Transaksi Gadai Barang Menurut Pandangan Islam

ASSAJIDIN.COM — Masalah keuangan bisa dihadapi siapapun dalam kehidupan ini. Tapi insyaallah ada saja jalan dapat dilakukan untuk mengatasinya. Bisa dengan meminjam uang, atau menggadaikan barang.
Omong omong soal menggadaikan barang bukan barang sembarang barang, tapi barang berharga bernilai. Tapi sistem menggadaikan yang mana yang sesuai dengan islam?
Sebagai muslim yang baik, segala transaksi keuangan harus dipertimbangkan dalam sudut pandang Islam. Sebab Islam sangat mengatur transaksi keuangan umatnya agar tidak menyimpang dari syari’at Islam. Seperti, riba yang diharamkan dalam Islam.
Berikut ini akan diulas mengenai hukum pegadaian dalam fiqih Islam.
Pengertian Gadai
Dalam Islam, Gadai dikenal dengan istilah ar rahn yang berarti tetap dan langgeng. Sedangkan menurut istilah syar’i, ar rahn ialah harta yang diserahkan sebagai jaminan atas hutang yang besarnya sesuai dengan barang yang dijaminkan.
Islam memperbolehkan transaksi gadai, yang sesuai dengan dalil di bawah ini.
Firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آَثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian” (QS. Al Baqarah: 283).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِىٍّ إِلَى أَجَلٍ ، وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi secara tidak tunai (utang), lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan gadaian berupa baju besi” (HR. Bukhari no. 2068 dan Muslim no. 1603).
Berdasarkan hadits lainnya, gadai ini hanya diperbolehkan ketika seseorang bermukim. Jadi, bila ia sedang dalam keadaan bersafar, maka tidak diperbolehkan baginya untuk melakukan gadai.
تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَدِرْعُهُ مَرْهُونَةٌ عِنْدَ يَهُودِىٍّ بِثَلاَثِينَ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, baju besi beliau tergadaikan pada orang Yahudi sebagai jaminan untuk 30 sho’ gandum (yang beliau beli secara tidak tunai)” (HR. Bukhari no. 2916).
Namun, seseorang harus teliti saat melakukan transaksi keuangan atau jual beli menurut Islam. Karena meskipun ar rahn atau gadai ini diperbolehkan, namun ada syarat dan ketentuannya. Tidak sembarang barang atau harta benda bisa digadaikan.
Menurut para ulama berepakat tentang kebolehan gadai dan tidak ada yang berbeda pendapat diantara mereka karena banyak kemaslahatan yang terkandung di dalamnya dalam rangka hubungan antar manusia.
Para ulama fikih sepakat bahwa gadai boleh dilakukan kapan saja dalam keadaan hadir ditempat asal barang jaminan itu atau tidak bisa langsung dikuasai atau di pegang ( Al-qabdh ) secara hak oleh yang memberi utang yang selanjutnya disebut preditur karena tidak semua barang jaminan dapat dikuasai oleh kreditur sacara langsung maka paling tidak ada sejenis pegangan yang dapat menjamin bahwa barang gadai dapay dijadikan sebagai jaminan utang. Misalmya jaiminan itu berbentuk sebidang tanah dan mereka yang kuasai adalah surat tanah itu.( Sayyid sabiq, fiqh sunna, juz3, 132 )
Menurut Ahmad Azhar Basyir,rukrun dalam perjanjian gadai adalah :
Orang yang menyerahkan barang gadai (rahin)
Orang yang menerima barang gadai (murtahin)
Barang yang di gadaikan (marhun)
Shighat akad
(Ahamad Azhar Basyir ,hukum islam tetang riba, utang – piutang dan gadai, ( Bandung : PT Al-Ma’arif, 1983 : 50)
Menurut al-jaziri,rukun gadai ada macam 3 yaitu
Aqid (orang yang melakukan akad ) yang terdiri dari rahin (orang yang berutang dan menggadaikan barang) dan murtahin (pihak yang piutang yang menerima barang gadai sebagai jaminan uang yang dipinjamkan)
Ma’qud alaiha (yang diakadkan) yang terdiri dari marhun (barang yang digadaikan) dan Marhun bih (utang yang karenanya diadakan gadai)
Shighat (akad gadai)
”abd Al-rahman Al-jaziri, kitab Al-fiqh ‘Ala madzahib Al-arba’ah, (birut : dar Al-qutub Al-ilmiyah, 2008 : 165 )
Barang yang hendak digadaikan haruslah yang bernilai ekonomis, kepemilikan pribadi dan bukan barang yang diharamkan dalam Islam. Barang yang boleh digadaikan bisa berupa sertifikat tanah, emas perhiasan, kendaraan bermotor, rumah dan lain sebagainya.
Sementara yang haram digadaikan ialah seperti yang tertuang dalam dalil berikut ini.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِىِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, penghasilan pelacur dan upah perdukunan” (HR. Bukhari no. 2237 dan Muslim no. 1567).
Seperti yang kita ketahui bahwa anjing, perzinaan, perdukunan dan sebagainya merupakan hal yang terlarang dan diharamkan oleh syari’at Islam. (*/sumber: dalam islam/kompasiana)