One Day One Ayat : Surat Al Baqarah ayat 256, Telah Terang Kebenaran dan Kebatilan
AsSAJIDIN.COM — One day one ayat kita kali ini adalah bacaan Surat Al-Baqarah Ayat 256 selengkapnya dan artinya:
لَآ إِكْرَاهَ فِى ٱلدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشْدُ مِنَ ٱلْغَىِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسْتَمْسَكَ بِٱلْعُرْوَةِ ٱلْوُثْقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَا ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Arab-Latin:
Lā ikrāha fid-dīn, qat tabayyanar-rusydu minal-gayy, fa may yakfur biṭ-ṭāgụti wa yu`mim billāhi fa qadistamsaka bil-‘urwatil-wuṡqā lanfiṣāma lahā, wallāhu samī’un ‘alīm
Artinya:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Islam mengajarkan kepada ummatnya agar mengembalikan setiap permasalahan kepada ahlinya. Allah Ta’ala berfirman,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah kepada ahli ilmu jika engkau tidak tahu” (QS. An Nahl: 43)
Bahkan, dalam urusan duniawi, harus dikembalikan kepada orang yang ahli dalam urusan tersebut. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
أنتم أعلم بأمر دنياكم
“Engkau lebih tahu urusan dunia kalian” (HR Muslim no.2363)
Dan setiap orang berakal tentu akan menerima konsep ‘kembalikanlah setiap urusan kepada ahlinya‘. Kita tentu tidak akan menanyakan obat suatu penyakit kepada ahli matematika, melainkan kepada dokter bukan?
Oleh karena itu marilah kita bersikap bijak untuk mengembalikan urusan penafsiran Al Qur’an kepada ulama ahli tafsir, bukan opini masing-masing atau opini dari orang yang bukan ulama ahli tafsir.
Seorang imam ahli tafsir yang terkemuka, Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan:
“Para ulama berbeda pendapat tentang makna ayat ini dalam 6 pendapat:
Ada yang berpendapat bahwa ayat ini mansukh (dihapus). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memaksa orang arab untuk masuk Islam dan memerangi mereka. Beliau tidak ridha kepada mereka hingga mereka masuk Islam”. Sulaiman bin Musa berkata, ‘Ayat ini dinasakh (dihapus) oleh ayat’
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِير
“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahanam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya” (QS. At Taubah: 73).
Pendapat pertama ini diriwayatkan pula dari Ibnu Mas’ud dan dari banyak ahli tafsir.
Ayat ini tidak mansukh (tidak dihapus), namun ayat ini ditujukan bagi ahli kitab saja. Sehingga ahli kitab tidak dipaksa masuk Islam selama mereka membayar jizyah. Yang dipaksa adalah kaum kuffar penyembah berhala. Merekalah yang dimaksud oleh surat At Taubah ayat 73.
Inilah pendapat Asy Sya’bi, Qatadah dan Adh Dhahhak.
Berdasarkan yang diriwayatkan Abu Daud dari Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu, beliau berkata, “Ayat ini diturunkan kepada kaum Anshar. Ketika itu ada seorang wanita selama hidupnya tidak memiliki anak. Ia berjanji pada dirinya, jika ia memiliki anak, anak tersebut akan dijadikan beragama Yahudi. Sampai suatu ketika datanglah Bani Nadhir yang juga membawa beberapa anak dari kaum Anshar bersama mereka. Kaum Anshar berkata, “Kemudian terjadilah apa yang telah terjadi. Ketika itu kami (kaum Anshar) memandang agama yang mereka bawa (Yahudi) lebih baik. Namun ketika kami masuk Islam, kami ingin memaksa anak-anak kami”. Kemudian turunlah ayat ini. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair, Asy Sya’bi dan Mujahid.
As Sudiy berkata, “Ayat ini turun kepada seorang lelaki kaum Anshar yang bernama Abul Hushain yang memiliki dua orang anak. Ketika itu datang para pedagang dari Syam yang membawa biji-bijian. Ketika mereka hendak pergi dari Madinah, mereka mengajak dua anak Abul Hushain untuk memeluk agama Nashrani. Mereka berdua pun akhirnya menjadi Nashrani dan ikut para pedagang tersebut ke Syam. Maka Abul Hushain pun datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil menangis dan memohon kepada Rasulullah agar mengutus seseorang untuk mengambil mereka berdua. Lalu turunlah ayat ini”
Makna ayat ini: “Orang yang ber-Islam karena kalah perang tidak boleh mengatakan bahwa ia dipaksa masuk Islam”
Ayat ini turun bagi tawanan yang berasal dari golongan ahli kitab yang sudah tua. Karena tawanan yang berasal dari golongan Majusi dan penyembah berhala, semua dipaksa masuk Islam baik yang tua maupun muda. Ini pendapat Asyhab.” (Dinukil dari Tafsir Al Qurthubi secara ringkas)
Adanya perbedaan pendapat ini juga dipaparkan oleh Ath Thabari dalam Tafsir Ath Thabari, Abu Hatim dalam Tafsir Abi Hatim, Asy Syaukani dalam Fathul Qadhir, dan beberapa ulama ahli tafsir yang lain.
