KAJIANKALAMSYARIAH

Berdebat, Ini Etikanya dalam Islam

Ternyata dalam Islam ada etika berdebat. Bukan asal debat, ada aturan mainnya.

Dengan memahami etika, debat yang dilakukan bukan saja lebih bermakna, tapi tidak menimbulkan amarah dan permusuhan apalagi dendam kesumat di kemudian hari.

 

ASSAJIDIN.COM — Tulisan berikut, tulisan yang dimuat NU.or.id dengan judul ‘Etika Berdebat dalam Islam.’

Ditulis Ustadz Muhammad Zainul Millah, Pengasuh Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar.

Berikut materi tulisan yang disampaikan. Semoga bermanfaat!

——

DALAM dunia politik, media sosial, hingga kehidupan sehari-hari, kita seringkali dihadapkan pada perdebatan yang sengit.

Sayangnya, banyak debat yang kehilangan esensi karena tidak menjunjung tinggi etika dalam berdebat. Bahkan, seringkali debat berujung pada perselisihan yang tidak produktif.

Etika berdebat bukan sekadar aturan main, melainkan fondasi bagi terciptanya dialog yang konstruktif.

Dengan memahami etika berdebat, kita dapat menciptakan diskusi yang sehat dan bernilai, menghargai perbedaan pendapat, menemukan titik temu, dan bersama-sama mencari solusi atas permasalahan yang ada.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), debat adalah pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing.

Adapun etika, banyak ahli ethic berpendapat bahwa etika berhubungan dengan ukuran tindakan yang baik dan yang buruk.

De Vos mendefinisikan etika sebagai ilmu pengetahuan tentang kesusilaan (moral). Mudahnya, etika berbicara tentang tindakan yang baik dan buruk, benar dan salah.

Etika melekat di dalam hati, terpancar melalui tindakan yang menjadi suatu kebiasaan tetap. (Asdar Nor, Sebuah Seni dalam Berdebat, [Sukabumi, CV Jejak: 2020], halaman 76-78).

Agar tidak berakibat permusuhan dan saling menyindir satu sama lain, Islam telah mengatur kegiatan debat dengan etika-etika yang harus ditaati dan dijalankan bersama, seperti tutur kata yang halus dan sopan, tidak asal berbicara, tenang, sabar, tidak mudah terpancing emosi dan lain sebagainya.

Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa hukum berdebat dibedakan menjadi dua sudut pandang.

Pertama, debat yang terpuji, yaitu berdebat dengan tujuan untuk mencari kebenaran.

Kedua, debat yang tercela, yaitu berdebat untuk menolak kebenaran atau berdebat tanpa didasari ilmu.

Lihat Juga :  Sholatmu Cerminan Hidupmu, Sebuah Renungan

فَإِنْ كَانَ الْجِدَالُ لِلْوُقُوْفِ عَلَى الْحَقِّ وَتَقْرِيْرِهِ كَانَ مَحْمُوْدًا وَإِنْ كَانَ فِي مُدَافَعَةِ الْحَقِّ أَوْ كَانَ جِدَالًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَذْمُوْمًا

Artinya, “Jika debat itu untuk mencari kebenaran dan menetapkannya, maka itu terpuji. Tetapi jika untuk menolak kebenaran, atau argumen tanpa dasar ilmu, maka itu tercela.” (Al-Adzkar min Kalami Sayyidil Abrar, [Makkah, Maktabah Nizar Mushthafa Al-Baz:1997], juz I, halaman 449).

Abu Sa’id Al-Khadimi juga menjelaskan bahwa berdebat dengan tujuan menjatuhkan lawan dan menunjukkan keunggulan diri, hukumnya haram.

Sedangkan jika tujuannya untuk menampakkan kebenaran maka hukumnya diperbolehkan bahkan bisa sunnah atau wajib.

Terkait etika dalam berdebat, Al-Khadimi menambahkan bahwa dalam keadaan dianjurkan berdebat, maka harus dilakukan dengan penuh sopan santun, tutur kata yang lembut, dan memahamkan.

(فَإِنْ قَصَدَ بِهِ تَخْجِيلَ الْخَصْمِ وَإِظْهَارَ فَضْلِهِ … (فَحَرَامٌ بَلْ كُفْرٌ عِنْدَ الْبَعْضِ)… (وَإِنْ قَصَدَ إظْهَارَ الْحَقِّ وَهُوَ نَادِرٌ) … (فَجَائِزٌ بَلْ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ) فَالتَّفَاوُتُ عَلَى تَفَاوُتِ الْأَغْرَاضِ وَالْوَقَائِعِ لَعَلَّ الْأَوْلَى فَمَنْدُوبٌ بَلْ وَاجِبٌ … ثُمَّ الشَّرْطُ حِينَ النَّدْبِ أَنْ يَكُونَ بِالرِّفْقِ وَاللِّيْنِ وَعُذُوبَةِ اللِّسَانِ وَطَلَاقَةِ الْوَجْهِ وَاسْتِعْمَالِ الْقَرِينَةِ إلَى التَّفْهِيمِ كَمَا يُفِيدُهُ التَّقْيِيدُ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

