Ponpes Buntet dan Babakan Ciwaringin, Dua Ponpes Tertua di Indonesia yang Pernah Dihancurkan Belanda
Secara keseluruhan, pondok pesantren dapat memberikan pendidikan holistik yang mencakup aspek agama, moral, akademik, dan sosial.
Dengan memasukkan anak-anak ke dalam lingkungan pondok pesantren, orang tua dapat memastikan mereka mendapatkan pendidikan yang seimbang dan terintegrasi.
Melalui pondok pesantren, anak-anak dapat mengembangkan karakter yang kuat, mengasah pemahaman agama yang mendalam, dan mempersiapkan diri mereka menghadapi tantangan dunia dengan keyakinan yang teguh.
(M Alwi Syihab/Lampung.nu.or.id)
ASSAJIDIN.COM — Di Tanah Air, ada banyak pondok pesantren dengan sejarah yang panjang, termasuk di Provinsi Jawa Barat.
Di Jawa Barat, pesantren-pesantren tua ini telah berkontribusi besar dalam mencetak generasi-generasi penerus yang memiliki pengetahuan agama yang kuat, berakhlak mulia, dan kecakapan hidup.
Mengutip detikJabar, dua pesantren tertua di Jawa Barat letaknya ada di Cirebon.
Keduanya adalah Pondok Pesantren Buntet dan Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin.
Keduanya memiliki usia yang telah mencapai ratusan tahun dan dikenal sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia.
Menurut Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pondok Pesantren Buntet dan Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin adalah dua di antara banyak pondok pesantren tertua di Indonesia.
Dalam peringatan 1 Abad NU yang dihelat di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta pada 31 Januari 2023, PBNU memberikan penghargaan kepada Pondok Pesantren Buntet dan Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin sebagai pondok pesantren tertua di Indonesia.
Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin menempati peringkat ketiga dari 56 pondok pesantren yang dikategorikan sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Sementara Pondok Pesantren Buntet berada di peringkat keenam.
Pondok Pesantren Buntet
Pondok Pesantren Buntet Cirebon adalah lembaga pendidikan Islam yang telah berusia ratusan tahun.
Didirikan sejak tahun 1750 M, pondok pesantren yang terletak di Desa Mertapada Kulon, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon ini tetap beroperasi hingga sekarang dan menjadi salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia.
Menurut Akhmad Rofahan, seorang pemerhati sejarah pesantren di Cirebon, Mbah Muqoyyim mendirikan pondok pesantren karena kecewa dengan sikap keraton yang mendukung kolonial Belanda pada masa itu.
Karena alasan tersebut, Mbah Muqoyyim memutuskan untuk meninggalkan lingkungan keraton dan memilih untuk menyebarkan agama Islam dengan mendirikan sebuah pondok pesantren.
Setelah Mbah Muqoyyim membangun pondok pesantren, tidak sedikit masyarakat yang kemudian tertarik untuk ikut belajar tentang ilmu-ilmu agama.
Namun upaya Mbah Muqoyyim dalam mendirikan pondok pesantren ini tidak selalu berjalan mulus.
Kehadiran Mbah Muqoyyim dengan banyak pengikut membuat Belanda khawatir. Mereka melihat bahwa dengan pengaruh besar yang dimilikinya, Mbah Muqoyyim bisa menggerakkan masyarakat dan para santri untuk melawan.
Hancur Diserang Belanda
Karena itu, Belanda terus melancarkan serangan ke pondok pesantren Mbah Muqoyyim dan berusaha menangkapnya. Meskipun dalam serangan tersebut Mbah Muqoyyim dan para santri berhasil melarikan diri, pondok pesantren yang didirikan olehnya hancur lebur akibat serangan Belanda.
Untuk menghindari penangkapan, Mbah Muqoyyim berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain hingga akhirnya menetap di Pemalang, Jawa Tengah.
Meskipun menjadi buron Belanda, Mbah Muqoyyim tetap melanjutkan perjuangannya dalam menyebarkan ajaran Islam di setiap tempat yang ia singgahi.
Ketika Mbah Muqoyyim menetap di Pemalang, Jawa Tengah, wilayah Cirebon dilanda wabah penyakit yang menyebabkan banyak kematian, baik di kalangan warga biasa, keluarga keraton, maupun pihak Belanda.
Akhirnya, muncul usulan untuk meminta bantuan Mbah Muqoyyim yang saat itu berada di Pemalang.
Perwakilan dari keraton langsung diutus untuk menemui Mbah Muqoyyim dan memohon bantuannya untuk mengusir wabah tersebut.
Menanggapi permintaan tersebut, Mbah Muqoyyim setuju dan kembali ke Cirebon untuk mengatasi wabah penyakit yang telah merenggut banyak korban jiwa.
