Jika Engkau Ridho Allah pun Ridho
“Ridholah kepada apapun yang menimpamu, baik ujian maupun kesenangan”

Oleh: H. Emil Rosmali (Pemimpin Umum Assajidin.com )
ASSAJIDIN. com – Ridho artinya rela, puas, dan senang terhadap ketentuan Allah Swt.. Orang yang berhati ridho pada Allah memiliki sikap optimistis, lapang dada, kosong hatinya dari dengki, selalu berprasangka baik, bahkan lebih dari itu, ia senantiasa memandang baik, sempurna, dan penuh hikmah.

Sedikitnya, Al-Qur’an dan hadist menyebutkan empat hal tentang ridha yang diperintahkan dan dua hal ridha yang dilarang. Ridho yang diperintahkan, yaitu pertama, ridho seseorang terhadap Allah sebagai Rabbnya, agama Islam sebagai dinnya, dan Nabi Muhammad sebagai rasulnya.
Dari ‘Abbas bin Abdul Muththalib, Rasulullah Saw. bersabda, “Akan merasakan kelezatan iman, orang yang ridho kepada Allah sebagai Rabbnya dan Islam sebagai agamanya serta Muhammad sebagai nabi dan rasulnya.” (HR Muslim). Mereka yang ridho kepada Allah maka Allah pun meridhai mereka (QS. Al-Mujadalah [58]: 22).
Semua kita barangkali masih ingat Ketika belajar di madrasah, atau di sekolah tingkat pertama di kampung, Ketika guru mengajarkan sebuah bacaan “Radhiitu billahi rabba, wabil Islami dina, wabi Muhammadin nabiyya wa rasula.” Artinya: “Aku rela (senang) Allah sebagai Rabb (Tuhanku), Islam agamaku dan Muhammad Saw. sebagai Nabi dan Utusan-Nya.”
Selain itu, kita juga sering berdoa: “Allhumma inni as’aluka ridhaka wal jannah, wa a’udzu bika min sakhathika wan nar.” Artinya: “Ya Allah aku (kami) memohon kepada-Mu akan ridha-Mu dan surga; dan aku (kami) berlindung kepada-Mu dari kemurkaan-Mu dan siksa neraka.”
Dalam konteks ini kita patut bertanya kepada diri sendiri: “ Apakah selama ini kita sudah ridha terhadap Allah, Islam dan Nabi Muhammad Saw.? Dan mengapa kita perlu memohon ridha Allah?” Ridha merupakan bentuk mashdar (infinitive), dari radhiya-yardha yang berarti: rela, menerima dengan senang hati, cinta, merasa cukup (qana’ah), berhati lapang.
Bentuk lain dari ridha adalah mardhat dan ridhwan (yang super ridha). Antonim kata ridha adalah shukht atau sakhat, yang berarti murka, benci, marah, tidak senang, dan tidak menerima. Ridha adalah engkau berbuat sesuatu yang membuat Allah senang atau ridha, dan Allah meridhai apa yang engkau perbuat. Ridha hamba kepada Allah berarti ia menerima dan tidak membenci apa yang menjadi ketetapan Allah. Sedangkan ridha Allah kepada hamba berarti Dia melihat dan menyukai hamba-Nya yang menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Ada dua dimensi ridha, yaitu ridha billah dan ridha ‘anillah. Ridha billah atau rela dan cinta kepada Allah berarti bersedia mengimani dan menjadikan-Nya sebagai Dzat yang wajib diibadahi, tidak menyekutukan-Nya, dimintai pertolongan, dan ditaati syariat-Nya. Sedangkan ridha ‘anillah berarti hamba menerima ketentuan, takdir, rizki, dan segala sesuatu yang ditetapkan oleh-Nya. Ridha dalam konteks ini tidak berarti hamba menyerah-pasrah tanpa usaha, berdoa dan bertawakkal. Sebaliknya, hamba diharuskan memahami hukum sebab-akibat, berusaha maksimal dan berdoa. Ridha kepada Allah mengharuskan hamba untuk selalu beriman kepada-Nya, termasuk percaya kepada qadha dan qadar-Nya; mencintai dan menaati syariat-Nya; mencintai Rasul-Nya dan mengikuti keteladananya; menjadikan Islam sebagai agama pilihan hidupnya; dan mengorientasikan hidupnya dengan penuh keikhlasan untuk meraih cinta dan ridha-Nya.
