SYARIAH

Hukum Mengadakan Walimatus Safar Haji dan Umrah

AsSAJIDIN.COM – Salah satu tradisi di kalangan umat Muslim adalah mengadakan walimatus safar haji dan umrah. Walimah berarti “pesta” dan safar artinya “perjalanan”. Jadi walimatus safar merupakan pesta yang diadakan untuk melepas calon jamaah haji dan umrah pergi ke tanah suci.

Biasanya walimatus safar ini diisi dengan pembacaan doa bersama dan ditutup dengan memberi makan tamu undangan. Pembacaan doa serta tausiyyah dari seorang kiai atau ustadz kembali digelar ketika hari “H” keberangkatan calon ibadah haji dan umrah.

Selepas pulang dari ibadah haji dan umrahpun, biasanya jamaah haji dan umrah tersebut akan melayani para tetangga, sanak famili dan teman-teman yang berdatangan untuk menyambut kedatangannya, mereka disuguhi dengan makanan, minuman serta doa.

Lalu bagaimana sebenarnya kacamata Islam memandang walimatus safar ini?
Pada dasarnya walimatus safar dengan diadakannya pesta (tasyakuran) sebelum berangkat haji dan umrah serta sekembalinya dari haji dan umrah adalah tradisi yang baik. Karena di dalamnya ada unsur silaturahim, pemberian makanan dan doa untuk saling menumbuhkan rasa cinta sesama umat Muslim.

Di dalam hadis-hadis Nabi saw. juga terdapat riwayat penyambutan para sahabat atas kedatangan orang yang baru berpergian baik dari perjalanan haji, umrah, berdagang atau lainnya.

Lihat Juga :  Makan atau Shalat, Mana yang Didahulukan

Bahkan imam Al Bukhari di dalam kitab Shahih-nya secara gamblang memberikan judul bab “Babu Istiqbalul Haji Al Qadimin was Salasah Alad Dawab” atau bab penyambutan orang haji yang baru datang dan tiga orang (diantaranya) naik kendaraan.

Di dalam bab tersebut imam Al Bukhari meriwayatkan hadis dari Ibnu Abbas yang mengatakan:

لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ اسْتَقْبَلَتْهُ أُغَيْلِمَةُ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَحَمَلَ وَاحِدًا بَيْنَ يَدَيْهِ وَآخَرَ خَلْفَهُ

“Ketika Nabi saw. tiba di Makkah, Beliau disambut oleh anak-anak kecil Suku Bani ‘Abdul Muthalib lalu Beliau menggendong salah satu dari mereka di depan dan yang lainnya dibelakang”

Selain itu, Abdullah bin Ja’far juga meriwayatkan hadis berikut:

كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ تُلُقِّىَ بِنَا – قَالَ – فَتُلُقِّىَ بِى وَبِالْحَسَنِ أَوْ بِالْحُسَيْنِ – قَالَ – فَحَمَلَ أَحَدَنَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَالآخَرَ خَلْفَهُ حَتَّى دَخَلْنَا الْمَدِينَةَ.

“Nabi saw. ketika datang dari suatu perjalanan, maka kami menemuinya, yakni saya, Hasan dan Husein menemui beliau, lalu beliau menggendong salah satu dari kami di bagian depan dan yang lainnya (digendong) di bagian belakang sampai kami masuk kota Madinah” (HR. Muslim).

Sementara terkait pemberian makanan dalam penyelenggaraan walimatus safar oleh umat Muslim yang akan berangkat haji dan umrah atau sepulangnya dari sana, maka hal ini telah dijelaskan oleh imam An Nawawi di dalam kitab Al Majmu’ Syarh Al Muhadzab. Beliau berkata:

Lihat Juga :  Astaghfirullah, Akun WA Indonesia Dicuri, Dijual Ke luar Negeri, Dipakai Untuk Judi Online

يُسْتَحَبُّ النَّقِيعَةُ وَهِيَ طَعَامٌ يُعْمَلُ لِقُدُومِ الْمُسَافِرِ وَيُطْلَقُ عَلَى مَا يَعْمَلُهُ الْمُسَافِرُ الْقَادِمُ وَعَلَى مَا يَعْمَلُهُ غَيْرُهُ لَهُ.

Annaqi’ah itu disunnahkan. Yaitu makanan yang disedekahkan karena sekembalinya dari perjalanan. Dan hal ini dimutlakkan baik bagi musafirnya (Calon Haji) atau bagi orang lain (keluarganya).

Fatwa imam Nawawi tersebut berdasarkan hadis riwayat Jabir Ra.:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ مِنْ سَفَرِهِ نَحَرَ جَزُورًا أَوْ بَقَرَةً ” رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ

“Bahwasannya Rasulullah saw. ketika sampai di Madinah dari perjalanannya, beliau menyembelih kambing atau sapi.” (HR. Al Bukhari)

Berdasarkan keterangan di atas, sebenarnya acara walimatus safar tidak hanya sekedar tradisi baik yang dilakukan oleh mayoritas kalangan umat Muslim sebelum dan sesudah berangkat haji dan umrah. Tetapi ternyata ada riwayat dan dalil yang jelas tentang kesunahannya.

Namun, hendaknya acara walimatus safar tersebut diselenggarakan sesuai koridor agama dengan tanpa adanya israf (berlebih-lebihan) dan memberatkan bagi calon jemaah haji. Wa Allahu A’lam bis Shawab. (*/sumber: bincangsyariah.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button