Artinya, “(Jika dia bermaksud dengan berdebat untuk mempermalukan lawannya dan menunjukkan keutamaannya)…(maka haram dan bahkan kufur menurut sebagian orang…(Jika dia bermaksud mengungkapkan kebenaran, yang itu jarang terjadi)…(maka diperbolehkan, bahkan dianjurkan). Perbedaannya ada pada perbedaan tujuan dan kejadian. Mungkin bahasa yang lebih tepat adalah maka dianjurkan, bahkan wajib.”

“Kemudian syarat ketika debat dianjurkan adalah harus dengan lemah lembut, manis di lidah, ceria di muka, dan menggunakan konteks untuk memahamkan, sebagaimana ditunjukkan dengan batasan ‘Allati hiya ahsan’, yaitu dengan cara terbaik.” (Buraiqah Mahmudiyah, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2011], juz IV, halaman 121).

 

Menjaga Lisan

Al-Ghazali menyampaikan, saat berdebat besar potensi terjadi hal-hal yang tercela. Karena itu, dalam keadaan terpaksa untuk melakukan debat, perlu benar-benar menjaga lisan dari ucapan yang tercela, dan menjaga hati dari emosi dan keinginan untuk menjatuhkan lawan.

Lihat Juga :  SYUKUR DAN SABAR DALAM KEADAAN APAPUN

فَالْخُصُوْمَةُ مَبْدَأُ كُلِّ شَرٍّ وَكَذَا الْمِرَاءُ وَالْجِدَالُ فَيَنْبَغِي أَنْ لَا يَفْتَحَ بَابَهُ إِلَّا لِضَرُوْرَةٍ وَعِنْدَ الضَّرُوْرَةِ يَنْبَغِي أَنْ يَحْفَظَ اللِّسَانَ وَالْقَلْبَ عَنْ تَبِعَاتِ الْخُصُوْمَةِ وَذَلِكَ مُتَعَذِّرٌ جِدًّا فَمَنِ اقْتَصَرَ عَلَى الْوَاجِبِ فِي خُصُوْمَتِهِ سَلِمَ مِنَ الْإِثْمِ

Artinya, “Permusuhan adalah asal muasal segala keburukan, demikian pula perselisihan dan perdebatan, maka tidak boleh dibuka kecuali karena terpaksa. Saat keadaan memaksa berdebat, hendaknya lisan dan hati dijaga dari akibat perselisihan, dan hal itu sangat sulit dilakukan. Barang siapa membatasi dirinya pada apa yang diperlukan saja dalam perselisihannya, ia selamat dari dosa.” (Ihya’ Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018], juz III, halaman 125).

Secara panjang lebar, Az-Zarnuji menjelaskan bahwa dalam mencari ilmu, seorang murid tidak akan terlepas dari berdebat dan adu argumen, hendaknya hal itu dilakukan secara adil, hati-hati, dan penuh renungan, karena kebalikan dari hal-hal tersebut merupakan tindakan yang tercela dan hina dan hendaknya dihindarkan dari marah.

Perdebatan adalah musyawarah, dan musyawarah dilakukan untuk menggali kebenaran. Menggali kebenaran hanya dapat dicapai dengan perenungan dan keadilan dan tidak terjadi melalui kemarahan dan rasa ingin menang.

Jika niatnya dalam musyawarah adalah untuk menjatuhkan dan memaksa pihak lawan, maka hal itu tidak boleh. Sebaliknya, berdebat itu boleh dilakukan untuk menunjukkan kebenaran.

Dalam berdebat, melakukan tipu muslihat itu tidak diperbolehkan, kecuali jika lawannya keras kepala mencari-cari kesalahan temannya dan tidak mencari kebenaran, maka melakukan tipu muslihat menjadi boleh. (Ta’limul Muta’allim, [Kairo, Mushtafa Halabi: 1864], halaman 22).

Beberapa penjelasan di atas menegaskan, ada etika yang harus diterapkan saat berdebat. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan debat tidak menjadi ajang untuk saling menjatuhkan dan merendahkan yang diharamkan dalam agama.

Di antara etika yang harus diterapkan adalah: bertujuan mencari kebenaran; tidak menjatuhkan dan merendahkan lawan; menggunakan bahasa yang memahamkan; gunakan tutur kata yang sopan; wajah yang ramah; tidak melakukan tipu daya untuk menjatuhkan; tenang dan tidak terpancing emosi; dan tidak asal bicara tanpa ilmu;

Wallahu a’lam.   

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button