Berharap Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur di Negeri Kita Indonesia
AsSAJIDIN.COM – Tidak jarang kita mendengar istilah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Biasanya istilah berbahasa Arab ini disematkan dalam doa dan harapan akan sebuah negeri maju nan sejahtera. Seperti halnya Presiden Jokowi pernah menggunakan istilah ini dalam pidato peringatan Hari Lahir Pancasila, dua tahun lalu. Ketika itu Presiden Jokowi menyampaikan harapannya agar Indonesia dapat menjadi negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Lantas, apa sebetulnya makna hakiki istilah tersebut?
Sebelumnya perlu diketahui, istilah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur bersumber dari firman Allah swt. pada surah Saba’ [34]: 15. Karena itu, guna memahami makna hakiki istilah tersebut, seyogianya kita terlebih dulu mendaras ayatnya berikut ini,
لَقَدْ كَانَ لِسَبَاٍ فِيْ مَسْكَنِهِمْ اٰيَةٌ ۚجَنَّتٰنِ عَنْ يَّمِيْنٍ وَّشِمَالٍ ەۗ كُلُوْا مِنْ رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوْا لَهٗ ۗبَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَّرَبٌّ غَفُوْرٌ
Sungguh, bagi kaum Saba’ ada tanda (kebesaran Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri, (kepada mereka dikatakan), “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman) sedang (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.”
Ringkasnya, ayat ini mengisahkan perihal bangsa Saba’ yang Allah anugerahkan sumber daya alam amat luas dan subur. Digambarkan bahwa kehidupan bangsa Saba’ begitu sejahtera dengan bentangan kebun di kiri kanan mereka, sehingga tak kekurangan suplai bahan makanan dan buah-buahan. Atas itu kemudian mereka diperintahkan supaya bersyukur kepada Allah. Sebab, kemakmuran negeri mereka berkat karunia Allah yang telah mencukupi kebutuhan hidup juga melindungi mereka dari segala malapetaka.
Menurut Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Saba’ adalah nama suatu suku bangsa yang masyhur di zamannya. Sedangkan negeri tempat tinggalnya bernama Ma’rib. Allah menyebut negeri itu sebagai baldatun thayyibatun (negeri yang baik/nyaman), karena udaranya bagus, daerahnya bersih, serta ketersediaan lapangan pekerjaan yang melimpah dan mudah diperoleh.
Selain itu, Allah juga menjanjikan curahan ampun serta rahmat-Nya bagi segenap penduduk Saba’ senyampang mereka mensyukuri kemakmuran tersebut. Itulah mafhum dari firman Allah di pengujung ayat di atas, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negerimu adalah negeri yang baik/nyaman, sedangkan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Pengampun). Begitu penjelasan Syekh as-Sa’di dalam kitab tafsirnya.
Lebih lanjut dijelaskan pula dalam kitab Ma’alim al-Tanzil atau yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Baghawi. Bahwa maksud dari perintah bersyukur kepada Allah pada ayat di atas, yaitu hendaknya bangsa Saba’ berlaku taat kepada Allah. Dalam arti mematuhi segala perintah-Nya serta meninggalkan setiap larangan-Nya. Jika sudah demikian, barulah Allah akan menggaransi magfirah atas dosa-dosa mereka. Begitu tafsiran Syekh Muqatil (w. 767 M) terhadap penggalan ayat wa rabbun ghafurun (sedangkan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Pengampun).
Ibnu Zaid (w. 182 H), yakni Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, seorang tokoh mufasir dari kalangan tabi’ tabiin (generasi ketiga setelah sahabat dan tabiin), memberikan ilustrasi lebih detail mengenai kondisi negerinya bangsa Saba’ itu. Konon, negeri itu bebas dari hewan-hewan yang membahayakan maupun menjijikkan, seperti nyamuk, lalat, kutu, kalajengking, dan ular. Bahkan, seandainya seseorang memasuki negeri itu dengan mengenakan pakaian yang ada kutunya, maka seketika kutunya akan mati lantaran bagusnya udara di sana. Itulah yang melatari Alquran menyebutnya sebagai “negeri yang nyaman (baldatun thayyibatun)”.
Imam al-Qurthubi menambahkan penafsiran mengenai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur dalam ayat di atas. Menurutnya, penggalan ayat itu menunjukkan bahwa Allah mengumpulkan sekaligus pada orang-orang Saba’, yakni antara ampunan Allah atas dosa-dosa mereka dan anugerah-Nya bagi kebaikan tempat tinggal mereka. Kedua hal itu merupakan harmonisasi antara keberkahan negeri dan kesalehan penduduknya.
Sebetulnya masih sangat banyak penjelasan penting lainnya menyangkut kejayaan bangsa Saba’. Akan tetapi, setidaknya berdasarkan beberapa penjelasan dan penafsiran para ahli tafsir ini, dapat disimpulkan bahwa baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur adalah istilah yang merepresentasikan sebuah negeri dengan sumber daya alam yang kaya sekaligus penduduknya yang berlaku takwa. Dengan demikian, mengharapkan Indonesia menjadi negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, mengharuskan kita masyarakat Indonesia untuk mengupayakan dua hal secara simultan.
Hal pertama, kita mesti menjaga, merawat, dan memanfaatkan anugerah Tuhan berupa kekayaan alam negeri tercinta ini sebaik-baiknya. Di samping itu, hal yang kedua meniscayakan kita untuk menjaga hubungan baik dengan Sang Pencipta yang telah menganugerahkan alam Indonesia yang luar biasa ini.
Adapun manifestasi atas hal yang pertama adalah peningkatan atas Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi). Sebab, dengan itu sumber daya manusia Indonesia akan menjadi benar-benar cakap serta bijak dalam mengelola sumber daya alamnya.
Sedangkan hal yang kedua terejawantahkan melalui peningkatan Imtak (iman dan takwa). Untuk konteks masyarakat Indonesia yang plural, ihwal ini tentu terealisasi menurut agama masing-masing. Lagi pula, Islam tidak membenarkan intimidasi terhadap agama selainnya. Malahan, Islam mengajarkan umatnya agar menghormati keyakinan umat yang berbeda. Demi menghalau mafsadah dari terjadinya saling usik antar-agama.
Walakhir, memang kedua hal tersebut tidak mudah dan membutuhkan perjuangan panjang. Akan tetapi, sebagaimana amanat Presiden Jokowi dalam pidatonya pada peringatan Hari Lahir Pancasila dua tahun silam. Bahwa dengan semangat dan sinergi seluruh lapisan anak bangsa, insya Allah, kelak kita pasti bisa menyongsong Indonesia Emas 2045 menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Amiiin. (*/sumber:bincangsyariah.com)