PR Besar Komisi Penyiaran Indonesia dalam Pilpres dan Pileg

Oleh: Hasandri Agustiawan
PALEMBANG, AsSAJIDIN.COM — Sebagian masyarakat hingga kini belum merasakan manfaat yang sesungguhnya dari Komisi Penyiaran Indonesia. Meskipun sesuai dengan amanat Undang – undang KPI adalah polisi yang harus mengawasi berbagai produk dari lembaga penyiaran itu sendiri.
Hingga kini penyiaran lebih didominasi oleh kepentingan politik dan golongan. Hal itu tampak jelas ketika berlangsung pemilihan umum kepala daerah maupun legislatif, KPI tak kuasa berbuat apa pun terhadap pelanggaran – pelanggaran yang dilakukan oleh dunia penyiaran Indonesia. Sejumlah sanksi yang diberikan KPI seperti tidak bergigi.
Wajar jika hingga kini masyarakat masih merasa belum puas dengan keberadaan KPI. Masyarakat selalu berharap banyak terhadap KPI, mengingat tidak hanya di daerah yang sudah melangsungkan Pilkada Serentak pada 2018 ini. Bahkan PR yang paling besar di tahun 2019, akan berlangsung pemilihan presiden dan anggota legislatif secara serentak. Jika anggota KPI tak bisa bertindak independen, sangat mungkin kepercayaan masyarakat akan semakin memudar.
Berdasarkan catatan, mengapa kinerja KPI terus menjadi sorotan. Awal Juni 2016, KPI menuai kritik karena melakukan pertemuan tertutup dengan 10 stasiun televisi. Sebelumnya, Koalisi Nasional untuk Reformasi Penyiaran meminta agar pertemuan lanjutan evaluasi dengar pendapat antara KPI dan 10 stasiun televisi digelar terbuka.
Pertemuan itu diadakan untuk membahas perpanjangan izin 10 stasiun televisi swasta, yang baru pertama kali dalam sejarah pertelevisian Indonesia. Namun, dalam pertemuan itu, KPI tidak bisa menyajikan daftar sanksi yang telah diberikan kepada 10 televisi swasta tersebut.
Padahal, KPI pernah berjanji bahwa rapor stasiun televisi akan menjadi rujukan pemberian perpanjangan izin siaran bagi setiap stasiun. Kecurigaan adanya main mata bertambah besar ketika KPI melakukan pertemuan tertutup dengan 10 stasiun televisi tersebut.
Persoalan lainnya, frekuensi yang digunakan untuk siaran televisi itu adalah milik publik, tetapi selama ini seolah-olah dikavling hanya milik segelintir orang.
Kini, siaran televisi sudah masuk ke ruang-ruang privat. Karena itu, jika siarannya tidak mencerahkan, bukan tidak mungkin akan memunculkan masalah baru. Sudah banyak riset dan studi tentang pengaruh siaran televisi terhadap pemirsanya, tetapi hasil penelitian itu seperti hilang diterpa angin. Menjadi tugas KPI untuk memikirkan bagaimana siaran yang mencerahkan dan mencerdaskan bisa menjadi tontonan sehari-hari masyarakat dan bangsa Indonesia. Tugas ini tentu saja tidak ringan.
Di Sumatera Selatan, kinerja KPI juga masih belum maksimal. Tidak pernah ada dan terekpos ke permukaan berbagai persoalan yang terjadi di dunia penyiaran di Sumsel. Peraturan yang mengharuskan televisi nasional harus membagi porsi siaran dengan konten lokal, hanya sekedar aturan dan harapan. Tidak ada televisi nasional yang secara serius mematuhi hal tersebut. Yang jadi persoalan adalah ketika hingga kini peranan KPI tidak mampu membatasi kelahiran bisnis media yang berkembang tanpa kendali membuat ranah penyiaran kehilangan asas keadilan, pemerataan, etika, sekaligus keberagaman. Dalam hal kepemilikan lembaga penyiaran oleh swasta, telah terjadi pelanggaran terang-terangan terhadap peraturan yang berlaku.
Secara nasional sejumlah korporasi lembaga penyiaran swasta bisa menguasai dua atau tiga stasiun penyiaran (televisi juga radio), dalam satu badan usaha, di satu wilayah siaran. Sebut saja korporasi MNC yang menguasai RCTI, Global TV dan MNC (dulu TPI) di wilayah Jakarta. Kemudian grup Elang Mahkota Teknologi (EMTK) memiliki SCTV dan Omni-TV (O Channel), ditambah upaya akuisisi grup EMTK terhadap Indosiar. Kemudian grup Visi Media Asia yang hendak masuk ke pasar modal dengan menguasai dua stasiun ANteve dan TVOne yang sama-sama berbasis di Jakarta.
Itu semua jelas melanggar pasal 18, pasal 20, pasal 34 ayat (4) Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran serta Peraturan Pemerintah No 50 tahun 2005 pasal 34 ayat (1) huruf (a) tentang Lembaga Penyiaran Swasta. Sementara itu UU Penyiaran juga mengatur penyertaan modal asing dalam usaha penyiaran dibatasi maksimum 20%, kendati kenyataannya sudah seringkali dilanggar.
Pasal-pasal tersebut pada intinya melarang seseorang atau badan hukum memiliki dan atau menguasai lebih dari satu lembaga penyiaran swasta di satu daerah. Selain melarang konsentrasi kepemilikan, UU Penyiaran juga melarang pemindahtanganan izin penyelenggaraan siaran –dalam arti dijual atau dialihkan kepada badan hukum lain. Sanksi terhadap pelanggaran itu ialah pidana penjara (2-5 tahun), denda 500 juta sampai 10 miliar, serta pencabutan izin penyiaran.
Ke depan diperlukan ketegasan KPI dalam mengatur regulasi ini. Dalam lingkup daerah, KPI harus benar – benar mengawasi keberadaan media – media penyiaran yang mulai bermunculan bak cawan di musim hujan. Hal ini penting agar rasa keadilan bisa terwujud. Artinya tidak hanya para pengusaha media yang kuat saja yang menguasai dunia siaran, namun tetap mengakomodir ruang dan waktu untuk pengusaha lainnya. Dari segi program siaran, KPI harus benar – benar melakukan pengawasan, sehingga amanat Undang – undang yang menghendaki dunia penyiaran dapat mendidik masyarakat dapat terwujud.
Masih sering terjadinya kongkalikong bisnis perizinan penyiaran dan penggunaan frekuensi yang membuat pelanggaran terhadap UU Penyiaran makin meluas, tanpa bisa dicegah, ini juga harus menjadi perhatian serius dari KPI. Kami berpendapat, aparatur pemerintah yang paling bertanggung jawab terhadap carut-marut kepemilikan stasiun penyiaran (TV dan radio) saat ini ialah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam).
Namun demikian Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sebagai lembaga Negara yang bersifat independen yang ada di pusat maupun daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-Undang sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran. KPI melakukan peran-perannya sebagai wujud peran serta masyarakat yang berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran. Dalam menjalankan fungsinya, KPI juga mempunyai beberapa wewenang yaitu: (1) Menetapkan standar program siaran dan Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran. (2) Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran dan Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan pemerintah, lembaga penyiaran dan masyarakat. (3) Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran. Dan KPI pun harus segera menjalankan amanah Undang- undang tersebut tanpa ragu dan kompromi demi terwujudnya dunia penyiaran yang sehat, bersih dan bermutu.