MOZAIK ISLAM
Ketika Anak Jadi Panutan Orang Tua

PALEMBANG, AsSAJIDIN. Com —– Potret seorang Aazar, ayah Nabi Ibrahim ‘Alaihi Salam boleh jadi saat ini cukup mewakili kehidupan masyarakat kita dewasa ini. Dimana banyak orang tua yang sulit untuk menerima kebaikan dari anak-anaknya. Mereka mungkin merasa jauh lebih berhak untuk memberikan pendapat, nasihat bahkan saran untuk kehidupan anak-anaknya. Padahal Islam menuntun setiap hamba untuk dapat menerima semua kebaikan dari siapa pun, meski hal itu datangnya dari seorang budak sahaya.
Rasulullah SAW memberikan ancaman sangat keras kepada orang yang demikian tersebut sebagimana sabdanya yang diriwayatkan dari HR Muslim No 91 dalam terjemahan bahasa Indonesia, “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi. Ada seseorang yang bertanya, Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus ? Beliau menjawab, Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.
“ Peringatan itu menyentuh semua umat yang berahlak termasuk orang tua didalamnya , oleh karena itu, cerminan seorang anak adalah bagaimana orang tuanya. Seorang anak yang melihat ayahnya selalu berzikir dan bertahlil, bertahmid, dan bertasbih, maka dia pun akan mudah untuk mengucapkan: Laa ilaaha illalloh, Subhanallah, Allahu akbar. Namun dewasa ini, kecendrungan seorang anak justru lebih banyak mengajarkan nilai-nilai kebaikan kepada orang tuanya. Seperti seorang anak yang menasehatinya ayahnya untuk berhenti merokok, karena Ia sangat mencintai ayahnya. Dan Ia tidak ingin bahaya asap rokok menggerogoti kesehatan sang ayah. Bahkan banyak diantara orang tua justru tidak mengindahkannya,” kata
Ustadz, Ahmad Dzasuki, Pengasuh Panti Asuhan Ar- Rudyah Kecamatan Sematang Borang beberapa waktu lalu .
Kepada AsSajidin dirinya menjelaskan, hal ini menjadi sesuatu yang sedikit menarik untuk dibahas dan ditengahkan kepada umat muslim yang mengaku beriman, namun diragukan kualitas dan kuantitasnya.
“ Seorang hamba yang beriman dan berakhlak, tentu dapat menerima segala kebaikan yang datang dari siapapun termasuk dari orang yang sering kita anggap lebih rendah derajatnya, usianya bahkan pengalamannya sekalipun. Islam memberikan renungan, bagaimana dalam kehidupan para nabi mereka dibenturkan antara keimanan dengan orang-orang yang dikasihi seperti halnya Aazar, Ayah Nabi Ibrahim As yang menentang kebaikan dari putranya. Nabi Nuh As yang ditentang oleh putranya untuk menyembah Allah SWT. Dan Nabi Muhammad SAW yang dihadapkan oleh kekafiran paman-pamanya sendiri. Ini tentu tidak terlepas dari sikap manusia yang sering merasa gagah, hebat bahkan tidak mau menerima kebaikan yang datangnya dari orang-orang yang dianggapnya tidak pantas untuk memberi nasihat,” ungkapnya.
Belajar dari kisah perjalanan Nabi Ibrahim As, sambungnya. Sebenarnya Allah SWT memberikan gambaran jika, tidak semua orang tua itu dapat menjadi contoh teladan bagi anak-anaknya, apalagi seperti zaman sekarang ini. Dahulu Nabi Ibrahim As, merasa bahwa kewajiban pertama yang harus ia lakukan sebelum berdakwah kepada orang lain ialah menyadarkan ayah kandungnya dulu orang yang terdekat kepadanya, bahwa kepercayaan dan persembahannya kepada berhala-berhala itu adalah perbuatan yang sesat dan bodoh. Beliau merasakan bahwa kebaktian kepada ayahnya mewajibkan memberi penerangan kepadanya agar melepaskan kepercayaan yang sesat itu dan mengikutinya beriman kepada Allah Yang Maha Kuasa.
“ Nah dizaman sekarang ini, banyak juga orang tua yang kelakuannya seperti Aazar. Ketika diajak anaknya untuk mendirikan sholat, justru dianggapnya suatu sikap yang berlebihan dari sang anak. Bahkan, tak jarang orang tua itu ‘ ngeles’ meskipun ia tidak memarahinya. Orang tua harus berlaku jujur, karena sejaitinya mereka adalah panutan bagi generasi sesudahnya,” pungkasnya.

Sementara itu, Usatdza Aisyah Pane , Spd.i. Staf pengajar TK/TPA Masjid Miftahul Jannah mengatakan, sungguh indah andaikata seorang ayah dan ibu adalah pribadi yang selalu berbuat baik. Coba banyangkan ketika seorang anak melihat orang tuanya melakukan shalat malam dengan menangis karena takut kepada Allah SWT dengan membaca alqur’an. Berpuasa senin dan kamis, ikut serta dalam shalat berjama’ah di masjid, niscaya dia akan berfikir kenapa ayahnya menangis? Kenapa dia melakukan shalat? Dan kenapa dia meninggalkan tempat tidur yang empuk lagi hangat? Kenapa dia memilih air wudhu yang dingin ?! Kenapa dia meninggalkan tempat tidurnya dengan memilih memohon kepada Rabbnya dengan rasa takut dan harap? Semua pertanyaan itu akan muncul dalam hati, jiwa dan pikiran anak-anaknya yang pada akhirnya si anak pun dengan izin Allah akan meniru apa saja yang dilakukan oleh kedua orangtuanya.
Demikian pula anak perempuan yang melihat ibunya selalu berhijab dengan menutup diri dari laki-laki lain, dia telah dihiasi dengan rasa malu dan sikap menjaga kehormatan, kesucian dirinya dan menjadikannya mulia. Jika ibunya demikian niscaya anaknya juga akan belajar menanamkan rasa malu, menjaga kehormatan dan kesucian dari ibunya. Sedangkan anak perempuan yang melihat ibunya selalu berhias diri di depan setiap laki-laki, bersalaman, dan bercampur baur, tertawa dan tersenyum dengan laki-laki lain , maka anaknya pun akan belajar yang demikian itu darinya.
“ Maka bertakwah lah kalian wahai para orang tua ! Jagalah anak-anak kalian, dan jadilah kalian sebagai suri tauladan bagi mereka. Seandainya pun ada anak yang berkelakuan baik dan berbeda dari orang tuanya itu adalah rahmat Allah SWT untuknya. Dan pasti celakalah mereka yang menolak rahmat dariNya itu . Allah SWT itu maha segalanya, jadi sebagai orang tua saya mengajak kita semua, jangan sampai sikap arogan dan egoisme kita justru menolak kebaikan yang datang dari anak-anak kita,” tutupnya. (*)
Penulis: Jemmy Saputera