Burung yang Taat kepada Allah SWT

وَالطَّيۡرَ مَحۡشُوۡرَةً ؕ كُلٌّ لَّـهٗۤ اَوَّابٌ
Artinya: “Dan (Kami tundukkan pula) burung-burung dalam keadaan terkumpul. Masing-masingnya amat taat kepada Allah.” (QS Shad : 19)
ASSAJIDIN.com — Ada variasi penjabaran dari kalangan ulama tafsir terhadap kandungan surat Shad ayat 19 ini, di antaranya, dikutip dari Tafsirweb.com, seperti berikut:
– Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia
18-19. Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk Dawud, ia bertasbih bersama tasbihnya di pagi hari dan petang hari, dan Kami menundukkan burung bersamanya dengan berkumpul untuk bertasbih bersamanya dan menaati dan mengikutinya.
– Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid, Imam Masjidil Haram
19. Kami menundukkan burung-burung tertahan di angkasa, semuanya patuh, bertasbih bersamanya.
– Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah
19. وَالطَّيْرَ مَحْشُورَةً ۖ (dan (Kami tundukka pula) burung-burung dalam keadaan terkumpul)
Yakni burung-burung juga berkumpul untuk bertasbih kepada Allah bersama Daud.
كُلٌّ لَّهُۥٓ أَوَّابٌ (Masing-masingnya amat taat kepada Allah)
Yakni gunung-gunung dan burung-burung bertasbih demi bertasbih bersama Dawud.
– Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah
19. Juga burung-burung Kami tundukkan dengan Kami kumpulkan, mereka senantiasa bertasbih kepada Allah. Semua itu adalah bukti bahwa mereka selalu kembali kepada ketaatan kepada Allah. Mereka tunduk dan berserah diri kepada Allah.
– Tafsir Ash-Shaghir / Fayiz bin Sayyaf As-Sariih, dimuraja’ah oleh Syaikh Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-‘Awaji, professor tafsir Univ Islam Madinah
{dan burung-burung dalam keadaan berkumpul} dikumpulkan kepadanya {Masing-masing sangat patuh kepadanya} patuh bertasbih mengikutinya.
– Tafsir as-Sa’di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, pakar tafsir abad 14 H
18-19. Di antara kesungguhan inabah dan ibadahnya kepada Rabbnya adalah, Allah menundukkan gunung-gunung untuk turut bertasbih berasamanya dengan memuji Rabbnya, “di waktu petang dan pagi,” pada waktu menjelang siang dan menjelang malam, “dan” Allah juga menundukkan “burung-burung dalam keadaan terkumpul,” yakni bergerombolan dan terhimpun.
“Masing-masing,” baik gunung maupun burung “kepadaNya” kepada Allah “amat taat”, sebagai pengamalan terhadap Firman Allah, “”Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud”, (Saba’:10).
Itu adalah karunia Allah kepadanya yakni kekuatan dalam ibadah.
– Tafsir Ibnu Katsir (Ringkas) / Fathul Karim Mukhtashar Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim, karya Syaikh Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin, professor fakultas al-Qur’an Univ Islam Madinah
Ayat 17-20 :
Allah SWT menyebutkan tentang hamba dan rasulNya, nabi Dawud bahwa dia memiliki kekuatan. Dan kata “al-aid” adalah kekuatan dalam masalah ilmu dan amal.
Mujahid berkata bahwa “al-aid” adalah kekuatan dalam ketaatan.
Qatadah berkata bahwa nabi Dawud dianugerahi kekuatan dalam mengerjakan ibadah dan memberinya pengetahuan tentang Islam.
Telah disebutkan kepada kami bahwa nabi Dawud selalu mengerjakan shalat di sepertiga malam, dan puasa setengah tahun.
Hal ini disebutkan dalam hadits shahih Bukhari Muslim dari Rasulullah SAW bahwa beliau SAW bersabda:
”Shalat yang paling disukai Allah adalah shalatnya nabi Dawud, dan puasa yang paling disukai Allah adalah puasanya nabi Dawud.
