kuat mengakar, berbeda dengan peradaban modern saat ini yang sangat menjunjung tinggi keadilan.

Padahal, hukum tersebut jelas tertulis dalam al-Qur’an. Allah SWT berfirman:

وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا [النساء: ٣٤]

Artinya: “Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,) pukullah mereka. Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (Q.S An-Nisa’: 34)

Buku ini memberikan pemahaman yang lebih tepat, bahwa tindakan yang disebutkan dalam Al-Quran melalui kata pukullah hanyalah sebagai bentuk peringatan simbolis. Bukan pukulan yang menyakitkan apalagi sampai melukai atau mencederai.

Syekh Nawawi al-Bantani dalam karyanya, Nihayah az-Zain memaparkan:

وَلَا يَجُوْزُ ضَرْبٌ مُدْمٍ أَوْ مُبَرِّحٌ وَلَا عَلَى وَجْهٍ وَإِنْ لَمْ يُؤْذِ أَوْ مَهْلَكٍ

Lihat Juga :  Memaafkan, inilah 14 Keutamaannya, Nomo 3 dan 4 Sungguh Jadi Cita-cita Kita Semua

Artinya: “Tidak boleh memukul (istri) sampai mengeluarkan darah atau dengan pukulan yang menyakitkan, dan tidak boleh menyasar wajah atau anggota tubuh yang mengancam keselamatan meskipun tidak menyakitkan.”

Lagi pula, tindakan ini bukanlah hal yang boleh dilakukan dalam semua keadaan. Tindakan ini adalah opsi terakhir dan hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat, ketika tidak ada cara lain.

Syekh Athiyyah Shaqr berkata:

وَالضَّرْبُ لَا يُلْجَأُ إِلَيْهِ إِلَّا إِذَا تَعَيَّنَ وَسِيْلَةً لِلتَّأْدِيْبِ بَعْدَ إِفْلَاسِ الوَسَائِلِ الأُخْرَى

Artinya: “Memukul istri tidaklah diperbolehkan kecuali ketika menjadi satu-satunya alternatif untuk mendidiknya setelah tidak adanya cara-cara lain.”

Dan yang terpenting, tindakan memukul, sekalipun tidak menyakitkan, sebenarnya tidak sesuai dengan tuntunan agama Islam. Islam menilainya sebagai perilaku tercela yang tidak akan dilakukan oleh laki-laki terpilih.

Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

وَلَنْ يَضْرِبَ خِيَارُكُمْ. (رواه الحاكم)

Artinya: “Tidak memukul (istri) orang-orang terpilih di antara kalian.” (H.R Hakim)

Nabi SAW sendiri pun tidak pernah melakukan kekerasan kepada istrinya. Dalam sebuah hadits disebutkan:

مَا ضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – اِمْرَأَةً لَهُ وَلَا خَادِمًا قَطُّ، وَلَا ضَرَبَ بِيَدِهِ شَيْئًا قَطُّ إِلَّا فِي سَبِيْلِ اللهِ، أَوْ تُنْتَهَكُ مَحَارِمُ اللهِ، فَيَنْتَقِمُ لِلهِ

Artinya: “Sama sekali Rasulullah SAW tidak pernah memukul istri dan pelayannya, beliau juga tidak pernah memukul sesuatu kecuali untuk menegakkan agama Allah atau keharuman-keharuman Allah telah dirusak, oleh sebab itu beliau bertindak semata-semata karena Allah SWT.” 

Di kesempatan lain, Nabi SAW mengingatkan suami tentang betapa pentingnya berlaku lemah lembut kepada istri:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَاًنا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ. رواه أحمد والترمذي

Artinya: “Paling sempurnanya iman orang-orang mukmin adalah yang paling baik budi pekertinya. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada istrinya.” (H.R Ahmad dan At-Turmudzi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button