Janganlah Kita Kembali Kekufuran, Setelah Bertaubat

Oleh: H Djuliar Rasyid
AsSAJIDIN.COM — Pada masa lalu, kisah para sahabat begitu beragam banyaknya. Dan kisah-kisah itu amatlah pantas untuk diteladani.Kisah yang ada tidak hanya cerita yang menyenangkan, melainkan banyak kisah yang begitu menggetarkan hati dan menyedihkan tentunya. Kita semua barangkali sama dahulunya berada dalam kubangan dosa. Bukan saja dosa ringan yang dilakukan, bahkan perbuatan fahisyah (keji) pun pernah diterjang. Bisa jadi berulang kali dilakukan.
Mungkin pula dosa pernah lakukan. Saat ini menyesal dan ingin menjadi lebih baik. Jika ingin berubah, seorang muslim tidak boleh merasa putus asa dari rahmat Allah. Ampunan Allah begitu luas. Kita antara tanda iman adalah seseorang benci kembali pada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya darinya sebagaimana ia tidak suka jika dilempar dalam api.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 407)
Diceritakan bahwa Sahabat Rasulullah Zubair merupakan keponakan dari ibunda Khadijah , bernama Hawari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.Hawari Rasulullah ini dilahirkan 28 tahun sebelum hijrah, masuk Islam di Mekah saat berusia 15 tahun melalui perantara Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu.
Tentu saja keislamannya menimbulkan kemarahan orang-orang kafir Quraisy, terutama dari kalangan keluradhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di hari Perang Ahzab, “Siapa yang akan memerangi Bani Quraidhah?” Zubair menjawab, “Saya (ya Rasulullah)” Beliau kembali bertanya, “Siapa yang akan memerangi Bani Quraidhah?” Zubair kembali merespon, “Saya”
Lalu Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya setiap nabi memiliki hawari (teman-teman setia), dan hawariku adalah Zubair.” Dikisahkan juga, bahwa Malaikat Jibril tampil dengan fisik Zubair bin Awwam di Perang Badar. Dari Aurah bin Zubair, “Zubair mengenakan mantel kuning (di hari itu), lalu Jibril turun dengan menyerupai Zubair. Di Perang Badar, Rasulullah menempatkan Zubair di sayap kanan pasukan, lalu ada sosok Zubair dekat dengan Rasulullah, beliau berkata kepadanya, “Perangilah mereka wahai Zubair!” Lalu orang itu menjawab, “Aku bukan Zubair.”
Akhirnya Rasulullah mengetahui bahwa itu adalah malaikat yang Allah turunkan dengan sosok Zubair, untuk membantu kaum muslimin di Perang Badar. Apabila seseorang tidak memohon ampunan, hukumnya sama dengan orang yang tidak bertobat. Ramadhan sebentar lagi berlalu. Pada masa sepuluh hari terakhir ini, kaum Muslimin dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dan mela kukan iktikaf. Waktu yang begitu istimewa ini ratusan ribu malaikat turun dari langit.
Mereka ikut mendoakan orang-orang yang sedang bertobat. Orang yang bertobat dari dosa boleh jadi lebih utama ketimbang mereka yang tidak pernah terjerumus pada dosa, tetapi tak mau bertobat. Padahal, manusia seyogianya diperintahkan memohon ampunan bahkan saat meraih kemenangan. “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha penerima tobat.” (QS an-Nashr: 1-3).
Taubat dengan Sesungguhnya
Sungguh berat dosa itu mengganjal. Terkadang, bebannya menghalangi kita untuk mendekat dan memohon ampunan. Rasa putus asa menggelayut, padahal Allah memiliki sifat Maha Pengampun dan Maha Penyayang. “Katakanlah, Wahai hambahamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah meng ampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang. Dan, kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada- Nya.” (QS az-Zumar: 53-54).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, ayat 53 surah az-Zumar itu dimaksudkan sebagai bentuk larangan berputus asa dari rahmat Allah SWT meski seseorang telah melakukan banyak dosa. Dia pun tak diperkenankan untuk membuat orang lain berputus asa dari rahmat-Nya. Tidak heran, sebagain ulama Salaf berkata, “Orang yang memiliki pemahaman yang benar adalah yang tidak membuat putus asa orang lain dari rahmat Allah dan ti dak menyuruh mereka bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Putus asa pada QS az-Zumar ayat 53 itu disebut dengan istilah al-Qunuth.
Maknanya adalah berkeyakinan bahwa Allah tidak akan mengampuninya jika ia bertobat atau dengan mengatakan dia tidak kuasa untuk bertobat. Setan telah menguasainya. Dengan demikian, ia berputus asa dan tidak mau bertobat meski ia tahu bahwa jika dia bertobat Allah pasti mengampuninya. Lantas, apakah meninggalkan perintah Allah tidak akan dipertanggungjawabkan tanpa siksaan? Siksaan itu ada dua macam. Pertama, dengan rasa sakit. Ini bisa gugur lantaran banyaknya kebaikan. Kedua, dengan berkurangnya derajat dan tidak diberikan haknya. Ini dapat terjadi jika yang pertama tidak terjadi. Allah menggugurkan kejelekan-kejelekan orang yang berbuat jahat.
