Harimau Sumatera, Diburu Atau Membunuh ?

AsSajidin.com Palembang — Alquran sebagai kita umat Islam telah menjelaskan berbagai ayat tentang pentingnya pelestarian satwa (hewan) dan menjaga keseimbangan ekosistem di muka bumi ini. Ayat-ayat yang memuat firman Allah SWT tersebut menegaskan peran penting manusia sebagai khalifah di bumi, untuk turut serta menyelamatkan dan melestarikannya. Lalu apa yang terjadi dengan konflik harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae] dan manusia seperti yang terjadi di Kota Pagaralam dan Lahat Sumatera Selatan [Sumsel] hingga memakan jatuhnya korban. Siapa yang salah, Harimau kah atau justru manusia ?
Allah SWT berfirman dalam QS: Ar-Rum (30:41) yang berrbunyi : Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allâh merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Sesungguhnya dalam ayat yang mulia ini, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bahwa penyebab utama semua kerusakan yang terjadi di muka bumi dengan berbagai bentuknya adalah perbuatan buruk dan maksiat yang dilakukan manusia.
“ Ini menunjukkan bahwa perbuatan maksiat adalah inti kerusakan yang sebenarnya dan merupakan sumber utama kerusakan-kerusakan yang tampak di muka bumi,” kata Ustadz Abdul Somad dalam satu tausiyahnya menjelaskan tentang kerusakan hutan lindung bagi satwa liar oleh manusia. Sebenarnya, mereka itu telah tercabut rahmat kasih sayang dalam hatinya. Itulah mengapa mereka kehilangan rasa iba dan kemanusiaanya, “ ujarnya menjelaskan.
Sementara itu Imam Abul ‘Aliyah ar-Riyâhi ketika menafsirkan ayat diatas mengatakan, “Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allâh di muka bumi berarti dia telah berbuat kerusakan di muka bumi, karena bumi dan langit itu baik dengan sebab ketaatannya kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala -. Oleh sebab itu maka, janganlah kamu menjadi orang yang merasa benar padahal kamu membuat kerusakan di muka bumi.
Allah SWT berfirman Qs Al-Baqarah/2:11-12 yang berbunyi : Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi !” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar
Melansir mongabay.co.id .- Dr. Husni Tamrin, budayawan Palembang menegaskan jika dirinya sangat tidak setuju jika harimau dipindahkan dari habitanya. Sebab, dampaknya bukan hanya terkait lingkungan [hutan], juga hilangnya satu budaya di masyarakat melayu di Sumatera.
Sebenarnya, kata Husni, ada tradisi yang hidup selama ratusan tahun dan menjelaskan hubungan harmonis manusia dengan harimau pada sebuah komunitas masyarakat di Sumatera. Falsafah atau sikap manusia terhadap harimau dan satwa lain itulah yang tergambar dalam Prasasti Talang Tuwo. “Raja Kedatuan Sriwijaya “ .
“Konflik yang terjadi ini, sebenarnya karena mereka [harimau] diganggu, baik karena diburu maupun habitatnya dirusak. Jika mereka akhirnya dipindahkan atau diamankan di suatu tempat, seperti kebun binatang, artinya konflik ini memang sengaja di adakan agar ada alasan untuk dipindahkan,” paparnya Senin [16/12/2019].
Bicara soal kerugian yang terjadi jika kawanan harimau dari habitatnya hilang, maka Conie Sema pemerhati budaya di Palembang berpendapat bahwa hutan rimba kian terbuka untuk diakses dalam berbagai kegiatan ekonomi manusia.
“Jika hutan rimba habis, bencana ekologi pasti akan datang. Mari kita belajar dari Jawa dan Bali yang hutannya habis karena harimaunya punah. Sebenarnya konflik manusia dengan harimau yang terjadi ini, karena manusia tidak lagi menjunjung nilai-nilai budaya bangsa. Misalnya falsafah “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Bagi masyarakat pendatang, yang ingin bertani dan berkebun, sebaiknya memahami budaya setempat ketika ingin mengelola lahan atau membuka hutan. Ini juga harus dipahami para pelaksana pemerintahan yang mengeluarkan izin bagi perusahaan. “Setidaknya, paham atau tahu tentang habitat harimau [hutan rimba] yang tidak boleh diganggu,” tegasnya.
Editor : Jemmy Saputera