1 Abad NU Pemikiran Pendidikan Islam Hasyim Asy’ari dan Tradisionalisme
Oleh : Sholehatul Akmalia
Guru MTs PP Qodratullah Putri
AsSAJIDIN.COM — Kontribusi positif yang disumbangkan K.H. Hasyim Asy’ari terhadap pendidikan di Indonesia bukan saja berupa pemikiran pendidikannya, tapi beliau adalah praktisi pendidikan yang berhasil melalui institusi pendidikan yang disebut sebagai pesantren. Sejarah terbentuknya institusi ini di Indonesia sebenarnya telah ada sejak penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh para wali.
Setiap mereka memiliki pesantren. Perjuangan K.H. Hasyim Asy’ari dimulai dari mengabdi di pesantren milik ayahnya, yaitu pesantren Gedang. Kemudian pada bulan Rabiul Awwal tahun 1906 mendirikan pesantren Tebuireng dengan 28 orang santri yang berasal dari pesantren Gedang.
Pondok pesantren merupakan bentuk lembaga yang wajar dari proses perkembangan system pendidikan nasional. secara historis, pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua. Oleh karena itu, wajar kalau Nurcholis Madjid mencap pesantren sebagai lembaga yang mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). (Zaini Muchtarom, hlm.20)
Di masa-masa awal perkembangan pesantren tradisional, sering dipahami sebagai lembaga pribadi milik ulama.
Pengajarannya didasarkan pada “kitab klasik” (kitab kuning) karya para ulama terkemuka pada abad pertengahan (1250-1850), yang biasanya dari mazhab Syafi’i. materi pengajarannya selalu mencakup tata bahasa Arab (nahwu dan sharf), seni baca al-Qur’an (qira’ah), tafsir al-Qur’an, tauhid, fiqh, aqidah akhlaq, mantiq, tarikh (sejarah), dan tasawuf. Semua materi ini diajarkan dengan metode weton dan halaqah, dimana para pelajar duduk melingkar di depan seorang ulama, yang duduk dan menyuruh para muridnya secara bergantian untuk membaca kitab kuning.
Materi pelajaran yang diajarkan di pesantren pada awalnya hanya berkisar pada pelajaran agama dan bahasa Arab. Kondisi ini sama dengan keadaan surau-surau lainnya di seluruh Indonesia.
Hanya memerlukan waktu 10 tahun, pesantren Tebuireng, yang menggunakan metode sorogan dan bandongam antara 1899-1916, menjadi pesantren besar. Hal ini, selain berkat keulamaan dan intlektualitas pendirinya, juga disebabkan kopetensi pembantu-pembantu yang merupakan kyai senior, seperti K.H. Alwi, K.H. Ma’sum, K.H. Baidlawi, K.H. Moh. Ilyas, dan K.H. Wahid hasyim. Mereka adalah keluarga pesantren yang memegang peranan menentukan bagi kejayaan pesantren Tebuireng.
K.H. Hasyi Asy’ari dengan tempaan pengalaman dan pergulatannya dengan kelompok pembaharu maupun pengaruh yang didapatnya di Mekkah, tidak menutup diri terhadap gagasan pemnaharuan, terutama menyangkut modernisasi lembaga pendidikan pesantren, walaupun tetap menolak gagasan anti mazhab.
Dengan sikap seperti ini, K.H. Hasyim Asy’ari pada tahun 1916 menerima gagasan K.H. Ma’sum, menantu pertamanya untuk mengenal system madrasah (klasikal) pada pesantrennya, yang disebut dengan Madrasah Salafiyah yang khusus memberikan pelajaran al-Qur’an.
Kemudian pada 1919, K.H. Hasyim Asy’ari juga menerima saran K.H. Moh. Ilyas, keponakannya untuk menambah pelajaran Bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu bumi kepada para santrinya. Sementara itu pelajaran Bahasa Belanda dan sejarah dimasukkan dalam kurikulum madrasah sejak tahun 1926.
Melalui pesantren Tebuirengnya, K.H. Hasyim Asy’ari sebenarnya memiliki gagasan dan pemikiran pendidikan yang paling tidak tersimpul dalam dua gagasan, yaitu metode musyawarah dan system madrasah dalam pesantren. Selain sorogan dan bandongan, K.H. Hasym Asy’ari menerapkan metode musyawarah khusus pada santrinya yang hampir mencapai kematangan.
Metode musyawarah ini dikembangkan menyerupai diskusi yang terjadi di antara santri kelas tinggi. Metode musyawarah berbeda dengan metode debat (munadhazarah). Di dalam musyawarah, yang terjadi adalah keterbukaan, toleransi, dan sikap yang wajar untuk memberikan dan mengusahakan suatu pemecahan masalah dengan cara terbaik.
