TAFSIR & HADIST

Rahasia Penciptaan Manusia 

الَّذِيْٓ اَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهٗ وَبَدَاَ خَلْقَ الْاِنْسَانِ مِنْ طِيْنٍ ۝٧

alladzî aḫsana kulla syai’in khalaqahû wa

bada’a khalqal-insâni min thîn

 “(Dia juga) yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan memulai penciptaan manusia dari tanah.” (QS A-Sajadah [32]: 7).

 

 

ASSAJIDIN.COM — Prof. Dr Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, jilid XI, halaman 183, mengajak kita merenung lebih dalam makna Surat as-Sajadah ayat 7.

Menurut beliau, Allah SWT sebagai Maha Pengatur segala urusan, Sang Pencipta Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, telah menciptakan segala sesuatu dengan kesempurnaan.

Setiap ciptaan, termasuk manusia yang pertama kali diciptakan dari tanah, telah dirancang sedemikian rupa untuk berfungsi optimal sesuai tujuan penciptaannya.

Dengan kata lain, Allah SWT telah meletakkan potensi terbaik dalam setiap makhluk-Nya, agar mereka dapat menjalankan perannya dalam tatanan alam semesta. (Tafsir Al-Misbah, [Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2002, jilid XI, halaman 183).

Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata ( اَحْسَنَ )

“ahsana” dalam Surat As-Sajdah ayat 7 berarti menciptakan sesuatu dalam keadaan baik dan sempurna.

Allah SWT menciptakan segala sesuatu, termasuk manusia, dengan kesempurnaan yang sesuai dengan fungsi masing-masing.

Malaikat diciptakan sempurna untuk tugas-tugas tertentu, begitu pula binatang dengan segala jenis dan sifatnya.

Manusia dan jin juga diciptakan sempurna, namun dengan tambahan ujian dan pilihan. Manusia dan jin memiliki potensi untuk menjadi baik atau buruk.

Mereka diberi kebebasan untuk memilih, namun juga diuji. Mereka yang memilih jalan kebaikan akan berhasil dalam ujian, sedangkan yang memilih keburukan akan gagal dan menjadi seperti setan.

Meskipun demikian, penting untuk memahami bahwa kesempurnaan setiap makhluk adalah relatif terhadap fungsi dan tujuan penciptaannya.

Tidak ada makhluk yang paling sempurna secara mutlak. Allah SWT telah memuliakan manusia dan memberikan berbagai nikmat. Namun, kemuliaan ini tidak berarti manusia adalah makhluk yang paling utama. Manusia hanya memiliki peran khusus sebagai khalifah di bumi.

Ayat dalam Al-Quran menegaskan bahwa Allah SWT telah memuliakan manusia dan memberikan kelebihan dibandingkan makhluk lainnya, namun bukan berarti manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Semua makhluk ciptaan Allah memiliki kesempurnaan masing-masing.

Dalam konteks ini Allah berfirman:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًاࣖ ۝٧٠

wa laqad karramnâ banî âdama wa ḫamalnâhum fil-barri wal-baḫri wa razaqnâhum minath-thayyibâti wa fadldlalnâhum ‘alâ katsîrim mim man khalaqnâ tafdlîlâ

Artinya, “Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” (QS Al-Isra’ [17]: 70).

– Tafsir Al-Munir

Sementara itu, dalam Tafsir Al-Munir, Syekh Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa setelah Allah SWT menunjukkan bukti kekuasaan-Nya melalui penciptaan langit dan bumi, Allah SWT kemudian mengarahkan perhatian kita pada diri manusia sebagai bukti lain akan keesaan-Nya.

Allah SWT dengan sangat sempurna menciptakan segala sesuatu, termasuk manusia. Penciptaan manusia diawali dari tanah liat, sebuah fakta yang menunjukkan ketergantungan kita pada alam semesta.

Ayat ini menegaskan bahwa Allah SWT adalah Sang Pencipta yang Maha Sempurna. Setiap ciptaan-Nya, termasuk manusia, diciptakan dengan ketelitian dan kesempurnaan yang luar biasa.

Manusia, sebagai makhluk yang paling sempurna ciptaan-Nya, juga memiliki asal-usul yang sama dengan makhluk lainnya, yaitu berasal dari tanah.

