Ketika Kalimat Tauhid Telah Terucap…
=========
Makna Laa Ilaaha Illallaah
Kalimat ini ringkas, namun menjadi titik sengketa antara umat islam dengan kaum musyrikin. Kalimat yang menjadi pemisah antara islam dan kesyirikan. Kalimat yang hanya terdiri dari 3 huruf: alif, lam, dan ha, namun mengubah suasana dunia.
Sebelum mengkaji tinjauan makna kalimat ini, kami hendak menegaskan bahwa orang musyrikin yang menjadi musuh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam paham akan makna kalimat laa ilaaha illallah.
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah, beliau mengajak masyarakat Quraisy dan sekitarnya untuk mengikrarkan kalimat Laa ilaaha illallaah..
Dari Rabi’ah bin Ibad ad-Daili, beliau menceritakan,
Saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandangku di pasar Dzil Majaz, sambil mendakwahkan,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُولُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، تُفْلِحُوا
Wahai sekalian manusia, ucapkanlah Laa ilaaha illallah, kalian akan mendapat kesuksesan. (HR. Ahmad 16023, Ibnu Hibban 6562 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Kita bisa perhatikan, bagaimana respon masyarakat terhadap ajakan beliau?
Mereka rela berpisah dengan keluarganya, anaknya, istrinya demi memusuhi kalimat ini.
Mereka rela keluar tenaga, demi menghalau tersebarnya kalimat ini.
Bahkan mereka siap untuk berkorban nyawa, demi melawan kalimat tauhid ini.
Kita tahu, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang dikenal sangat baik, sebelum jadi nabi dan setelah jadi nabi. Namun mengapa ajakan beliau ditentang habis-habisan oleh mereka.
Apa susahnya bagi mereka untuk hanya mengucapkan laa ilaaha illallah?.
Namun mereka lebih memilih pertumpahan darah dari pada harus mengucapkan kalimat tauhid itu. Dengan kompak mereka menuduh ajakan Nabi Muhammad sebagai ajakan yang aneh,
أَجَعَلَ الْآَلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
Apakah Muhammad hendak menjadikan tuhan yang beraneka ragam itu menjadi satu tuhan saja. Sungguh ini ajakan yang sangat aneh. (QS. Shad: 5)
Ini semua menunjukkan bahwa orang musyrikin quraisy paham akan makna kalimat itu. Mereka juga paham akan konsekuensi ketika orang mengucapkan kalimat itu. Mereka sadar, kalimat ini sangat bertentangan dengan keyakinan mereka. Karena itulah, keyakinan mereka menjadi indikator untuk memahami makna kalimat tauhid ini.
Orang Musyrikin Mekah Beriman Akan Keberadaan Allah
Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa orang musyrikin Mekah, mereka mengenal Allah. Mereka mengimani keberadaan Allah. Bahkan mereka juga mengimani bahwa Allahlah yang menciptakan dan mengatur alam semesta ini.
Kita bisa lihat, ayah Nabi Muhammad, namanya Abdullah. Dari mana mereka tahu nama itu, padahal Nabi Muhammad belum diutus? Tentu saja jawabannya, karena orang jahiliyah telah mengenal Allah.
Al-Quran juga menceritakan aqidah dan keyakinan mereka tentang Allah. Di antaranya, Allah berfirman,
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنْ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنْ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنْ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. (QS. Yunus: 31)
Kemudian di surat al-Mukminun secara berturut-turut di banyak ayat, Allah menceritakan aqidah mereka,
قُلْ لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ . سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” . Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah”. Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?”
قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ . سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah”. Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?”
قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ . سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ
Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah”. Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?”
Allah juga menyebutkan bahwa mereka mendekatkan diri kepada sesembahan itu, agar doa dan keinginan mereka lebih cepat dikabulkan oleh Allah.
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
Orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai wali (sasaran pemujaan), mereka mengatakan, “Tidaklah kami beribadah kepada mereka, selain agar mereka mendekatkan diri kami kepada Allah lebih dekat lagi.” (QS. az-Zumar: 3).
Tentu saja masih banyak dalil yang menyebutkan masalah ini, dan beberapa ayat di atas kita anggap sudah mencukupi.
Dari sini kita memahami bahwa orang musyrikin Quraisy meyakini,
Allah itu ada
Allah Maha Kuasa
Allah yang menciptakan, yang memiliki, dan yang mengatur alam semesta beserta isinya.
