Mengenal Lebih Dekat Gua Hira Tempat Rasulullah Menerima Wahyu Pertama
AsSAJIDIN.COM — Gua Hira terletak di puncak Jabal Nuur yang terletak di sebelah timur kota Mekah, sekitar 4 km dari Masjidil Harom. Tinggi Jabal Nuur sekitar 634 meter.
Letak Gua Hira sekitar 20 meter sebelum mencapai puncak Jabal Nuur. Gua Hira adalah semacam celah di dekat puncak gunung yang pintunya mengarah ke utara, tinggi celah tqersebut 4 hasta dan lebarnya 1,75 hasta (lihat Ar-Rohiiq al-Makhtuum hal 55).
Dan memungkinkan 5 orang untuk duduk di dalam goa tersebut. Orang yang memasuki Gua Hira mengarah ke arah ka’bah, dan memungkinkan bagi seseorang yang berdiri di atas Jabl Nuur untuk melihat Mekah beserta bangunan-bangunannya.
Di Gua Hira inilah Nabi shallallahu álaihi wasallam pertama kali menerima wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril. Allah menurunkan ayat 1-5 dari surat al-Álaq.
Sebelum menerima wahyu Nabi shallallahu álaihi wasallam senang untuk menyendiri di Gua Hira karena ingin menjauh dari kerusakan dan kemaksiatan serta kesyirikan yang terjadi di kota Mekah. Beliau ingin lebih dekat kepada Pencipta alam semesta, hanya saja beliau tidak tahu apa yang harus beliau lakukan, sehingga beliau memilih untuk menjauh (úzlah) ke Gua Hira, hingga akhirnya Allah menurunkan wahyu kepada beliau.
Puncak Jabal Nuur. Orang yang hendak ke Gua Hira harus sampai dulu ke puncak Jabal Nuur lalu turun ke arah sebelahnya sekitar 20 meter. Dan ini adalah jalan satu-satunya yang memungkinkan untuk sampai ke Gua Hira saat ini.
Proses Turunnya Wahyu
Adapun proses turunnya wahyu maka sebagaimana disebutkan dalam hadits yaitu Nabi suka bermimpi terlebih dahulu, lalu beliau suka berkholwat (menyendiri) di Gua Hira’, lalu baru turunlah wahyu. Berikut ‘Āisyah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā, menuturkan:
أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الوَحْيِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فِي النَّوْمِ، فَكَانَ لاَ يَرَى رُؤْيَا إِلَّا جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ
“Wahyu pertama kali turun kepada Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam dalam bentuk mimpi yang benar tatkala tidur. Dan tidaklah Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bermimimpi kecuali mimpi tersebut datang seperti cahaya shubuh (sangat jelas).”([1])
‘Aisyah melanjutkan tuturannya:
ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ الخَلاَءُ، وَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ – وَهُوَ التَّعَبُّدُ – اللَّيَالِيَ ذَوَاتِ العَدَدِ قَبْلَ أَنْ يَنْزِعَ إِلَى أَهْلِهِ، وَيَتَزَوَّدُ لِذَلِكَ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى خَدِيجَةَ فَيَتَزَوَّدُ لِمِثْلِهَا، حَتَّى جَاءَهُ الحَقُّ وَهُوَ فِي غَارِ حِرَاءٍ
“Kemudian Nabi dijadikan Allāh menyukai berkhalwat, Beliau ﷺ pergi ke Gua Hirā dan beribadah([2]) di sana beberapa malam sebelum ia kembali ke istrinya (Khadijah). Ia membawa bekal untuk berkholwat, kemudia beliau kembali lagi ke Khadijah lalu menyiapkan bekal seperti itu lagi. Sampai datangnya malaikat Jibrīl dan Beliau berada didalam Gua Hirā.([3])”
‘Aisyah melanjutkan tuturannya :
فَجَاءَهُ المَلَكُ فِيهِ، فَقَالَ: اقْرَأْ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” فَقُلْتُ: مَا أَنَا بِقَارِئٍ، فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الجَهْدُ، ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ: اقْرَأْ، فَقُلْتُ: مَا أَنَا بِقَارِئٍ، فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّانِيَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الجَهْدُ، ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ: اقْرَأْ، فَقُلْتُ: مَا أَنَا بِقَارِئٍ، فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّالِثَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الجَهْدُ، ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ: {اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ} [العلق: 1]- حَتَّى بَلَغَ – {عَلَّمَ الإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ} [العلق: 5]
Maka malaikat (Jibril) mendatanginya di gua Hira’, lalu berkata; “Bacalah!”. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menjawab: “Saya sungguh tidak bisa membaca.” Beliau menuturkan: “Lalu ia memegangku dan mendekapku hingga aku sangat kepayahan. Kemudian ia melepaskanku dan berkata; “Bacalah!”. Aku berkata; “Sungguh aku tidak bisa membaca.” Lalu ia memegangku dan memelukku kembali untuk yang kedua kalinya hingga aku sangat kepayahan. Kemudian ia melepaskanku lalu berkata; “Bacalah!”. Aku kembali menjawab; “Sungguh aku tidak bisa membaca.”([4]) Ia pun memegangku dan mendekapku dengan erat untuk yang ketiga kalinya hingga aku pun sangat kepayahan. Kemudan ia melepaskanku lalu berkata; اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan) sampai kepada ayat عَلَّمَ الإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (Dia mengajarkan manusia apa yang tidak manusia ketahui).”
Peringatan :
Perlu diperhatikan, bahwa Gua Hirā adalah tempat bersejarah, bukan tempat untuk mencari keberkahan. Oleh karena itu, tidak pernah diriwayatkan Nabi ﷺ kembali lagi ke Guā Hirā setelah menjadi Nabi, dan tidak pula pernah diriwayatkan bahwa seorang shahābat atau tabi’in mencari keberkahan atau beribadah di sana. Jika Gua Hira itu memiliki keberkahan, niscaya mereka akan berbondong-bondong ke sana. Tetapi jika sekedar hanya ingin mengetahui sejarah, bagaimana dahulu susahnya Nabi ﷺ ketika berkhalwat, susahnya Nabi mendaki hingga ke Gua Hiraa’ maka hal ini tidak mengapa. Oleh karena itu, Al-Hāfizh Ibnu Katsīr rahimahullāh dalam tafsirnya mengatakan tentang gua Ashabul Kahfi, bahwa kita tidak perlu mencari tahu dimana posisi Gua tersebut, karena Allāh tidak menyebutkan letaknya. Seandainya mengetahui lokasi Gua Ashabul Kahfi itu bermanfaat niscaya Allāh akan menyebutkannya atau Nabi yang akan menyebutkannya. Ketika Allah dan Nabi tidak menyebutkan dimana lokasinya, menunjukkan hal tersebut tidak bermanfaat. (lihat Tafsir Ibnu Katsir 5/130, tafsir dari ayat 17 dari surat al-Kahfi)
Karenanya merupakan kesalahan sebagian orang yang ke Gua Hira dengan niat untuk mencari keberkahan apalagi untuk sholat di situ. Itu merupakan bidáh yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi shallallahu álaihi wasallam dan para sahabatnya. (*/sumber: wakilahmu)