Oleh karena itu, ada tiga kategori ridha yang harus ditapaki hamba. Pertama, ridha bi syar’illah (syariat Allah) berarti menerima dan menjalankan syariat-Nya dengan ikhlas dan penuh dedikasi. Kedua, ridha bi qadha’illah (ketentuan Allah) berati tidak menolak dan membenci apa yang telah ditetapkan Allah, termasuk segala sesuatu yang tidak menyenangkan (musibah), karena ujian dari Allah merupakan tangga peningkatan derajat iman. Ketiga, ridha bi rizqillah (rezeki Allah) berarti menerima dan merasa cukup (qana’ah) terhadap rezeki yang dianugerahkan kepadanya, tidak rakus dan tidak serakah, meskipun sedikit dan belum mencukupi kebutuhannya. Dengan demikian, menggapai ridha Allah itu merupakan keharusan bagi setiap Muslim, karena Allah menjadikan ridha itu sebagai syiar kehidupan akhirat.
“Pada hari itu banyak (pula) wajah yang berseri-seri, merasa senang (ridha) karena usahanya (sendiri), (mereka) dalam surga yang tinggi.” (QS. Al-Ghasyiyah [88]: 8-10). “Allah selalu memanggil hamba-Nya yang berhati ridha. “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya.” (QS. Al-Fajr [89]: 27-28).
Selain itu, Allah menjadikan ridha itu sebagai salah satu syarat terwujudnya rukun iman. Seseorang tidak disebut beriman manakala tidak ridha terhadap segala ketentuan Allah. Ridha juga dapat mengantarkan Mukmin menjadi mukhlis, tulus ikhlas karena Allah sehingga amalan-amalannya dapat diterima oleh-Nya. Ridha juga dapat menjadi obat hati yang dapat menangkal segala penyakit hati, sekaligus dapat membuat hati lapang dan merasa qana’ah terhadap segala pemberian Allah. Ridha merupakan salah satu faktor yang menyebabkan hidup Muslim menjadi tenang, damai, tenteram, tidak diliputi keresahan dan kegalauan. Ridha merupakan salah satu jalan yang mengantarkan kepada pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah.
Ridha Suami Pada Istri
Dengan ridha, hamba dapat menghiasi dirinya dengan akhlak mulia, menjauhkan diri dari perbuatan tercela dan sia-sia, karena standar ridha kepada Allah itu menuntut hamba untuk selalu taat dan bertaqwa kepada-Nya. Menggapai ridha Allah senantiasa dilakukan dengan memperoleh ridha kedua orang tua dalam segala hal. Rasulullah Saw. bersabda: “Ridha Allah itu tergantung pada ridha kedua orang tua; dan kemurkaan Allah itu juga tergantung pada kemurkaan keduanya.” (HR. Muslim) Untuk lebih memantapkan usaha kita dalam menggapai ridha-Nya, ada baiknya kita selalu berdoa: “Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shaleh.“ (QS. An-Naml [27]: 19)
Lalu, ridha orang tua terhadap anaknya. Ridha Allah Swt. bergantung pada ridha orang tua sesuai sabda Rasulullah Saw., “Ridha Allah Swt. tergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah Swt. tergantung kepada kemurkaan orang tua.” (HR Bukhori, Ibnu Hibban, Tirmidzi, Hakim). Kemudian, ridha suami kepada istrinya. “Setiap istri yang meninggal dunia dan diridhoi oleh suaminya maka ia masuk surga.” (HR at-Tirmidzi).
Ridho dalam transaksi jual beli. Disebutkan dalam firman Allah Swt., “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan ridha di antaramu.” (QS. An-Nisaa [4]: 29).
Adapun, ridha yang dilarang, pertama, ridha terhadap dunia. “Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami dan merasa ridha dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan (kehidupan itu) dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami. Mereka itu tempatnya di neraka karena apa yang telah mereka lakukan.” (QS. Yunus [10]: 7-8). Ridha bersama-sama orang yang menyelisih Nabi.
Konteks saat ini adalah menyelisihi dan meninggalkan sunah Nabi Saw., balasannya adalah Allah Swt. akan mengunci hati mereka dari kebenaran. (QS. At-Taubah [9]: 93). Sudah selayaknya setiap mukmin berusaha mengamalkan ridho yang diperintahkan. Allah memuliakan status orang-orang yang ridho dengan surga. “Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridho terhadap mereka dan meraka pun ridho kepadanya.” (QS Al-Bayyinah [98]: 8). Wallahu a’lam bis shawab.(*)