Dalam metode ini, yang diutamakan adalah mempertimbangkan dan membandingkan argument yang tumbuh dan berkembang di kalangan peserta. Dengan metode ini, K.H. Hasyim Asy’ari berhasil memupuk para santrinya menjadi ulama yang handal.
Sebagaimana layaknya pondok-pondok pesantren lain, paling tidak ada sembilan prinsip yang dikembangkan dalam pesantren Tebuireng, yaitu prinsip ibadah, amar ma’ruf nahhyi munkar, mengagungkan ilmu, pengamalan, hubungan orang tua dengan anak, estafet, kolektifitas, kemandirian dan kesederhanaan. Sedangkan metode dalam pembelajarannya meliputi : 1) metode keteladanan, 2) latihan dan pembiasaan, 3) mengambil pelajaran (ibrah), 4) nasihat (mauidzah), 5) kedisiplinan, 6) pujian dan hukuman (targhib wa tarhib). (Tamyiz Burhanuddin, hlm.47)
Hasyim asy’ari yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren, serta banyak menuntut ilmu dan berkecimpung secara langsung di dalamnya, di lingkungan pendidikan agama Islam khususnya. Dan semua yang dialami dan dirasakan beliau selama itu menjadi pengalaman dan mempengaruhi pola pikir dan pandanganya dalam masalah-masalah pendidikan.
Untuk menuangkan pemikirannya tentang pendidikan islam, KH. Hasyim Asy’ari telah merangkum sebuah kitab karangannya yang berjudul “Muta’allim Fima Yahtaj Ilah Al-Muta’alim Fi Ahual Muta’allum Wa Yataqaff Al-Mu’allim Fi Maqamat Ta’limah” .
Pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih beliau tekankan pada masalah etika dalam pendidikan, meski tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Di antara pemikiran beliau dalam masalah pendidikan adalah :
Dalam hal signifikansi pendidikan beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahuan adalah mengamalkan. Hal ini agara ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelekannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata.
Mengenai tugas dan tanggungjawab murid, beliau mengemukakan tentang etika murid dalam belajar, etika murid terhadap gurunya, etika murid terhadap pelajaran. Terutama etika murid terhadao gurunya, masih bisa dijumpai pada pendidikan pesantren sekarang ini, akan tetapi sangat langka di tengah budaya sekarang ini. Di tengah-tengah pergaulan sekarang, guru dipandang sebagai teman biasa oleh murid-murid, dan tidak malu-malu mereka berbicara lebih nyaring dari gurunya.
Tugas dan tanggungjawab guru juga beliau mengemukakan tentang etika seorang guru, etika guru dalam mengajar, etika guru bersama murid. Pandangan Hasyim Asy’ari bahwa guru harus membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas, yang apada masanya jarang sekali dijumpai. Termasuk juga sifat dan sikap serta penampilan seorang guru. Hasyim Asy’ari menawarkan agar guru bersikap terbuka, dan memandang murid sebagai subyek pengajaran bukan hanya sebagai obyek, dengan memberi kesempatan kepada murid bertanya dan menyampaikan berbagai persoalan di hadapan guru.
Hasyim Asy’ari sangat menganjurkan agar seorang pendidik atau guru perlu memiliki kemampuan dalam mengembangkan metode dan memberi motivasi serta latihan-latihan yang bersifat membantu murid memahami pelajaran, selain itu juga guru harus memahami murid-muridnya secara psikologi, mampu memahami muridnya secara individual dan memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapai murid.
Hasyim Asy’ari juga mengemukakan tentang etika terhadap buku, alat Pelajaran dan hal-hal lain yang berkaitan denganya. Kejelian dan ketelitian Hasyim Asy’ari dalam melihat permasalahan dan seluk beluk proses belajar mengajar. Etika khusus yang diterapkan untuk mengawali suatu proses belajar adalah etika terhadap buku yang dijadikan sumber rujukan.
Dalam pemikirannya terhadap pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan etika. Kalau dilihat dari pemikiran-pemikirannya dalam pendidikan, bahwa pemikiran yang disampaikan Kyai Hasyi Asy’ari ini sangat maju, dan relevan dengan pendidikan sekarang ini.
Misalnya seorang guru dituntut untuk profesional, guru harus bisa mengembangkan metode pembelajaran, guru harus menulis, membaca untuk menambah ilmu. Kemudian dalam proses pembelajaran guru dan murid harus menjalin hubungan yang harmonis, dan sebagainya. Pemikiran yang disampaikan Kyai Hasyim Asy’ari itu juga merupakan tuntuan dalam dunia pendidikan kita sekarang ini.