Dan mereka memberikan pemujaan kepada selain Allah, agar yang dipuja itu mengantarkan doa mereka kepada Allah.
Makna ‘Laa ilaaha illallaah’ yang Salah
Dengan bermodal pemahaman di atas, kita bisa mengoreksi kesalahan yang diyakini sebagian masyarakat terkait makna kalimat laa ilaaha illallah. Banyak kita dengar, mereka memaknai kalimat ini dengan,
Tidak ada yang berkuasa selain Allah,
Tidak ada wujud yang haqiqi selain Allah,
Tidak ada pengatur alam semesta selain Allah,
Tidak ada penguasa abadi selain Allah.
Kita semua sepakat kalimat-kalimat ini benar. Namun ketika kalimat ini diyakini sebagai makna laa ilaaha illallah, jelas ini kesalahan. Karena konsekuensi pemaknaan ini bertentangan dengan aqidah orang musyrikin Quraisy.
Jika makna laa ilaaha illallah adalah Tidak ada yang berkuasa selain Allah, Tidak ada wujud yang haqiqi selain Allah, Tidak ada pengatur alam semesta selain Allah, Tidak ada penguasa abadi selain Allah, anda bisa pastikan orang musyrikin Quraisy akan setuju dengan ajakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ini sesuai dengan apa yang diyakini masyarakat jahiliyah.
Untuk mengajak mereka agar mengakui tiada penguasa abadi selain Allah, tiada pengatur alam semesta selain Allah, tidak perlu sampai harus terjadi pertumpahan darah.
Konsekuensi dari Kesalahan Memahami Laa ilaaha illallah
Ketika kesalahan ini hanya berada dalam tataran wacana, mungkin masalahnya lebih ringan. Karena yang menyedihkan, beberapa pelaku perbuatan kesyirikan dari zaman ke zaman, menjadikan kesalahan ini sebagai alasan pembenar untuk perbuatan mereka.
Banyak pemuja kubur, pelaku perdukunan dan klenik, sampai pecandu kejawen, mereka kekeuh menolak untuk disebut melakukan kesyirikan, karena mereka masih meyakini bahwa yang kuasa hanyalah Allah. Selama kami meyakini bahwa hanya Allah yang mengatur alam semesta, yang memberi rizki hanya Allah, yang menciptakan dan menghidupkan hanya Allah, maka kami masih berpegang dengan Laa ilaaha illallah.
Anda buktikan ini dengan mewawancarai para pemuja kuburan, pasien dukun, bahkan dukunnya sendiri, para pemuja kuburan, termasuk mereka yang menjalani lelakon untuk mendapatkan kanuragan. KTPnya muslim, dan mereka menganggap dirinya masih muslim, selama mereka masih mengakui Allah itu ada dan masih mengucapkan Laa ilaaha illallah.
Subhanallah…
Andai mereka berada di zaman Nabi, mungkin semua sahabat akan menyebutnya orang munafik. Beda yang diucap dengan apa yang diperbuat. Mengaku muslim, tapi perbuatannya tidak berbeda dengan orang musyrik.
Makna Laa Ilaaha Illallah yang Benar
Menyadari realita di atas, semata mengucapkan laa ilaaha illallah tanpa mengamalkan konsekuensinya, tidak memberikan pengaruh apapun. Karena kalimat tauhid tidak hanya untuk diucapkan. Namun sejauh mana kita bisa mengamalkan. Karena itu, orang yang mendapatkan jaminan surga dengan laa ilaaha illallah, adalah mereka yang memahami makna dan konsekuensinya serta menerapkannya dalam hidupnya.
Dari Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mengetahui bahwa sesungguhnya tiada sembahan yang berhak disembah kecuali Allah maka akan masuk Surga”. (HR. Muslim 145)
Mari kita simak penjelasan singkat makna kalimat tauhid yang mulia ini,
Laa Ilaaha Illallah tersusun dari 3 huruf: [ا – ل – ه], dan terdiri dari 4 kata: Laa, Ilaha, illa dan Allah [لا اله الا الله].
Pertama, kata Laa
Disebut laa nafiyah lil jins (huruf lam yang berfungsi meniadakan keberadaan semua jenis kata benda setelahnya). Misalnya kata: “Laaraiba fiih” (tidak ada keraguan apapun bentuknya di dalamnya). Artinya meniadakan semua jenis keraguan dalam al-Quran.
