MOZAIK ISLAM

Hidayah Datang kepada Zahra, Bersyahadat Setelah Ketemu Teman Baru di Game Online

AsSAJIDIN.COM — Hidayah Islam tidak pernah disangka-sangka datang dari mana saja. Bisa dari orang terdekat, keadaan sekitar, ataupun yang lainnya. Hal inilah yang dirasakan seorang perempuan di Australia bernama Zahra Fielding.

Dirinya tidak menyangka bakal menemukan teman baru lewat sebuah permainan daring (game online), kemudian menjadi seorang Muslim.

“Saya mengunduh game tersebut karena penasaran. Saya melihatnya di iklan Facebook, yang menurut saya kurang pada tempatnya,” kata Zahra, seperti dikutip dari ABC News, Kamis (28/5/2020).

Permainan yang diunduh Zahra adalah ‘Game of Sultans’ yang merupakan simulasi ‘role-playing’ atau memainkan peran dalam sebuah kekaisaran.

Setelah mulai memainkan, menurut dia, ternyata permainan tersebut tidak menarik seperti yang dijual di iklan, namun berdampak pada kehidupannya.

“Game ini hadir di momen terpenting kehidupan saya. Sebelumnya saya merasa kesepian dan tak punya arah. Saya tidak merasa bangga dengan karier maupun kehidupan pribadi, dan sudah lama melajang,” ungkapnya.

Dalam permainan yang melibatkan kerja sama dalam kelompok untuk mengalahkan musuh, Zahra bergabung dengan kelompok yang berisi lima pemain perempuan asal Australia dan Asia.

“Dalam game ini saya bertemu dengan sekelompok orang dari negara berbeda yang mungkin tidak akan pernah saya temui,” ceritanya.

Salah satu pemain adalah Kim Assikin, seorang perempuan dari Singapura yang beragama Islam.

“Ketika kami mulai bertukar pesan, saya langsung merasa nyambung berbicara dengannya. Tidak tahu mengapa dan bagaimana, tapi kami betul-betul saling sahut-sahutan,” terangnya.

Kim awalnya sempat merasa tidak percaya diri ketika harus memasang fotonya di kelompok chat bernama Discord, yang terkenal di kalangan gamers, karena dia adalah satu-satunya pemain yang mengenakan hijab.

“Saya agak khawatir tentang bagaimana teman-teman saya dalam kelompok akan melihat saya, ‘Apakah mereka akan menghakimi saya karena agama saya’?” katanya.

Namun, akhirnya Kim memutuskan jujur kepada anggota kelompoknya yang selalu sedia menolongnya bila ada masalah.

“Saya baru kehilangan ayah saya sebelum saya main game ini. Jadi berhubungan dengan mereka sedikit memberikan kedamaian, dan membantu mengalihkan perhatian saya,” ungkapnya.

“Jadi, saya tidak mau membohongi mereka. Saya yakin mereka dapat menerima saya apa adanya,” lanjut dia.
emakin dekat dengan Kim, Zahra makin berani membicarakan topik keagamaan. Meski sebelumnya tidak beragama atau ateis, Zahra merasa pandangan tentang Islam telah terkontaminasi oleh pengalamannya di masa lalu.

“Satu-satunya hubungan saya dengan Islam adalah beberapa tahun lalu, ketika salah satu teman baik saya mulai berpacaran dengan pria Muslim Afghanistan,” kata dia.

Lihat Juga :  Rumah Zakat Salurkan Bantuan kepada Balita Penderita Hidrosefalus

“Pria itu adalah Muslim yang taat. Sebelumnya saya pikir dia seorang penindas atau sangat mengontrol,” paparnya.

Bagi Zahra, pengalaman temannya yang saat itu mulai memakai hijab serta penggambaran negatif agama Islam di media membuatnya memiliki prasangka buruk soal perempuan yang memakai hijab demi agama.

“Saya pikir hijab adalah lambang penindasan. Tapi saya tidak pernah punya kesempatan bertanya tentang ini kepada siapa pun. Jadi, saya bertanya kepada Kim dan ternyata saya salah besar,” ujarnya.

“Ketika seorang perempuan mengenakan hijab, tujuannya agar orang mengenal mereka karena kepribadiannya, bukan karena penampilannya,” kata Zahra.

“Ini sesuai pandangan saya, dan sesuai pola asuh saya. Selama ini saya dihakimi berdasarkan penampilan fisik saya,” ucapnya.
Percakapan mengenai hijab berujung pembicaraan soal kepercayaan Islam secara keseluruhan. Namun, Kim sempat merasa minder karena merasa pengalamannya tidak bisa mewakili seluruh umat Islam.

“Ketika Zahra mulai bertanya kepada saya tentang Islam, saya sesungguhnya sangat takut,” kata Kim.