Keterkaitan manusia dengan tanah tidak hanya pada awal penciptaannya. Bahkan hingga saat ini, kehidupan manusia tetap tidak lepas dari tanah. Makanan yang kita konsumsi, baik berasal dari hewan maupun tumbuhan, pada akhirnya bersumber dari tanah.

Hal ini menunjukkan betapa pentingnya tanah bagi kelangsungan hidup manusia dan seisi alam semesta.

Syekh Wahbah Zuhaili berkata:

أي إن ذلك المدبر للأمور العليم الخبير القوي الرحيم هو الذي أحسن خلق الأشياء وأتقنها وأحكمها، وبدأ خلق أبي البشر آدم من طين، والطين مكوّن من ماء وتراب. وكذلك يعتمد الإنسان في تكوينه وبقاء حياته على الطين؛ لأن المني ناشئ من الغذاء، والغذاء إما من الحيوان وإما من النبات، وكلاهما يعتمد على ما تخرجه الأرض الترابية.

Lihat Juga :  Manfaat Madu dan Lebah 

Artinya, “Sesungguhnya Tuhan yang mengatur segala urusan, yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, yang Maha Kuat dan Maha Penyayang, Dialah yang menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, memperhalus dan menyempurnakannya, serta memulai penciptaan nenek moyang manusia, Adam, dari tanah liat, yang terdiri dari air dan tanah. Demikian pula, manusia dalam pembentukannya dan kelangsungan hidupnya bergantung pada tanah liat; karena air mani berasal dari makanan, dan makanan tersebut berasal dari hewan atau tumbuhan, yang keduanya bergantung pada apa yang dihasilkan oleh tanah.” (Tafsir Al-Munir, [Beirut: Darul Kutub Mua’shirah, 1991], jilid XXI, halaman 191).

Berfaedah

Jika diseksamai, melansir Kalam.sundonews.com, seluruh makhluk yang ada di alam ini sejak dari yang besar sampai kepada yang sekecil-kecilnya akan timbul dugaan ada yang besar faedahnya dan ada pula yang tidak berfaedah atau tidak berguna sama sekali.

Bahkan dapat menimbulkan bahaya bagi manusia, seperti ular berbisa, hama-hama penyakit menular, tanaman yang mengandung racun, dan sebagainya. Dugaan ini akan timbul jika masing-masing makhluk itu dilihat secara terpisah, tidak dalam satu kesatuan alam semesta ini.

Jika makhluk-makhluk itu dilihat dalam satu kesatuan alam semesta, dimana antara yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan erat, akan terlihat bahwa semua makhluk itu ada faedah dan kegunaannya dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian alam ini.

Bahkan terlihat dengan nyata bahwa usaha-usaha sebagian manusia, baik secara sengaja atau tidak, merusak dan membunuh sebagian makhluk hidup, menimbulkan pencemar-an di alam ini, sehingga kelestariannya terganggu.

Salah satu contoh ialah dengan adanya obat pembasmi hama, banyak cacing dan bakteri yang musnah. Akibatnya, proses pembusukan sampah menjadi terganggu. Padahal bakteri dan cacing itu dianggap binatang yang tidak ada gunanya sama sekali.

Penebangan hutan mengakibatkan tanah menjadi gundul, sehingga banyak terjadi banjir dan tanah longsor di musim hujan, serta kekeringan pada musim kemarau.

Semua itu akibat keserakahan manusia. Hal itu bisa dikategorikan sebagai perbuatan merusak di bumi. Akibat yang ditimbulkannya bisa luas dan memberi efek domino (beruntun).

Berdasarkan paparan di atas nyatalah bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah, ada faedahnya, tetapi banyak manusia yang tidak mau memperhatikannya.

Dalam ayat 7 dinyatakan bahwa manusia diciptakan dari tanah, tetapi pada ayat ini ditegaskan bahwa hanya pada permulaannya saja manusia diciptakan dari tanah.

