Apa itu Fatherless? Inilah Dampaknya Bagi Tumbuh Kembang Anak
Mari Belajar dari Keluarga Luqman
ASSAJIDIN.COM — Banyak orang yang beranggapan pengasuhan anak merupakan tanggung jawab dan tugas ibu saja. Padahal, mengasuh anak tidak boleh hanya dibebankan kepada ibu, tetapi ayah juga perlu mengambil peran penting. Jangan sampai si Kecil merasa fatherless karena ketidakhadiran sosok ayah dalam hidupnya.
Seorang anak yang tumbuh bersama ibunya tanpa kehadiran ayah baik secara fisik atau psikologis dikenal dengan nama fatherless.
Dibanding single mother atau broken home, fatherless mungkin jarang terdengar. Padahal sebenarnya, fenomena ini cukup besar di Indonesia.
“Fatherless diartikan sebagai anak yang bertumbuh kembang tanpa kehadiran ayah, atau anak yang mempunyai ayah tapi ayahnya tidak berperan maksimal dalam proses tumbuh kembang anak dengan kata lain pengasuhan,” kata Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti dikutip dari Antara.
Indonesia sendiri disebut menempati urutan ketiga di dunia sebagai negara dengan anak-anak tanpa ayah (fatherless country) terbanyak. Namun demikian, masih belum jelas penelitian mana yang menyimpulkan hal tersebut.
Fatherless dalam arti sesungguhnya seperti anak yatim yang ditinggal mati ayahnya. Atau fatherless dalam arti kehadiran sosok ayah yang tidak hadir dalam kehidupan anak, padahal ayahnya ada.
Peran Ayah Hilang
Fenomena fatherless ini muncul sebagai akibat dari peran ayah yang hilang dalam proses pengasuhan dan tumbuh kembang anak. Salah satunya karena peran gender tradisional yang masih melekat di masyarakat Indonesia.
Fatherless sebenarnya bukan hanya soal kehadiran fisik seorang ayah karena hubungan rumit antara ibu dan ayah, tapi juga secara psikologis, sekalipun orang tua berada masih dalam hubungan pernikahan.
Sebenarnya ada banyak kisah fatherless, namun mungkin tak disadari. Misalnya keluarga miskin yang tidak memiliki figur ayah karena ibunya merupakan istri muda, keluarga kaya yang kehilangan figur ayah karena alasan sibuk bekerja dan sering bepergian keluar kota, atau tanpa sadar tidak menjadikan keluarga sebagai prioritas.
Meskipun anak memiliki ayah, namun mereka tidak mendapatkan pendampingan dan pengajaran dari sosok ayah maka tetap berdampak buruk bagi perkembangan masa depannya.
Lebih lanjut, anak yang mengalami fatherless rata-rata merasa kurang percaya diri, cenderung menarik diri di kehidupan sosial, rentan terlibat penyalahgunaan obat terlarang, rentan melakukan tindak kriminal dan kekerasan, kondisi kesehatan mental yang bermasalah, munculnya depresi hingga pencapaian nilai akademis yang rendah.
Hal tersebut umumnya terjadi karena anak kehilangan sosok ayah sebagai panutan dan pendamping hidup. Adanya kekosongan peran ayah dalam pengasuhan anak, terutama dalam periode emas, yakni usia 7-14 tahun dan 8-15 tahun sangat berpengaruh dalam urusan prestasi sekolah. Dampak fatherless bagi anak-anak yang bersekolah antara lain sulit konsentrasi, motivasi belajar yang rendah, dan rentan terkena drop out.
Untuk menghindari berbagai masalah perkembangan anak, kehadiran ayah sangatlah diperlukan. Tak hanya untuk anak laki-laki, tapi kehadiran ayah juga diperlukan anak perempuan. Anda tentunya ingat ungkapan, ayah adalah cinta pertama anak perempuannya.
Menjadi seorang ayah yang baik bukan berarti harus menjadi superman atau superdad. Cara paling mudah adalah dengan meluangkan waktu, memberikan telinga untuk mendengarkan kisah dari anak-anak, memberikan kehangatan melalui ciuman, pelukan, atau bentuk kasih sayang lainnya, itulah yang diperlukan oleh anak.
Belajar dari Keluarga Luqman
Ayah dan ibu memiliki peranan masing-masing dalam pengasuhan. Jika ibu mengajarkan tentang pendewasaan emosi, empati, dan nilai-nilai kasih sayang, maka ayah dapat mengajarkan tentang logika, keberanian, dan kemandirian.
Sisi feminin dan maskulin ini dapat membentuk anak menjadi pribadi yang ‘utuh’.
Sejenak kita cermati nash-nash al-Quran, maka kita temukan beberapa peristiwa yang terekam dengan begitu sempurna tentang hubungan dialogis nan harmonis antara seorang ayah yang shalih dengan anaknya.
Peristiwa ini terekam dalam Qs. Luqman/31: 12-19. Ayat ini dimulai dengan nasihat Allah pada Luqman tentang pentingnya bersyukur, “Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu, “Bersyukurlah kepada Allah! Dan barangsiapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji.” (Qs. Luqman/31: 12).
Setelah menekankan pentingnya sifat syukur, Luqman menasihati anaknya dengan nasihat yang sungguh berharga, pertama, perintah untuk memurnikan keesaan Allah (tauhid), “Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, “Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.”
Setelah menanamkan pondasi tauhid, nasihat kedua yang diajarkan Luqman dan bisa diteladani oleh seluruh orangtua adalah pentingnya menjaga adab dan budipekerti pada kedua orangtua. “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.”
Tugas-tugas reproduksi perempuan, Allah teguhkan dalam ayat tersebut melalui lafadz wahnan ‘alaa wahnin yang beramakna kepayahan demi kepayahan yang dialami seorang ibu saat mengandung. Karena berat dan panjangnya masa reproduksi itulah, seorang anak diminta untuk berlaku ihsan baik pada ayahnya, terlebih ibunya.
Di ujung ayat, Luqman juga menasihati untuk senantiasa bersyukur pada Allah dan kepada orangtua. Sebab jerihpayah orangtualah seorang anak bisa tumbuh dengan fisik dan psikis yang sehat.
Sementara itu, pada ayat 15, Allah Swt menasihati bahwa adab pada orangtua tetap harus dijaga kendati kedua orangtua mengajak seorang anak pada kekufuran. Seorang anak tetap tidak diperkenankan berbuat kasar dan zalim meskipun orangtuanya mengajak musyrik. Ayat ini berkorelasi dengan ayat 12 karena nasihat pertama Luqman pada puteranya ialah meneguhkan tauhid.
Setelah perintah tentang tauhid dan berbudi pekerti pada kedua orangtua, ayat berikutnya mengisyaratkan tentang sifat Lathif-Nya Allah. Allah yang akan menilai dan memberi ganjaran siapapun hamba-Nya yang berbuat baik. (Novi Amanah/ dikutip dari tulisan Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id/berbagai sumber)