MOZAIK ISLAM

Ramadhan Sebagi Bulan Penempaan Jiwa

ASSAJIDIN.COM — Puasa adalah ibadah wajib bagi orang Islam yang beriman yang baligh, sehat jiwa dan raganya.

Firman Allah: ”Hai  orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamuberpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa.’(QS. Al Baqarah
(2): 183).

Dalam konteks syariat Islam, motivasi puasa tidak lain kecuali untuk meninggikan derajat manusia ke puncak kehidupan ruhaniyah yang tinggi dan mulia dalam pandangan Allah.

Dalam pandangan Islam,
derajat tertinggi manusia adalah yang bertakwa.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat alHujurat ayat 13.”Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Tafsirweb.com).

Puasa adalah bentuk ketakwaan yang begitu tinggi.
Manusia beriman Islam yang mampu mengalahkan hawa nafsu yang dalam mengarungi lautan
kehidupan, tentu mendapat kehormatan disisi
Allah SWT. Orang ini menjadi hamba Allah yang
muttaqin dan hamba yang kembali suci atau fitrah (besih). Para ulama mengatakan, manusia yang
suci bersih itu tidak banyak. Hanya sedikit. Mereka adalah orang yang beriman yang dapat mengakhiri
shaumnya (puasanya) di bulan Ramadhan denganparipurna.

Fitrah atau dalam keadaan suci, putih hatinya, karena telah menjalankan ibadah yang tinggi selama Ramadhan. Orang-orang mu’min ini akan memasuki episode kehidupan baru. Kehidupan yang penuh dengan makna. Penuh dengan arti. Nilai-nilai luhur mendasari kehidupannya, yang tertanam dalam hati.

Nilai-nilai yang bersumber dari Islam. Kehidupan yang bersih dari segala bentuk kotoran
dunia. Kehidupan yang tidak lagi mau berkolaborasi
dengan hal-hal yang dapat menjerumuskan manusia
ke dalam bentuk kekejian. Kehidupan yang tidak lagi
dilurumi dengan dosa. Inilah makna kembali kepada fitrah.
Gambaran orang-orang yang sudah dipisahkan dengan kehidupan jahiliyah.

Gambaran orang-orang
yang berhasil melaksanakan shaum, dan pasti tergambar dalam kehidupan berikutnya secara esensi.

Lihat Juga :  Keutamaan dan Amalan di Bulan Rajab, Bulan Sebelum Sya'ban dan Ramadhan

Hakekatnya di dalam diri manusia senantiasa terjadi
pertarungan antara hawa nafsu yang mengajak manusia kearah kesesatan dengan keinginan manusia
berbuat baik. Ada kalanya manusia kalah dengan
hawa nafsunya.
Kadang-kadang manusia menang melawan hawa nafsunya. Kadang-kadang manusia yang menonjol
kebaikannya. Kadang-kadang manusia menonjol keburukannya. Manusia yang dapat mengalahkan
hawa nafsunya adalah manusia yang akan selamat di dunia dan akhirat.
Itulah pula yang menunjukkan kembalinya hati
yang putih bersih itu. Ibadah puasa mengingatkan kita, bahwa orang-orang yang memiliki kelebihan
harta dan makanan sekalipun tentu tetap harus menahan lapar dan dahaga sampai batas waktu tertentu (berbuka). Kondisi tersebut diharapkan tumbuhnya
kesadaran, betapa menderitanya fakir miskin dan orang-orang yang tak berharta terpaksa berpuasa
hampir sepanjang tahun.

 

Sebuah dalil soal puasa ada juga dalam Hadist
Melebur Dosa di Bulan Ramadhan
Rasulullah, menegaskan posisi hukum puasa Ramadhan.