Dengan ayat ini dapat pula ditafsirkan bahwa ada fase lain setelah awal penciptaan sebelum ciptaan tersebut menjadi manusia. Jika hal itu memang terjadi demikian, banyak pertanyaan lain yang masih tersisa, antara lain :

(1) Apakah awal penciptaan manusia sama dan bersamaan dengan awal penciptaan makhluk hidup bumi lainnya (lihat tafsir Surah al- An’am ayat 2),

(2) Apakah fase setelah penciptaan awal tersebut manusia berkembang melalui bentuk antara seperti halnya proses evolusi makhluk hidup lainnya yang kini banyak dipercayai (lihat Surah ar-Rum/30 ayat 20)

Atau (3) manusia tercipta melalui proses khusus yang berbeda dari makhluk hidup lainnya (al-Ahzab/33 ayat 33).

Rumit dan Berlapis-lapis

Sejatinya, ayat-ayat Al-Quran yang mengisahkan tentang penciptaan manusia dari tanah sangat banyak. Allah tidak hanya menyebutkan bahwa manusia diciptakan dari satu jenis tanah saja, semisal tanah liat (shalshaal). Akan tetapi juga menyebutkan berbagai jenis tanah lainnya.

Sebagai contoh, Allah menyebutkan penciptaan manusia dari saripati tanah (sulaalatin min thin), yang menunjukkan kualitas tanah yang digunakan.

Selain itu, manusia juga dikatakan diciptakan dari tanah gembur (turob), yang menggambarkan tekstur tanah yang lembut.

Di sisi lain, Allah juga menyebutkan penciptaan manusia dari tanah tembikar (shalshaalin kalfakhar) dan tanah keras yang melapuk (thinil lazib).

Hal ini menegaskan bahwa berbagai jenis tanah digunakan dalam proses penciptaan manusia, menunjukkan keragaman dalam bahan dasar yang Allah pilih untuk menciptakan manusia.

Sebagaimana dijelaskan dalam QS As-Shaffat [37] ayat 11:

فَاسْتَفْتِهِمْ اَهُمْ اَشَدُّ خَلْقًا اَمْ مَّنْ خَلَقْنَاۗ اِنَّا خَلَقْنٰهُمْ مِّنْ طِيْنٍ لَّازِبٍ ۝١١

fastaftihim a hum asyaddu khalqan am man khalaqnâ, innâ khalaqnâhum min thînil lâzib

Artinya, “Maka, tanyakanlah kepada mereka (musyrik Makkah), “Apakah mereka (manusia) lebih sulit penciptaannya atau kah selainnya (langit, bumi, dan lainnya) yang telah Kami ciptakan?” 

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan (bapak) mereka (Adam) dari tanah liat.”

Selanjutnya, di surat Ar-rahman [55] ayat 14, Allah menjelaskan manusia diciptakan dengan tanah tembikar. Dalam ayat lain Allah juga berfirman:

Lihat Juga :  An-Nisa' Ayat 93: Ancaman Keras bagi Pelaku Pembunuhan

خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ ۝١٤ khalaqal-insâna min shalshâling kal-fakhkhâr

Artinya,“Dia telah menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar.”

Kemudian, di surat al-Mukminun [23] ayat 12, Allah juga menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari saripati tanah.

Allah berfirman :

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ سُلٰلَةٍ مِّنْ طِيْنٍۚ ۝١٢

wa laqad khalaqnal-insâna min sulâlatim min thîn

Artinya, “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari sari pati (yang berasal) dari tanah.” 

Berdasarkan penjelasan ayat-ayat di atas mengenai penciptaan manusia, menegaskan bahwa proses ini tidak berlangsung secara instan, melainkan melalui tahapan-tahapan yang panjang dan sarat makna.

Allah menggambarkan manusia sebagai makhluk yang tumbuh dari bumi, mengisyaratkan bahwa penciptaan manusia melalui proses yang rumit dan berlapis-lapis.

Pandangan ini menggambarkan perkembangan makhluk hidup di bumi melalui berbagai tahap sebelum mencapai bentuk akhir. Dalam rahim ibu, manusia mengalami pertumbuhan yang bertahap.

Proses ini dimulai dari saripati tanah yang diambil dari makanan yang dikonsumsi, kemudian diproses dalam tubuh ibu menjadi bagian dari janin.