“Saya takut karena saya bukanlah sosok perempuan Muslim. Saya selalu berpikir saya adalah pemberontak,” ucapnya.

Ketika kecil, Kim dipaksa mengenakan hijab dan taat beribadah oleh ibunya. Ia dibesarkan dalam keluarga yang menerapkan banyak aturan dan sering dicari kesalahannya.

“Pertanyaan dari (Zahra) membuat saya merefleksikan diri, apakah saya sudah benar-benar cukup taat beragama,” kata Kim.

Kim mengatakan merasa senang ketika Zahra bertanya soal kepercayaan yang sudah ia peluk sejak kecil itu. Diam-diam, ia berdoa kepada Tuhan, “Jika benar Zahra memang ditakdirkan untuk menemukan-Mu, mudahkanlah.”

“Tapi tentu saja saya tidak mengucapkannya terang-terangan. Saya takut Zahra berbalik dan ‘lari ketakutan’,” katanya.

Menurut Zahra, Kim justru jauh dari sebutan pendakwah.

“Kim orangnya sangat tertutup. Malah kalau saya mau tahu informasi soal Islam darinya, saya harus aktif bertanya, karena dia sadar tidak mau memaksakan kepercayaannya kepada saya,” kata Zahra.

“Seandainya ada orang yang secara sengaja mengajak saya untuk masuk Islam, saya justru tidak akan pernah masuk Islam dan malah akan menolaknya,” ungkapnya.
Setelah sekian lama mempelajari agama Islam, Zahra pun merasa semakin dekat dan yakin.

“Ini adalah perjalanan menyenangkan buat saya. Saya tidak tiba-tiba bilang, ‘Halo teman-teman, saya akan menjadi Muslim sekarang’,” katanya.

Lihat Juga :  Masya Allah, Makin Banyak Jumlah Mualaf di Negara Israel, Meski Tantangannya Berat

“Langkah ini dimulai ketika suatu hari saya bertanya kepada Kim, ‘Apakah sopan bila saya mulai memakai hijab? Saya ingin tahu bagaimana rasanya mengenakannya’.”

Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya Zahra semakin percaya diri menutup rambut dan kepalanya di akhir pekan, dan lama-kelamaan mengenakan sorban di tempat kerja.

“Awalnya tidak ada yang bertanya. Lalu, setelah beberapa hari, beberapa teman kerja mulai penasaran. Mereka bilang, ‘Apakah kamu salah potong rambut atau lagi menciptakan tren rambut terbaru?” kata Zahra.

“Percakapannya berujung ringan. ‘Ya, sebenarnya saya sedang mempelajari Islam dan tidak yakin apakah saya harus mulai mengenakan hijab atau tidak. Jadi saya sedang mencari jawabannya’.” jawabnya kepada mereka.
Sejak awal tahun ini Zahra mulai beribadah di masjid di Brisbane bernama Kuraby Mosque dan mengucapkan kalimat syahadat, tanda berpindah agama ke Islam. Ia adalah satu dari ribuan warga Barat yang pindah ke agama tersebut setiap tahunnya.

Zahra percaya semua orang sebetulnya lahir sebagai Muslim. Menurutnya, ia tidak mengganti agama, namun kembali ke agama tersebut.

“Saya memberi tahu kepada teman Muslim yang membantu saya ketika mengucap kalimat syahadat bahwa saya tertarik untuk dijodohkan karena saya lelah disakiti dan ingin langsung bersuami saja,” kata dia.

“Lalu ia membantu melengkapi profil saya dalam sebuah aplikasi pernikahan Muslim.”

Seperti ketika Zahra bertemu teman barunya secara daring, kali ini ia juga sudah menemukan tunangan lewat teknologi online.

“Tunangan saya bertugas mengedit konten digital dalam sebuah organisasi (Muslim) di Kuala Lumpur. Dia bilang sangat tertarik pada cerita saya dan ingin tahu proses saya menemukan Islam,” ceritanya.

“Setelah beberapa hari chatting, akhirnya saya pikir, ‘Ok, saya ingin mencoba dan menjaga agar hubungan ini tetap halal. Bagaimana cara kita melakukannya kalau dia tinggal di Malaysia dan saya di Australia?’.”

Hubungan halal yang dimaksudkan Zahra adalah menurut hukum Islam, di mana keluarga dari pasangan sudah harus saling bertemu untuk memastikan hubungan tersebut tidak dijalankan sembunyi-sembunyi.

Bagi Zahra dan pasangannya, jarak bukanlah kendala. Melalui panggilan video, mereka mengenalkan keluarga masing-masing.

Ketika penutupan perbatasan Australia nanti diangkat, Zahra berencana segera pindah ke Malaysia untuk menikah.

Kim mengatakan akan hadir dalam pernikahan Zahra dan “insya Allah” siap bertemu dengan teman gamer-nya untuk pertama kali. (*/sumber: okezone)

Back to top button