Hukum Mengeringkan Air Wudhu dan Bersentuhan dengan Suami/istri

AsSAJIDIN.COm — Sering ada pertanyaan. Bagaimana hukumnya air wudhu yang sudah dibasuhkan ke muka kemudian dilap atau dikeringkan? Sebab, saya pernah mendengar bahwa tetesan air wudhu itu akan menjadi saksi kita di akhirat nanti. Lalu bagaimana pula status wudhu bila istri bersentuhan dengan suami atau sebaliknya.
Pertanyaan di atas, dapat dijawab sebagai berikut:
Boleh mengeringkan sisa air wudhu pada anggota tubuh, dan tidak mengeringkannya pun tidak apa-apa. Memang ada hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra bahwa dulu Nabi saw mempunyai selembar handuk yang dipakainya untuk melap (tubuhnya) setelah wudhu. Hadits ini diriwayatkan Muaz bin Jabal, “Aku melihat Rasulullah saw setelah wudhu menyapu mukanya dengan ujung pakaiannya.” Namun hadits ini menurut Imam Tirmidzi derajatnya dhaif atau lemah.
2. Persentuhan antara istri dan suami setelah wudhu apakah membatalkan wudhu atau tidak merupakan permasalahan khilafiyah. Para ulama berbeda pandangan dalam menyikapinya. Hal ini disebabkan perbedaan dalam menafsirkan QS Al Maidah: 6, ”Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan (lamastumun nisa’), lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih).”
Dalam mengartikan lamastumun nisa’ sebagian ulama mengartikannya sebagai menyentuh secara fisik dan sebagian lagi mengartikannya sebagai bersetubuh. Masing-masing pandangan memiliki argumentasi, ringkasnya:
a. Mazhab Syafi’i berpandangan, wudhu seorang suami dianggap batal bila menyentuh istrinya tanpa alas (bersentuhan langsung). Menyentuh dalam pandangan mazhab ini adalah bersentuhan badan.
b. Mazhab Maliki berpandangan bahwa sentuhan membatalkan wudhu dengan syarat orang yang menyentuh telah baligh atau sentuhan disertai syahwat.
c. Mazhab Hanbali berpandangan, menyentuh istri dengan syahwat dapat membatalkan wudhu.
d. Mazhab Hanafi berpandangan, sentuhan seorang suami terhadap istrinya dengan syahwat atau tidak dengan syahwat tidaklah membatalkan wudhu.
Pandangan mayoritas yang dapat diambil dalam hal apakah batal wudhu ketika terjadi persentuhan antara suami atau istri adalah pandangan yang menyatakan bahwa sentuhan tidak dapat membatalkan wudhu selama tidak disertai syahwat. Dari Aisyah ra, bahwa Nabi saw pernah menciumnya, kemudian beliau saw keluar untuk melakukan shalat dan tidak berwudhu lagi (HR Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah). Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Aisyah ra, “Saya pernah tidur di depan Rasulullah saw. Kedua kaki saya berada di kiblatnya. Jika bersujud maka beliau menyentuh saya, kemudian saya menarik kedua kaki saya dan apabila beliau berdiri maka saya julurkan lagi kedua kaki saya.” (*/sumber: tarbiyah.net)