Selama kurang lebih sembilan bulan, janin melalui berbagai fase perkembangan, dimulai dari sel tunggal, kemudian fase embrio yang menyerupai tumbuhan, hingga berkembang menjadi makhluk yang menyerupai hewan, dan akhirnya menjadi manusia yang sempurna.

Selain itu, di alam semesta yang luas, manusia juga melalui proses perkembangan yang panjang. Dari sari pati tanah, manusia pertama kali muncul [Adam] sebagai makhluk bersel tunggal, kemudian melalui tahap yang menyerupai tumbuhan, lalu fase hewan, dan akhirnya menjadi manusia seperti yang kita kenal saat ini.

Proses ini berlangsung selama miliaran tahun, mencerminkan perkembangan kehidupan di bumi yang terjadi secara bertahap dan dengan penuh kesabaran.

Oleh karena itu, penciptaan manusia bukanlah sesuatu yang terjadi seketika, melainkan melalui proses panjang yang terjadi baik di dalam rahim ibu maupun di alam semesta.

Proses ini menunjukkan betapa sempurnanya ciptaan Allah, yang menciptakan manusia dengan cara terbaik dan melalui tahapan-tahapan yang sudah ditetapkan-Nya.

– Tafsir Mafatihul Ghaib 

Dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib, Imam Fakhruddin ar-Razi menjelaskan makna dari penciptaan manusia dalam Surah As-Sajdah ayat 7, yang menyatakan bahwa Allah memulai penciptaan manusia dari tanah.

Menurut ar-Razi, yang dimaksud dalam ayat ini adalah penciptaan Nabi Adam ‘alaihis salam, yang memang secara langsung diciptakan dari tanah.

Lebih jauh lagi, ar-Razi juga menguraikan bahwa tanah ini merupakan gabungan dari air dan tanah, yang kemudian menjadi unsur dasar dalam proses penciptaan manusia secara keseluruhan.

Ar-Razi juga menjelaskan bahwa asal usul manusia adalah dari mani, yang pada hakikatnya berasal dari makanan. Makanan itu sendiri bisa berasal dari hewan atau tumbuhan.

Menariknya, makanan yang berasal dari hewan pada akhirnya juga berasal dari tumbuhan, yang keberadaannya tergantung pada air dan tanah—dua unsur utama yang membentuk tanah.

Dengan demikian, ar-Razi menyimpulkan bahwa seluruh manusia, secara tidak langsung, memiliki asal-usul yang sama dengan Nabi Adam, yaitu dari tanah, melalui proses yang lebih panjang dan kompleks.

Simak penjelasan berikut:

وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنْسانِ مِنْ طِينٍ قِيلَ الْمُرَادُ آدَمُ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَإِنَّهُ خُلِقَ مَنْ طِينٍ، وَيُمْكِنُ أَنْ يُقَالَ بِأَنَّ الطِّينَ مَاءٌ وَتُرَابٌ مُجْتَمِعَانِ وَالْآدَمِيُّ أَصْلُهُ مَنِيٌّ وَالْمَنِيُّ أَصْلُهُ غِذَاءٌ، وَالْأَغْذِيَةُ إِمَّا حَيَوَانِيَّةٌ، وَإِمَّا نَبَاتِيَّةٌ، وَالْحَيَوَانِيَّةُ بِالْآخِرَةِ تَرْجِعُ إِلَى النَّبَاتِيَّةِ وَالنَّبَاتُ وُجُودُهُ بِالْمَاءِ وَالتُّرَابِ الَّذِي هو طي

Artinya, “Dan Dia memulai penciptaan manusia dari tanah liat. Dikatakan yang dimaksud adalah Adam alaihis salam, karena sesungguhnya dia diciptakan dari tanah liat. Dan mungkin juga dikatakan bahwa tanah liat itu adalah air dan tanah yang bercampur, sedangkan asal manusia adalah mani, dan asal mani adalah makanan.

Dan makanan itu ada yang berasal dari hewan dan ada yang berasal dari tumbuhan. Dan makanan yang berasal dari hewan pada akhirnya kembali kepada tumbuhan, dan tumbuhan itu ada karena air dan tanah yang merupakan tanah liat.” (Mafatihul Ghaib, [Beirut: Dar Ihya at Turats al-Arabi, 1420 H], jilid XXV, halaman 141).

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button