Islam Rahmatan Lil ‘Aa Lamiin, Pengalaman di Malaysia

Dr. H. Abdur Razzaq, MA
Islam rahmatan lil ‘aalamiin adalah Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Merupakan konsep abstrak yang mengembangkan pola hubungan antar manusia yang pluralis, humanis, dialogis, dan toleran. Selain itu, konsep ini mengembangkan pemanfaatan dan pengelolaan alam dengan rasa kasih sayang.
Islam sebagai agama secara normatif memastikan terwujudnya kedamaian dan keselamatan seluruh umat manusia, dan orang muslim tidak lain adalah mereka yang mewujudkan nilai-nilai luhur Islam tersebut.
Rahmatan lil’alamin adalah istilah qurani dan istilah itu sudah terdapat dalam Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Anbiya’ ayat 107: “Dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
Ayat tersebut menegaskan bahwa ajaran Islam yang dipahami secara benar akan mendatangkan rahmat untuk semua orang, baik Islam maupun non muslim, bahkan untuk seluruh alam. Islam tidak membenarkan ada diskriminasi karena perbedaan agama, suku, ras, dan bangsa. Itu tidak boleh dijadikan alasan untuk saling berpecah belah. Seorang muslim mempercayai, bahwa seluruh umat manusia adalah keturunan Adam. Dan Adam diciptakan dari tanah. Perbedaan suku, bangsa, dan warna kulit, adalah bagian dari tanda-tanda kekuasaan dan kebijaksanaan Allah, dalam menciptakan dan mengatur makhluk-Nya.
Ayat tersebut juga menegaskan bahwa kalau Islam dilakukan secara benar dengan sendirinya akan mendatangkan rahmat, baik itu untuk orang Islam maupun untuk seluruh alam.
Rahmat adalah karunia yang dalam ajaran agama terbagi menjadi dua, rahmat dalam konteks rahman dan rahmat dalam konteks rahim. Rahmat dalam konteks rahman adalah bersifat meliputi segala hal, sehingga orang-orang nonmuslim pun mempunyai hak kerahmanan atau hak kasih sayang. Rahim adalah kerahmatan Allah yang hanya diberikan kepada orang Islam.
Jadi rahim itu adalah khoshshun lil muslimin. Apabila Islam dilakukan secara benar, maka rahman dan rahim Allah akan turun semuanya.
Pengalaman penulis yang merupakan aplikasi dari konsep ini adalah ketika tinggal di Malaysia. Pengalaman menarik mengenai bagaimana pandangan suku dan ummat agama lain terhadap Islam ketika diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika penulis tinggal dan studi di Malaysia, sering silaturrahim dengan kawan pekerja Indonesia yang tinggal dan bertetangga dengan orang China. Suatu hari kawan yang bernama Mahfudz ini bilang bahwa tetangga kita yang China dia bilang suka sama kamu. Katanya dia bilang suka sama kamu, karena lihat kamu sering dan rajin ke Masjid.
Bagi dia, orang Melayu (sebutan identik untuk orang Islam) yang rajin sholat ke Masjid pasti orang baik. Sebaliknya Melayu yang tak sholat atau tidak rajin ke Masjid bukan orang baik atau Melayu jahat.
Terjawab sudah keheranan saya selama ini. Mengapa tetangga kami yang China itu begitu baik kepada saya. Setiap bertemu dia selalu menyapa dan melambaikan tangannya. Bukan hanya itu, dia juga menyuruh anak-anaknya untuk selalu menyapa saya dan melambaikan tangannya.
Masih selalu teringat sapaan lucu dan lambaian tangan anak-anaknya dengan ucapan, “by Keke..by Keke” (Keke sebuatan untuk Abang di China Malaysia).
Penilaian tetangga China ini sangat umum dan universal namun juga personal. Dengan mudahnya dia menyimpulkan bahwa orang Islam yang mengamalkan agama seperti rajin sholat, berdasarkan pengalaman dan pengamatan dia pastilah dia orang baik. Dan dia juga percaya untuk merasa nyaman berhubungan dengan orang Melayu yang mengamalkan nilai-nilai agama.