Sehingga laa dalam kalimat tauhid bermakna meniadakan semua jenis ilaah, dengan bentuk apapun dan siapapun dia.
Kedua, kata Ilah
Kata ini merupakan bentuk mashdar (kata dasar), turunan dari kata: aliha – ya’lahu [ألـه – يألـه] yang artinya beribadah. Sementara katailaahun [إلـه] merupakan isim masdar yang bermakna maf’ul (obyek), sehingga artinya sesembahan atau sesuatu yang menjadi sasaran ibadah.
Jika kita gabungkan dengan kata laa, menjadi laa ilaaha [لا إلـه], maka artinya tidak ada sesembahan atau sesuatu yang menjadi sasaran ibadah, apapun bentuknya.
Ketiga, kata Illa
Ilaa artinya kecuali. Disebut dengan huruf istitsna’ (pengecualian) yang bertugas untuk mengeluarkan kata yang terletak setelah illa dari hukum yang telah dinafikan oleh laa.
Sebagai contoh, ‘Laa rajula fil Masjid illa Muhammad’,
Tidak ada lelaki apapun di masjid, selain Muhammad. Kata Muhammad dikeluarkan dari hukum sebelum illa yaitu peniadaan semua jenis laki-laki di masjid.
Keempat, kata Allah
Dialah Sang Tuhan, dikenal oleh makhluk melalui fitrah mereka. Karena Dia Pencipta mereka.
Sebagian ahli bahasa mengatakan, nama Allah [الله] berasal dari kata al-Ilah [الإلـه]. Hamzahnya dihilangkan untuk mempermudah membacanya, lalu huruf lam yang pertama diidhgamkan pada lam yang kedua sehingga menjadi satu lam yang ditasydid, lalu lam yang kedua dibaca tebal. Sehingga dibaca Allah. Demikian pendapat ahli bahasa Sibawaih.
Imam Ibnul Qoyyim menjelaskan maknanya,
الله وحده هو المعبود المألوه الذي لا يستحق العبادة سواه
“Allah Dialah al-Ma’bud (yang diibadahi), al-Ma’luh (yang disembah). Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Dia”. (Madarij as-Salikin, 3/144).
Dari keterangan di atas, ulama menyebutkan rukun kalimat laa ilaaha illallaah ada 2 (at-Tauhid li anNasyiin, hlm. 30):
Pertama, an-Nafyu (peniadaan)
Rukun ini diwakili kalimat laa ilaaha. Makna rukun ini, bahwa orang yang mengikrarkan laa ilaaha illallah harus mengingkari semua bentuk sesembahan dan sasaran ibadah apapun bentuknya. Baik dia manusia, benda mati, orang soleh, nabi, maupun Malaikat. Tidak ada yang berhak untuk dijadikan sasaran ibadah. Ketika seseorang beraqidah ateis, berarti dia tidak mengakui penggalan pertama kalimat tauhid:laa ilaaha.
Kedua, al-Itsbat (penetapan)
Rukun ini mewakili kalimat illallaah. Artinya, orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah harus mengakui satu-satunya yang berhak dijadikan sasaran beribadah adalah Allah. Sehingga dia harus beribadah kepada Allah. Dan ketika dia tidak mau beribadah, berarti dia belum mengakui Allah sebagai tuhannya.
Dua rukun inilah yang Allah tegaskan dalam al-Quran,
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
Siapa yang ingkar terhadap thaghut, dan beriman kepada Allah, berarti dia berpegang dengan tali yang kuat (QS. al-Baqarah: 256).
Makna kata Thaghut: segala sesembahan selain Allah
Dan arti kata tali yang kuat adalah laa ilaaha illallah
Sehingga makna ayat, siapa yang menginkari semua bentuk sesembahan dan hanya mengakui Allah sebagai sasaran peribadatannya, berarti dia telah mengikrarkan laa ilaaha illallah dengan benar.