Dia tidur sampai tengah malam, lalu bangun sepertiganya, dan tidur seperenamnya. Dan dia berpuasa sehari dan berbuka sehari, dia tidak pernah lari jika bertemu dengan musuh” dan dia adalah seorang yang mengembalikan semuanya kepada Allah SWT, yaitu selalu mengembalikan semua urusan dan perkaranya hanya kepada Allah.
Firman Allah SWT: (Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Dawud) di waktu petang dan pagi (18)) yaitu Allah SWT menundukkan gunung-gunung yang bertasbih bersamanya di saat terbitnya matahari terbit dan di penghujung siang, sebagaimana Allah SWT berfirman:
(Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Dawud) (Surah Saba’: 10)
Demikian juga burung-burung bertasbih bersama dengan tasbihnya, menjawab tasbih bersama jawabannya, dan gunung-gunung yang tinggi-tinggi pun membalas tasbihnya dan mengikuti tasbih bersamanya.
Diriwayatkan dari Ayyub bin Shafwan. dari maulanya yaitu Abdullah bin Al-Harits bin Naufal, bahwa Ibnu Abbas pada mulanya tidak mengerjakan shalat dhuha.
Kemudian aku membawanya masuk menemui Ummu Hani’, dan aku berkata kepadanya,”Ceritakanlah kepadaku apa yang kamu ceritakan kepadaku ini.
“Maka Ummu Hani’ berkata:”Pada hari jatuhnya penaklukkan Makkah, Rasulullah SAW masuk ke dalam rumahku, kemudian meminta air sebanyak satu mangkuk besar, lalu memerintahkan agar dibuat penghalang dari kain antara aku dan dia.
Lalu beliau mandi, dan mengeringkan tubuhnya di salah satu sudut di rumahku, lalu beliau shalat delapan rakaat. Shalat itu adalah shalat dhuha yang berdiri, rukuk, sujud, dan duduknya hampir sama lamanya antara satu dengan yang lain.
Ibnu Abbas keluar seraya berkata: “Sungguh aku membaca apa yang ada di antara dua lembaran, namun aku baru mengenal shalat dhuha saat ini (bertasbih bersama dia (Dawud) pada waktu petang dan pagi).
Aku bertanya, “Di manakah shalat pagi?” Kemudian, setelah itu, dia menyebut shalat pagi. Oleh karena itu, Allah berfirman: (dan (Kami tundukkan pula) burung-burung dalam keadaan terkumpul) yaitu tertahan di udara (Masing-masingnya amat taat kepada Allah) yaitu taat bertasbih kepada Allah.
Qatadah dan Malik meriwayatkan dari Zaid bin Aslam tentang Firman-Nya (Masing-masingnya amat taat kepada Allah) yaitu taat Firman Allah SWT.
(Dan Kami kuatkan kerajaannya) yaitu Kami menjadikan baginya kerajaan yang sempurna dari semua yang diperlukan para raja.
Firman Allah (dan Kami berikan kepadanya hikmah) Mujahid berkata bahwa yang dimaksud adalah pemahaman, akal, dan kecerdasan.
Di lain kesempatan dia mengatakan bahwa itu adalah kebijaksanaan dan keadilan, dan di lain kesempatan lagi dia berkata bahwa itu kebenaran.
As-Suddi berkata tentang (Al-Hikmah) yaitu kenabian.
Firman Allah SWT: (dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan)
Syuraih Al-Qadhi dan Asy-Sya’bi berkata, keputusan dalam perselisihan tentang persaksian sumpah.
Qatadah berkata yaitu dua orang saksi yang dibebankan kepada orang yang tertuduh. Berdasarkan keputusan dalam perselisihan yang ditetapkan para nabi dan rasul. Orang-orang mukmin dan orang-orang shalih berkata yaitu keadilan dari umat ini sampai hari kiamat.
Mujahid berkata juga bahwa yang dimaksud dengan pembahasan ini adalah adalah keputusan dalm berbiacara dan menentukan keputusan, dan semua ini mencakup semua pendapat itu, dan ini adalah makna yang dimaksud dan dipilih Ibnu Jarir.
– An-Nafahat Al-Makkiyah / Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi
Surat Shad ayat 19: (Dan) Kami tundukkan pula (burung-burung dalam keadaan berkumpul) berkumpul untuk bertasbih bersama dengan dia. (Masing-masing) dari gunung-gunung dan burung-burung itu (amat taat kepada-Nya) taat bertasbih kepada-Nya.
– Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an / Ustadz Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I
Baik gunung-gunung maupun burung-burung.
Apa yang Allah sebutkan di atas merupakan nikmat Allah Subhaanahu wa Ta’aala kepada Nabi Dawud ‘alaihis salam untuk beribadah kepada-Nya. Selanjutnya, Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyebutkan nikmat-Nya kepadanya berupa kerajaan yang besar.
– Tafsir Ringkas Kementrian Agama RI / Surat Shad Ayat 19
18-20. Karena ketaatan nabi Daud, sungguh kami telah menganugerahinya beberapa kenikmatan. Kamilah yang menundukkan gunung-gunung yang kukuh untuk senantiasa bertasbih dan beribadah bersama dia pada waktu petang dan pagi.
Kami tundukkan pula baginya burung-burung untuk bertasbih bersamanya dalam keadaan terkumpul maupun terbang.
Burung-burung itu ikut bertasbih begitu mendengar suara nabi daud yang merdu bertasbih dan melantunkan kitab zabur. Masing-masing dari gunung-gunung dan burung-burung itu sangat taat kepada Allah.
Dan kami kuatkan kerajaannya dengan kewibawaan, tentara yang banyak, kekayaan yang berlimpah, dan kepiawaiannya mengatur strategi perang.
Dan kami berikan hikmah kepadanya berupa kenabian, kesempurnaan ilmu, dan ketelitian dalam berbuat serta pemahaman yang tepat (lihat pula: surah Saba’/34: 10’11), dan kebijaksanaan dalam memutuskan perkara dengan menunjukkan bukti-bukti yang akurat.
Tawakal
Burung punya satu keistimewaan yang menjadikan ia terpuji dan menjadi contoh buat manusia. Keistimewaan tersebut adalah rasa tawakal yang kuat kepada Allah SWT.
لو أنكم توكلون على الله حق توكله ، لرزقكم كما يرزق الطير ، تغدو خماصا ، وتروح بطانا
Andai kamu bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya Dia berikan rezeki kepadamu sebagaimana burung yang senantiasa diberi rezeki, ia pergi dalam keadaan lapar di pagi hari dan pulang membawa rezeki di sore hari. – (Diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmizi, an-Nasai, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dalam Sahihnya dari Umar bin Khathab. Tirmizi berkata, “hasan sahih”)
Sebenarnya burung tak ada kewajiban untuk bertawakal kepada Allah SWT, yang dengannya ia akan diberi pahala atau jika melalaikannya ia berdosa. Burung tidak diberikan beban syariat apa pun. Ia hidup dan selanjutnya mati. Selesai. Tak ada hisab, baik di kubur maupun di akhirat kelak.
Tetapi Allah SWT menciptakannya untuk selalu tunduk kepada-Nya dengan diberi wahyu ilham. Dan burung tak pernah sekali pun keluar dari ketundukannya kepada Allah SWT.
Maka lihatlah, bagaimana burung senantiasa bahagia meski tak pernah sedikit pun ada pembaruan dalam hidupnya.
Sejak menetas dengan cara dierami induknya, makan disuapi induknya, selalu berdiam di sarang sebelum bisa terbang. Lalu mulailah ia belajar terbang, keluar dari sarang, mencari makan, kawin, membuat sarang untuk rumah dia dan anak-anaknya, terus begitu, tanpa ada perubahan dari awal penciptaan hingga kelak tiba hari kiamat.
Tak pernah kita menyaksikan dan mendengar ada burung yang mengubah tatanan hidupnya. Bahkan sekadar bentuk rumah. Tak pernah ada perubahan sama sekali.
Semua sama meski tak pernah ada yang mengajari. Sepanjang zaman terlihat monoton. Tetapi tak pernah ada cerita burung bersedih dan tak pernah ada kisah burung stres.
Tetapi coba tengok diri kita, manusia yang Allah berikan anugerah akal yang setiap saat bisa berpikir dan berkembang. Sudah berapa banyak inovasi dan improvisasi dalam kehidupan kita? Tak mungkin bisa kita hitung.
