KELUARGA

Cinta Suci Nailah Hingga Akhir Hayat

ASSAJIDIN.COM – Ustman bin Affan, adalah seorang pria yang sangat terusterang. Bukan saja karena sebagai khalifah tetapi juga dalam cinta. Keterusterangannya disampaikan ketika dia hendak melamar Nailah, gadis yang jauh sekali batas usianya dengan dirinya. Nailah cinta setia yang bersemi hingga akhir hayat Ustman

Tidak mudah bagi Ustman untuk menyatakan cintanya kepada wanita yang baru berusia 18 tahun itu, sedang usianya sudah hampir 80 tahun dan uban pun telah memenuhi kepala dan jenggotnya yang lebat. Tapi sepertinya Nailah binti Al Qurafashah adalah seorang yang memiliki sifat kesetiaan, seorang gadis cantik dari negeri Syam memiliki akhlak yang mulia diantara gadi-gadis saat itu.

“Kamu kaget melihat semua ubanku…? Percayalah! Hanya kebaikan yang kamu temui di sini,” kata Utsman terus terang tatkala pertama kali menyetakan isi hatinya kepada Nailah. “Apakah engkau tak keberatan menikah dengan seorang pria tua bangka seperti aku?” kata Ustman lagi.

Aku termasuk perempuan yang lebih suka memiliki suami yang lebih tua,” jawab Nailah sambil tertunduk. Rasa malu menggelayuti hatinya. “Namun, aku telah jauh melampui ketuaanku,” kata Utsman kembali. Ia seakan menguji kesungguhan keputusan gadis cantik yang mau dinikahinya itu, menelisik kesungguhan keputusannya untuk mencintai lelaki tua seperti dirinya. “Tapi masa mudamu sudah kau habiskan bersama Rasulullah,” jawab Nailah sambil tersenyum, “Dan itu jauh lebih aku sukai dari segala-galanya.”

Selanjutnya Utsman dan Nailah hanya memberikan bukti atas keputusan mereka bersama dalam ikatan pernikahan itu. Utsman mencintai Nailah dan Nailah pun mencintai Utsman. Keduanya merupakan para pecinta sejati yang senantiasa melaksanakan pekerjaan-pekerjaan cinta bagi orang yang dicintainya. Maka, keduanya saling memberi, saling memperhatikan, saling menumbuhkan, saling merawat, dan saling melindungi.

Lihat Juga :  Cara Mudah Memahami Alquran

Nailah yang disirami kerja cinta dari sang suami pun tumbuh dan semakin mekar. Ia menjadi salah satu perempuan yang pandai bertutur kata dan sangat menguasai sastra. “Saya tidak menemui seorang wanita yang lebih sempurna akalnya dari Nailah. Saya tidak segan apabila ia mengalahkan akalku,” kata Utsman suatu ketika mengenai Nailah.

Darinya Utsman memperoleh putri bernama Maryam dan Anbasah. Sejarah membuktikan kejujuran cinta mereka. DR. Sa’id bin ‘Abdul ‘Azhim menceritakan untuk kita dalam Mu’asyarah bil Ma’ruf bukti kesetian cinta keduanya, tatkala para pemberontak mendatangi Khalifah Utsman bin ‘Affan di rumahnya untuk membunuhnya, bangkitlah istri yang dicintai dan mencintainya itu, Nailah binti Al Qurafashah, dengan membiarkan rambutnya terurai, seakan-akan dia bersiasat dengan berusaha menggoda sifat kejantanan para pemberontak tersebut.

Kontan saja Utsman berteriak dan membentaknya, seraya mengatakan, “Ambillah kerudungmu! Demi umurmu, kedatangan mereka lebih ringan bagiku daripada kehormatan rambutmu. ”Ketika salah seorang pemberontak masuk ke dalam rumah dan membabat Utsman yang sedang membaca mushaf Al Qur’an hingga darahnya menetes ke mushaf itu, Nailah tidak tinggal diam. Seorang pemberontak lain yang menerobos masuk dicegah oleh Nailah dan merebut pedang yang dibawa si pemberontak itu.

Namun, pemberontak itu dapat merebut pedangnya kembali. Ia menebaskan pedangnya dan memotong jari-jemari lentik Nailah yang melindungi sang suami. Dalam riwayat yang lain dikisahkan bahwa Nailah menjatuhkan tubuhnya ke pangkuan Utsman untuk melindungi tubuh sang suami dari sabetan pedang para pemberontak hingga jarinya tertebas.

Para pecinta sejati memang senantiasa memberikan perlindungan yang terbaik bagi orang yang dicintainya. Meski harus berkorbankan harta, meski harus berkorban raga, meski harus berkorban nyawa. Bahkan kemudian, potongan jari Nailah bersama baju Utsman dibawa ke hadapan Mu’awiyah di Syam untuk menunjukkan bukti kekejaman para pemberontak dalam membunuh Utsman. Sebuah bukti cinta yang sangat mengagumkan.

Lihat Juga :  Fadhilah Mengucap Basmalah dalam Setiap Aktivitas Kita

Utsman demikian dalam mencintai Nailah. Karena itulah Nailah pun merasakan dan mencintai Utsman dengan sangat mendalam. Curahan cinta Utsman kepada Nailah memenuhi seluruh ruang di hati Nailah hingga mampu menggerakkan dirinya menjadi pertahanan bagi kesewenang-wenangan para pembunuh suaminya, seorang lelaki yang senantiasa menghidupkan malam dengan Al Qur’an dalam rangkaian rakaatnya.

Utsman senantiasa membuktikan bahwa ia mencintainya dalam keadaan susah dan senang. Maka, semakin luaslah ruang hati Nailah untuk menampung cinta dari sang suami. Demikian pula kesadarannya untuk mencintai lelaki tua itu. Ruang hatinya terlalu penuh dengan cinta dari lelaki tua itu hingga tak mampu terisi oleh cinta yang lain.

Maka, ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan menyampaikan pinangannya untuk janda Utsman bin ‘Affan itu, Nailah dengan tegar menjawab, “Tidak mungkin ada seorang manusia pun yang bisa menggantikan kedudukan Utsman di dalam hatiku.” Bahkan, kemudian ia merusak wajahnya yang cantik untuk menolak semua peminang yang datang kepadanya. Ia memutuskan untuk hanya mencintai Utsman, lelaki tua itu.

Mencintai adalah sebentuk pernyataan kesiapan diri untuk melakukan kerja-kerja cinta. Maka, mencintai bukanlah tentang romantisme, melankolisme, erotisme, kemesraan, khayalan, dan keindahan semata, namun tentang kerja cinta dan pertaruhan kepribadian serta integritas si pecinta, walaupun kita tidak menafikkan eksistensi hal-hal indah tersebut. Mencintai adalah pekerjaan yang besar dan berat. Karena itu, mencintai adalah pekerjaan yang sangat melelahkan. Namun, hanya sedikit orang yang menyadari hal ini.(*)

Penulis: Bangun Lubis

 

Back to top button