Apa itu Mahar Menurut Alquran, Bolehkah yang Unik-unik?

ASSAJIDIN.COM — Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut mahar atau maskawin sebagai pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.
Dalam kajian fiqih, penyerahan mahar atau maskawin dapat ditunda, diangsur, atau diutangkan. Persoalan muncul, ketika seorang laki-laki berniat memberi mahar berupa hal yang bukan lazimnya seperti emas atau uang. Anak muda zaman sekarang memilih mahar yang unik-unik.
Mahar unik ini diukur dari kandungan nilai nominalnya yang begitu mahal, yaitu kendaraan mewah maupun dari kandungan nominalnya yang begitu terjangkaunya, yaitu tiga butir telur ayam. Bagaimana menurut islam?
Dasar kewajiban mahar atau maskawin adalah Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 4:
Artinya, “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.”
Ulama berbeda pendapat. Abu Tsaur menentukan seberat 500 dirham untuk mahar. Sementara Imam Abu Hanifah menetapkan 10 dirham untuk mahar. Sedangkan Mazhab Syafi‘i tidak memberikan batasan terkait jumlah dan bentuk mahar.
Sebagaimana dimaklum, satu dirham merupakan mata uang seberat 2,975 gram dengan bahan dasar perak. Jumlah 2,975 gram perak ini dapat dikonversi ke dalam rupiah sesuai dengan harga perak yang sedang berlaku.
Artinya, “(Tidak ada batas minimal dan batas maksimal mahar. Seseorang boleh mengawini seorang perempuan dengan mahar berupa jasa bermanfaat tertentu). Tidak ada batas minimal dan maksimal mahar. Semua yang mungkin mengandung nilai baik berupa barang maupun jasa, boleh dijadikan mahar,” (Lihat Taqiyydin Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Surabaya, Nur Amaliyah: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 64).
Meski tidak menetapkan batasan minimal dan maksimal, Mazhab Syafi‘i menganjurkan mempelai pria memberikan mahar tidak kurang dari 10 dirham. Hal ini dimaksudkan untuk keluar dari perbedaan pendapat dengan Imam Abu Hanifah.
Artinya, “Tetapi besaran mahar dianjurkan tidak kurang dari 10 dirham untuk keluar dari khilaf Imam Abu Hanifah, dan tidak lebih dari mahar istri Rasulullah, yaitu sebesar 500 dirham,” (Lihat Taqiyydin Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Surabaya, Nur Amaliyah: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 64).
Selain soal jumlah, Mazhab Syafi‘i juga tidak menentukan bentuk mahar. Mempelai pria dapat menyediakan jasanya yang mengandung manfaat dan maslahat sebagai bentuk maskawinnya. Jasa itu dapat berbentuk pengajaran Al-Quran, jasa konveksi, jasa penyalinan buku, atau penulisan syair, dan bentuk jasa lainnya.
Artinya, “(Seseorang boleh mengawini seorang perempuan dengan mahar berupa jasa bermanfaat tertentu) seperti jasa mengajarkan Al-Qur’an, seperti juga menjahitkan pakaian, menuliskan misalnya kitab Dala’ilul Khairat. Seperti Al-Quran, jasa pengajaran fiqih, hadits, syair yang boleh, dan selain itu yang tidak diharamkan. Tidak ada perbedaan apakah pengajaran Al-Qur’an 30 juz sebagaimana zahirnya, atau surat tertentu semisal Al-Fatihah dan surat lainnya, atau kadar tertentu dari surat tertentu, Surat Yasin misalnya jika ia mengetahuinya,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatul Baijuri, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 126-127).
Lalu bagaimana dengan mahar unik yang menarik perhatian masyarakat belakangan ini? Pada prinsipnya, agama Islam tidak memberatkan kedua calon mempelai terkait mahar terkait nilai maupun bentuknya. Mempelai pria umumnya memberikan perhiasan atau seperangkat alat shalat.
Hanya saja kami menyarankan masyarakat terutama pihak mempelai laki-laki dan mempelai perempuan beserta keluarganya untuk “menentukan” mahar sesuai dengan “standar” umumnya di masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar mempelai pria, mempelai wanita, atau keluarganya mengada-adakan dengan cara memaksakan diri di luar kemampuan.
Namun, tidak ada halangan bila mempelai pria ingin memberikan mahar unik yang mewahnya fantastis karena memang kemampuannya demikian. Tetapi kita juga tidak perlu mengecilkan terlebih lagi mencemooh mahar unik seseorang karena keterbatasan kemampuan mempelai pria. Yang jelas, mahar baik berupa barang atau jasa harus mengandung nilai manfaat.
Yang perlu kita lakukan adalah menyatakan kebahagiaan atas kebahagiaan mereka dengan berkirim hadiah atau capan selamat, dan mendoakan mereka agar dapat menjalankan rumah tangga dengan penuh keberkahan.
Demikian jawaban kami, semoga dipahami dengan baik. Demikian jawaban singkat ini. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.(*/sumber: fiqhislam.com