Pengalaman kedua, ketika penulis mengendarai sepeda motor tanpa memakai helm. Untuk menjadi maklum bahwa di Malaysia ada dua kelompok pengendara bermotor yang mendapat keringanan atau pembolehan untuk tidak memakai helm, yaitu orang agama Shink yang biasanya memakai sorban yang dililit di kepala begitu besarnya sehingga tidak memungkinkan memakai helm dan dibolehkan dengan alasan menjalankan agama. Kelompok kedua adalah jamaah tabligh yang juga sering memakai sorban dan dengan alasan ibadah sunnah sehingga juga dibolehkan untuk tidak memakai helm saat berkendara motor.
Pengalaman ini yang penulis lakukan ketika malas memakai helm maka cukup dengan sorban tanpa ada gangguan dari polisi. Suatu hari, dengan mengendarai motor yang hanya memakai jubah putih dan surban, ketika akan mengisi bensin didatangi oleh orang asing yang dari wajah dan bicaranya jelas dia keturunan China. Dia menunjukkan motornya yang sedang pecah ban-nya dan minta uang untuk ganti ban dalam. Perlu diketahui kalau pecah ban di Malaysia tidak ada tukang tambal ban, tapi langsung diganti ban dalamnya. Dengan keheranan penulis bertanya, kenapa minta uang ke saya yang orang asing, sedangkan pemilik bengkel ban-nya yang ada di seberang pomp bensin adalah orang China dan sama kaum dengan dia.
Dengan bahasa Melayu logat China dia menjawab karena saya orang baik. Dari cara berpakaian saya, dia tau bahwa saya orang Islam baik, suka memberi dan tidak akan mengecewakan dia. Sedangkan kenapa dia tidak minta kepada pemilik bengkel yang justru sesama China pasti tidak akan diberi. Tahukan kalian kawan-kawan, saya yang waktu itu berstatus sebagai mahasiswa dengan isi dompet yang pas-pasan, dengan ikhlas yang dipaksakan memberikannya uang sepuluh Ringgit Malaysia untuk ganti ban dalam sepeda motornya.
Demi menjaga kepercayaan dia terhadap nama baik Islam yang suka memberi. Demi untuk tidak meruntuhkan kepercayaannya selama ini kalau orang yang berpakaian Islami dengan jubah dan surbannya adalah orang yang baik dan suka berderma.
Selain itu juga rasa kemanusiaan saya yang terketuk melihat kesusahan sesama manusia walaupun dia berbeda suku, ras, bangsa dan agama. Dari kejadian ini saya bisa mengambil kesimpulan bahwa pandangan ummat agama lainpun akan sama ketika melihat orang Islam yang notabene dalam pandangan mereka mengajarkan dan mengamalkan nilai-nilai ke-Islaman. Bahwa ketika Islam diamalkan maka akan melahirkan peribadi-peribadi yang baik.
Peribadi-peribadi yang ramah, suka menolong, penuh toleransi yang tinggi terhadap pemeluk agama lain dan banyak lagi nilai-nilai positif yang akan disematkan. Islam sebagai agama rahmatan lil ‘aalamiiin, telah memberikan rasa tentram, nyaman dan damai bagi pemeluk agama lain ketika benar-benar diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks Islam rahmatan lil ’aalamiiin, Islam telah mengatur tata hubungan menyangkut aspek-aspek ritual, sosial, teologis dan humanitas. Dalam segi teologis, Islam memberi rumusan tegas dan jelas yang harus diyakini oleh setiap pemeluknya, namun tidak dapat dijadikan alasan untuk memaksa ummat lain memeluk agama Islam sebagimana konsep laa Ikrooha fiddiin (tidak ada paksaan dalam agama). Begitupun halnya dalam tataran ritual yang memang sudah ditentukan operasionalnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Namun sebaliknya dalam konteks kehidupan sosial, Islam sesungguhnya hanya berbicara mengenai ketentuan-ketentuan asas atau pilar-pilarnya saja, yang aplikasi operasionalnya secara detail dan komprehensif tergantung pada kesepakatan dan pemahaman masing-masing ummat Islam. Wallaahu a’lam.