Namun sebagian ulama menafsirkan ayat ini secara mujmal (umum). Sebagaimana Ibnu Katsir dan Ash Shabuni. Ash Shabuni menafsirkan ayat ini, “Tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam karena telah jelas perbedaan antara kebenaran dan kebatilan dan hidayah telah terbedakan dari kesesatan” (Shafwatut Tafasir)
Pendapat yang lebih kuat, wallahu’alam, sebagaimana yang dikuatkan oleh imam ahli tafsir yang lain, Ibnu Jarir Ath Thabari, setelah memberikan sanggahan terhadap pendapat yang menyatakan ayat ini mansukh (dihapus), beliau menyimpulkan makna ayat, “Sehingga jelas bahwa makna ayat ini adalah: Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam bagi orang kafir yang dikenai jizyah dan telah membayarnya dan mereka ridha terhadap hukum Islam.” (Tafsir Ath Thabari)
Telah Jelas Kebenaran dan Kebatilan
Perbedaan di antara ahli tafsir tersebut masing-masing didasari oleh riwayat-riwayat dari para sahabat, atau dari para ulama tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sehingga setiap pendapat dapat diterima dan dapat ditoleransi. Jika demikian, andaikan seseorang mengambil pendapat ulama ahli tafsir yang menyatakan bahwa ayat ini tidak mansukh (dihapus) dan menafsirkan ayat ini secara umum, yaitu tidak ada paksaan untuk memeluk Islam bagi siapa pun, sebagaimana Ibnu Katsir dan Ash Shabuni, pendapat ini tetap tidak sejalan dengan konsep pluralisme agama. Sama sekali tidak! Karena Allah Ta’ala berfirman,
قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْد مِنْ الْغَيّ
“Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan” (QS. Al Baqarah: 256).
Jelas bahwa pendapat ini menetapkan bahwa telah jelaskan kebenaran Islam dan telah jelaslah kebatilan agama selain Islam. Sehingga orang yang berhati bersih dan memandang dengan jernih tentu akan melihat kebenaran itu dan dengan sendirinya masuk Islam tanpa perlu dipaksa. Sedangkan orang yang enggan masuk Islam seolah-olah ia buta dan tertutup hatinya sehingga tidak dapat melihat kebenaran yang begitu jelas ini.
Ibnu Katsir menyatakan, “Tidak ada yang dipaksa untuk memeluk agama Islam karena telah jelas dan tegas tanda dan bukti kebenaran Islam sehingga tidak perlu lagi memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam. Orang yang diberi hidayah oleh Allah untuk menerima Islam, lapang dadanya dan dicerahkan pandangannya sehingga ia memeluk Islam dengan alasan yang pasti. Namun orang yang hatinya dibutakan oleh Allah dan ditutup hati serta pandangannya, tidak ada manfaatnya memaksa mereka untuk masuk Islam” (Tafsir Ibnu Katsir).
Senada dengan beliau, Ibnu Jarir Ath Thabari juga berkata: “Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kebatilan. Dan telah jelas sudah sisi kebenaran bagi para pencari kebenaran. Dan kebenaran ini telah terbedakan dari kesesatan. Sehingga tidak perlu lagi memaksa para ahli kitab dan orang-orang kafir yang dikenai jizyah untuk memeluk agama Islam, agama yang benar. Dan orang-orang yang berpaling dari kebenaran ini setelah jelas baginya, biarlah Allah yang mengurusnya. Sungguh Allahlah yang akan mempersiapkan hukuman bagi mereka di akhirat kelak” (Tafsir Ath Thabari)
Maka jelaslah bahwa tidak memaksa orang kafir untuk memeluk Islam bukan berarti ridha terhadap kekafiran mereka, bukan membenarkan semua agama yang ada, dan bukan menghilangkan status ‘kafir’ dari diri mereka sebagaimana diklaim oleh para pluralis. (*/sumber: muslim.or.id)