Dari Abdullah bin Umar Rasulullah SAW bersabda: Yang artinya: “Islam ditegakkan di atas
lima perkara, yaitu dua kalimat syahadat, mendirikan
shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah bagi mereka yang mampu.” Hadits
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim,

Imam At-Tirmidzi, dan Imam An-Nasai. Kadar hadis ini shahih (tak diragukan lagi keabsahannya).
Begitulah kita, putih yang sangat bersih telah melekat kini dalam diri. Tentu tak ingin lagi ada noda-noda yang membuat kembali munculnya noda hitan melumuri bathin. Jiwa yang putih ini harus
dipertahankan, dan menjadi manusia yang taat dalam kehidupan sosialnya dan terlebih taat dalam kehidupan keIslamannya, yang menuntut nilai-nilai yang baik dan menjadi manusia yang paripurna di
mata Allahurobbi.
Puasa, dengan keimanan yang cukup kuat, akan memperoleh hasil yang baik dalam menjaga kesucian hati. Hati yang suci adalah hati yang istiqomah di jalan Allah. Ibadah puasa mengantarkan kita
menjadi pribadi yang sehat secara fisik dan matang spiritualitasnya. Ritual puasa memberi efek positif
dalam tubuh manusia, setelah selama sebelas bulan
organ-organ tubuh bekerja tanpa henti.

Lihat Juga :  Jelang Puncak Haji, PPIH Intensifkan Persiapan Armuzna dan Kesiapan Jemaah

Puasa juga mendorong lahirnya kekuatan mental, ketenangan
jiwa, dan menumbuhkan pribadi mulia.
Ketahanan fisik dan kematangan spiritual, merupakan prasyarat utama manusia sebagai pemimpin
di muka bumi. Puasa juga menjernihkan batin kita.
Ibadah puasa yang dijalani akan meningkatkan kualitas kepribadian manusia. Ritual puasa yang
dilakukan secara khusyuk dan ikhlas, akan meminggirkan amarah dan menghadirkan ketenangan
berpikir. Hal ini, sesuai dengan hikmah puasa, yang berfungsi untuk mengendalikan hawa nafsu. Manusia yang tidak bisa mengendalikan nafsunya, hanya
akan menjadi pribadi yang egois, perusak alam, dan pengejar kekuasaan.
Pada titik inilah, manusia merasakan nafsu yang ketiga, nafsu muthmainnah. Yakni, nafsu yang lembut, menghadirkan ketenangan yang menggelayut dalam jiwa. Puasa adalah bentu zikrullah:” Hai orang-orang
yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama)
Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.” Dan itu juga
sebagai bentuk peringatan agar kita selalu dalam kondisi bertashbih setiap saat. “Dan bertasbihlah
kepada-Nya diwaktu pagi dan petang.” (QS, Al Ahzab:
41-42)
Dalam sebuah kisah diceritakan, bahwa Istri
Rasullah Saw Aisyah pernah menafkahkan hartanya,
dalam satu hari dibulan Ramdhan, sebanyak 100 ribu
dirham, sehingga hanya yang tersisa baju yang dipakai sehari-hari. Lalu pembantunya berkata kepadanya:
“ Sebaiknya anda sisakan sedikit untuk keperluan kita
berbuka pada hari ini, kemudian Aisyah menjawab:
“seandainya tadi engkau ingatkan pasti akan aku
sisakan untuk keperluan tersebut.”
Begitulah sifat dari sosok seseorang yang melaksanakan ibadah puasa, ia lupa akan kebutuhan dirinya
sendiri, akan tetapi sebaliknya ia selalu ingat dengan
kebutuhan orang lain. Alangkah mulianya Akhlak
orang yang berpuasa ia memiliki sifat empati, dimana
ia memikirkan kebutuhan dan keperluan orang lain
dan melupakan kebutahannya sendiri.
Dan inilah yang dikehendaki oleh Allah tentang pensyaratan puasa. Maka tentunya kita dapat
mengambil sebuah hikmah dan merefleksikan dalam
kehidupan kita sehari-hari baik dibulan Ramadhan
maupun diluar Ramadhan, karena pada hakekatnya
Ramadhan sebagai Tarbiyyatun Nafs (Penempaan
jiwa ). (https://kepri .kemenag.go. id /page/det/
puasa). (*)

Penulis : Bangun Lubis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button