Berkat kemampuannya, Mbah Muqoyyim berhasil mengatasi wabah tersebut.
Saat kembali ke Cirebon, Mbah Muqoyyim berusaha membangun kembali Pesantren Buntet yang sebelumnya telah dihancurkan oleh Belanda.
Mbah Muqoyyim membangun pondok pesantren di lokasi yang sedikit bergeser dari lokasi sebelumnya, mendirikan Pondok Pesantren Buntet di daerah yang kini dikenal sebagai Desa Mertapada Kulon, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon.
Sejak didirikan ratusan tahun yang lalu oleh Mbah Muqoyyim, hingga kini Pesantren Buntet Cirebon masih tetap beroperasi dengan berbagai fasilitas pendidikan yang disediakan untuk para santri.
Ponpes Babakan Ciwaringin
Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin terletak di Desa Babakan, Kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Jaraknya sekitar 23 kilometer dari Kota Cirebon.
Sebagai salah satu pondok pesantren tertua di Indonesia, Pesantren Babakan Ciwaringin memiliki sejarah panjang.
Didirikan pada tahun 1715 oleh seorang pendakwah dan pejuang bernama KH Hasanudin bin Abdul Latif, yang juga dikenal sebagai Ki Jatira.
Julukan Ki Jatira diberikan karena beliau sering beristirahat di bawah dua pohon jati, dengan “jati” berarti pohon jati dan “ra” berarti dua.
Menurut KH Arwani Syaerozi, Pengasuh Pondok Pesantren Assalafie Babakan Ciwaringin, Ki Jatira adalah keturunan Sunan Gunung Jati.
Pemilihan wilayah Babakan untuk dijadikan pusat pengembangan pesantren didasari oleh kedekatan Ki Jatira dengan masyarakat miskin.
Meskipun Babakan memiliki tanah yang kering dan sulit dikembangkan dalam sektor pertanian, Ki Jatira merasa tertantang untuk menjadikannya sebagai pusat pendidikan Islam dan menjaga masyarakat dari pengaruh Belanda.
Pada tahun 1718, penjajah Belanda menyerang padepokan Ki Jatira di Pedukuhan Babakan.
Meskipun serangan itu mendapatkan perlawanan sengit dari para santri dan masyarakat, Belanda akhirnya menang dan berhasil menghancurkan padepokan tersebut.
Pada tahun 1721, Ki Jatira kembali ke Pedukuhan Babakan untuk melanjutkan perjuangannya dalam mengembangkan Islam. Kedatangannya disambut gembira oleh masyarakat setempat.
Sebagai bentuk keseriusan dalam mengembangkan Islam, Ki Jatira membangun kembali Pesantren Babakan pada tahun 1722, sekitar 400 meter dari lokasi awal. Namun, perjuangan Ki Jatira kembali mendapatkan cobaan dari Belanda.
Mendengar keberhasilan Ki Jatira dalam membangun kembali pesantren dan mengajarkan ilmu agama serta kanuragan, Belanda memutuskan untuk kembali menyerang dan menghancurkan pesantren yang baru tersebut.
Rusak Parah
Pada tahun 1751, Belanda kembali menyerang padepokan Ki Jatira. Namun, sebelum serangan terjadi, Ki Jatira, keluarga, dan santrinya berhasil mengetahui informasi tersebut dan mengungsi ke Desa Kajen, Kecamatan Plumbon, Cirebon.
Melihat pesantren yang kosong, Belanda membakar seluruh bangunan pesantren hingga rusak parah.
Pada tahun 1753, Ki Jatira jatuh sakit dan wafat di pengungsian di Desa Kajen. Jenazahnya dimakamkan di tanah kelahirannya di Desa Kajen, Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon.
Sebelum wafat, Ki Jatira berwasiat kepada menantunya, Kiai Nawawi, untuk kembali ke Babakan dan melanjutkan perjuangannya.
Setelah wafatnya Ki Jatira, Pesantren Babakan diteruskan oleh Kiai Nawawi dan putranya, KH Adzro’i. Kemudian diteruskan oleh KH Syarqowi, menantu KH Adzro’i, mulai tahun 1225 H (1810 M).
Setelah itu, kepemimpinan dilanjutkan oleh KH Ismail, putra KH Adzro’i, lalu oleh KH Muhammad Glembo bin KH Irsyad, cucu KH Adzro’i.
Pada tahun 1335 H (1916 M), Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin dipimpin oleh KH Amin Sepuh bin KH Irsyad yang dibantu oleh saudara iparnya, KH Sanusi, mulai tahun 1341 (1922 M).
Sumber : DetikHikmah