Sejarah Jembatan Ampera di Palembang, dan Asal Usul Disebut Proyek
ASSAJIDIN.COM — Terpesona aku melihat wajahnya
Tatkala aku duduk di dekatnya
Sebiduk seiring kali menyeberang
Berperahu ke seberang Sungai Musi”
Penggalan lirik lagu Sebiduk di Sungai Musi ini mengingatkan kita tentang Sungai Musi yang sejak dulu menjadi jalur transportasi air. Sejak sebelum adanya jembatan, masyarakat Palembang berlalu lalang menggunakan perahu. Sungai Musi membuat banyak kenangan yang tak terlupakan.
Hal yang tak terlupakan juga mengenai dibangunnya jembatan yang kini dinamai Ampera. Sejak dulu, orang Palembang menggunakan Kapal Mari untuk bisa menyeberang ke Ilir atau Ulu.
Farida R. Wargadalem, Sejarawan Universitas Sriwijaya (Unsri) dan Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Sumsel, mengatakan pada awal abad ke-20 sudah ada keinginan masyarakat Palembang untuk membangun jembatan.
“Pada masa itu pinggiran sungai mulai dibuat daratan. Dimulai dengan menimbun Sungai Tengkuruk yang sekarang jadi Jalan Tengkuruk dan jadi pusat jualan di 16 Ilir. Dulunya hutan dan sungai,” kata Farida.
Semakin mendesak untuk dibuat jembatan penghubung, sehingga Gubernur Sumatera Selatan Achmad Bastari, menghadap Presiden Soekarno. Mendiskusikan bagaimana caranya agar jembatan dibangun dan akhirnya disetujui.
“Kemudian dibentuk panitia pembangunan jembatan dari tahun 1957. Namun baru benar-benar dibangun tahun 1962 dan selesai 1965,” katanya.
Karena jembatan disetujui dan dibangun di masa Presiden Soekarno, maka masa itu diberi nama jembatan Bung Karno sampai 1966. Setelah peristiwa G30SPKI rakyat menuntut PKI dibubarkan.
“Karena semangat masyarakat saat itu menolak Bung Karno maka diganti jadi Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Tetapi orang asli Palembang sampai saat ini tetap menyebut Ampera sebagai “proyek”, proyek bangunan jembatan,” katanya.
Pada masa itu Kota Palembang tidak punya uang untuk membangun jembatan. Pemerintah hanya punya uang Rp30.000. Karena baru lepas dari revolusi fisik dan tahun 1949 – tahun 1950, Sumsel masih berbenah”
Jadi baru 10 tahun itu mana ada duit, makanya menghadap Bung Karno dan diizinkan menggunakan dana rampasan perang 4,5 juta dolar, saat itu 1 dolarnya 200 rupiah,” katanya. (pitria)