Bahkan banyak Allah SWT ceritakan dalam Al-Quran, bagaimana perubahan peradaban manusia dari Adam, kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, Tsamud, kaum Nabi Luth, ashabu Madyan, Fir’aun, dan lain-lain.
Semuanya memiliki peradaban masing-masing yang berbeda. Apalagi zaman kita sekarang. Dari baju, kendaraan, hunian, pekerjaan, semuanya sudah berkembang.
Jauh sekali jika dibandingkan dengan burung. Maka bukankah seharusnya kita lebih bahagia dari burung? Tetapi mengapa kadang tak bisa?
Sebab, Dilansir dari Sabili.id, kita tak bisa seperti burung dalam kesenantiasaannya tunduk patuh kepada Allah. Kita tak bisa. Itu saja masalahnya.
Burung, saat ia diberi wahyu ilham untuk menjalani kehidupan yang sudah digariskan dan diatur, maka ia taat, tunduk, patuh, tak pernah sekali pun menyimpang.
Maka, dalam ketundukannya kepada Allah, ada kebahagiaan yang Allah berikan sebagai rezeki atas sikapnya tersebut.
Meski kehidupannya terlihat monoton, tak pernah ada inovasi dan improvisasi, tetapi ia tetap bahagia.
Allah SWT yang membahagiakannya setiap saat,karena Allah ridho dengan sikap tunduk patuhnya.
Ada pun kita, dengan segala inovasi, improvisasi, kemajuan, dan kemodernan dalam kehidupan; kadang tak pernah merasa bahagia. Masih saja merasa kurang ini dan itu, masih senantiasa dirundung rasa risau dan kekhawatiran, karena Allah tak memberikan rezeki bahagia kepada kita.
Dan itu tersebab kita tak pernah mau taat, tunduk, dan patuh kepada syariat dan aturan Allah. Ketundukkan kepada Allah itulah bagian paling utama darisikap tawakal.
Dan seperti inilah gambaran tawakal burung yang digambarkan oleh Rasulullah SAW.
Beliau menggunakan kata تتوكلون mengisyaratkan tentang waktu bertawakal yang tiada putus, yaitu siapa yang senantiasa dan selamanya bertawakal kepada Allah.
Siapakah di antara kita yang mampu setiap saat bertawakal kepada Allah, sedang hati kita selalu digoda setan agar percaya bisikan-bisikannya?
Siapa di antara kita yang setiap saat mampu menepis kekhawatiran? Semisal rasa khawatir tak ditolong oleh Allah? Khawatir doanya tak didengar? Khawatir tak bisa makan? Khawatir tak ada lagi rezeki? Khawatir tak ada jodoh menghampiri? Khawatir terkena bala’ jika tak percaya mitos-mitos?
Semua kekhawatiran, ketakutan, kerisauan, dan kesedihan tersebut sengaja dibisikkan setan ke dalam hati, agar ia tak lagi mampu bertawakal kepada Allah.
Lalu beliau menggunakan kalimat حق توكله agar kita paham bahwa urusan tawakal kepada Allah tak bisa asal-asalan dan tak boleh main-main.
Tawakal harus mampu menyentuh level tertingginya, yaitu sebenar-benar tawakal. Bukan “yang penting tawakal” tetapi hampa dari kehadiran hati dan ketundukan diri.
Bukan pula “tawakal alakadarnya”, alias tampak bertawakal padahal hatinya kosong dari pengharapan dan keyakinan akan Kemahakuasaan Allah.
Berikutnya, beliau menggunakan kalimat لرزقكم agar tertanam dengan sangat kuat dalam hati kita bahwa Allah sungguh-sungguh telah memberikan jaminan dan kepastian rezeki jika tawakal kita memang sebenar-benar tawakal.
Terakhir, beliau menggunakan kata يرزق agar kita mengerti bahwa burung senantiasa Allah kasih rezeki alias terjamin kepastian rezekinya,karena ia tunduk patuh kepada Rabb-nya agar senantiasa bertawakal kepada-Nya dengan sebenar-benar tawakal.
Ia tunduk patuh dengan perintah keluar sarang di pagi hari, mencari rezeki, dan sore hari pulang memperoleh rezeki.
Wallahu a’lam bishshawab.