Para ulama mengungkapkan, jika istighfar (memohon ampun kepada Allah) dengan tetap melakukan dosa adalah tobatnya para pendusta. Jika seseorang telah mengaku bertobat atau telah beristigfar, tapi tetap saja melakukan sesuatu yang di larang (dosa), istigfar itu tidaklah bermanfaat sama sekali. Tobat yang disertai dengan tetap melakukan dosa adalah dua hal yang saling berlawanan. Tidak berarti tobat tanpa diikuti berhenti dari berbuat dosa. Bertobat dari sebagian dosa tanpa bertobat dari sebagian lainnya sama seperti melaksanakan sebagaian kebaikan yang diperintahkan tanpa melakukan lainnya.
Sesungguhnya orang yang memiliki dosa lalu bertobat dari sebagiannya tanpa pada sebagian lainnya, maka tobatnya itu hanya dapat menghapus dosa yang ia mohonkan. Sementara itu, apa yang tidak ia mohonkan ampunannya maka hukumnya sama dengan orang yang tidak bertobat. Nabi SAW bersabda, ketika Amru bin Ash masuk Islam. Dia memohon agar diampuni dosanya yang telah lalu. Nabi SAW pun bersabda kepadanya, “Wahai Amr, tidaklah engkau ketahui bahwa Islam menghapuskan dosa sebelumnya.” Pendapat kedua, yakni tidak sertamerta keislamannya akan menghapuskan dosa nya pada saat ia kafir kecuali bertobat darinya. Jika ia masuk Islam, sedang ia tetap melakukan dosa besar selain kekafiran, dalam hal itu hukumnya sama dengan pelaku dosa besar lainnya. “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu (Abu Sufyan dan kawankawannya), “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu.” (QS al- Anfaal: 38). Ayat ini menunjukkan tentang orang yang telah berhenti dari kekafiran dan bertobat darinya akan diampunkan semua dosa yang telah dilakukannya. (Republika. co.id).
Tobat dapat menghancurkan dosa yang sebelumnya sebagaimana berhijrah dari dosa akan menghapuskan dosa-dosa sebelumnya. Dalam ashShahihain, Hakim bin Hizam berkata, “Apakah kami akan disiksa dengan apa yang kami lakukan pada masa jahiliyah?” Maka, Rasulullah SAW bersabda, “Siapa di antara kalian yang berbuat baik dalam Islam, maka dia tidak akan disiksa dengan apa yang diperbuatnya pada masa Jahiliah. Dan, barang siapa yang berbuat buruk dalam Islam, maka dia disiksa dengan yang pertama dan yang terakhir.” Hadis ini menunjukkan, siksaan hanya dapat dihilangkan bagi orang-orang yang benar-benar baik keislamannya. Ketika dia tidak memperbaiki diri setelah masuk dalam Islam, dia tetap diberi balasan (disiksa) baik sebelum masuk Islam atau sesudahnya. n (*) Janganlah Kalian Kembali Kepada Kekufuran patut meminta ampun pada-Nya atas dosa-dosa tersebut dan benci kembali pada masa lalu yang suram.
Ditengah kehidupan yang sulit dan tidak menentu misalnya, tentulah ada sikap seorang yang beragama Islam masih mudah terpengaruh. Namun, hendak pula berusaha tetap dalam iman, tidak terkecoh dan tidak mungkir dari keyakinannya. Bila kita menengok kisah, Zubair bin Awwam adalah salah seorang sahabat yang mulia, maka kita pun tersadar dari lamunan yang terlalu jauh dan tak berguna. Ia adalah salah seorang dari enam ahli syurga, yang memusyawarahkan pengganti khalifah Umar bin Khattab, ini merupakan pengakuan terhadap keilmuan dan kematangannya.
“Yusuf ‘alaihis salam memilih dipenjara daripada terjerumus dalam maksiat. Ini menunjukkan bahwa jika seseorang dihadapkan pada dua pilihan antara memilih berbuat maksiat ataukah mendapatkan siksa dunia, hendaklah ia memilih mendapatkan siksa dunia supaya ia selamat dari terjerumus dalam dosa yang akhirnya mendapatkan siksa di dunia maupun akhirat. Oleh karena itu di arganya. Pamannya menggulung badannya dengan tikar, lalu dipanaskan dengan api agar ia kembali ke agama nenek moyangnya.
Namun dengan keyakinan yang kuat ia berkata, “Aku tidak akan kembali kepada kekufuran selama-lamanya”. Di antara keistimewaan Zubair yang lainnya adalah ia turut serta dalam dua kali hijrah, hijrah ke Habasyah lalu menikah dengan putri Abu Bakar, Asma binti Abu Bakar radhiallahu ‘anha, kemudian ke Madinah dan mendapat anugerah putra pertama yang diberi nama Abdullah dan putra kedua Mush’ab radhiallahu ‘anhuma. Menghunus Pedang Orang pertama yang menghunus pedang di jalan Allah adalah Zubair.
Dari Aurah dan Ibnu al-Musayyib keduanya berkata, “Laki-laki pertama yang menghunuskan pedangnya di jalan Allah adalah Zubair.” Peristiwa tersebut terjadi saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diganggu, lalu ia menghunuskan pedangnya kepada orang-orang yang mengganggu Nabi. – Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Jabir bin Abdillah