Allah juga tegaskan di ayat yang lain,
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun”. (QS. An-Nisa: 36)
Kita bisa lihat penolakan orang kafir terhadap dakwah Laa ilaaha illallah,
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ . وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا آَلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ
“Sesungguhnya mereka apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” maka mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: Apakah kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami hanya karena seorang penyair gila?”. (QS. Ash-Shoffat: 35-36)
Ketika ada orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah namun dia masih rajin berbuat syirik, mengagungkan kuburan, gandrung dengan perdukunan, aktif sedekah bumi, larung di laut, berarti perbuatannya bertentangan dengan apa yang dia ikrarkan. Karena dia mempertuhankan selain Allah, meskipun hanya dengan satu ibadah.
Dan kita patut memahami, ibadah itu beraneka ragam. Tidak hanya berbentuk sujud atau shalat. Contoh ibadah yang sering diberikan kepada makhluk adalah memberikan sesajian, seperti sedekah bumi, larung kepala hewan, tanam kepala hewan di jembatan, dst.
Demikian pula berdoa. Banyak orang yang gandrung dengan kuburan, mereka berbondong-bondong ke kuburan ketika mereka merasa punya hajat. Jika tidak ada kepentingan, mereka tidak datang ke kuburan. Ini semua indikasi kuat bahwa mereka hendak menyampaikan doa di kuburan. Jika itu ditujukan kepada penghuni kubur, berarti itu penyembahan kepada selain Allah.
Meskipun mereka shalat, mereka puasa, bahkan haji, namun ketika mereka memberikan satu peribadatan saja kepada selain Allah, berarti amal mereka menyimpang dari kalimat tauhid.
Mengucapkan Laa ilaaha illallah Tapi Tidak Beramal
Ini kebalikan dari yang pertama. Penyakit kedua yang dialami sebagian masyarakat, ada yang beralasan dengan laa ilaaha illallah namun dia sama sekali tidak pernah beramal. Tidak shalat, tidak puasa, tidak peduli dengan agamanya. Ketika diingatkan, dia beralasan, yang penting saya masih punya laa ilaaha illallah.
Kasus semacam ini pernah terjadi di zaman ulama Tabiin Wahb bin Munabbih (w. 114 H). Ada seseorang yang bertanya kepada beliau,
“Bukankah laa ilaaha illallah adalah kunci surga.”
Maksud orang ini, yang penting orang sudah mengucapkan laa ilaaha illallah, dia terjamin masuk surga, sekalipun dia tidak beramal.
Kemudian dijawab oleh Imam Wahb bin Munabih,
بلى ولكن ليس من مفتاح إلا له أسنان فإن أتيت بمفتاح له أسنان فتح لك وإلا لم يفتح
“Benar, laa ilaaha illallah adalah kunci surga. Namun bukankah setiap kunci harus punya gigi. Jika kamu membawa kunci yang ada giginya, dibukakan surga untukmu, jika tidak ada giginya, tidak dibukakan surga untukmu.” (HR. Bukhari secara Muallaq sebelum hadis no. 1237 dan disebutkan Abu Nuaim secara Maushul dalam al-Hilyah 4/66).
Agar laa ilaaha illallah diterima, anda harus beramal.
Arti yang Tidak Tepat
Kita sering mendengar orang mengartikan, laa ilaaha illallah dengan tiada tuhan selain Allah. Mungkin pemaknaan ini perlu diluruskan.
Ketika kita mendengar ungkapan, tiada roti kecuali enak, berarti semua roti enak. Seperti itu pula kalimat
“Tiada Tuhan selain Allah”. Konsekuensi terburuknya, berarti setiap yang disembah oleh manusia, itulah Allah. Maha suci Allah dari yang demikian.
Karena itulah, para ahli bahasa meluruskan bahwa laa nafiyah lil jins pada kalimat laa ilaaha illallah butuh khabar (predikat). Pada kalimat laa ilaaha [لا إلـه], kata ilaah sebagai isim laa, sementara khabar laa (predikatnya) mahdzuf (tidak dimunculkan), yang jika dinyatakan berwujud kata haqqun [حَقٌّ]. Sehingga jika kita baca lengkap menjadi: laa ilaaha haqqun illallaah, yang artinya Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. (At Tanbihaat Al Mukhtasharah, Ibrahim al-Khuraishi)
Di sekitar kita banyak tuhan. Semua yang disembah oleh orang kafir, itulah tuhan mereka. Namun semua itu tidak berhak disembah. Satu-satunya yang berhak disembah hanya Allah.
Makna seperti ini yang diajarkan dalam al-Quran,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ
“Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil” (QS. al-Hajj: 62)
Allahu a’lam. (*/sumber: manhaj)