Stop Mendidik Anak dengan Caci Maki, Jadilah Orangtua yang Kuat
AsSAJIDIN.COM — Merasa benar kerap kali membuat kita kehilangan kendali atas emosi dan perilaku buruk. Bahkan sekalipun lisan ini kerap meluncurkan kata-kata buruk, diri tetap merasa baik-baik saja, sebab sistem kesadaran kita telah menyatakan, bahwa yang dilakukan, seluruhnya benar.
Perasaan semacam inilah yang membuat pendidikan orangtua terhadap anak tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Perasaan itulah yang menjadikan komunikasi pasangan dalam rumah tangga lebih sering memicu perdebatan daripada saling memahami, sehingga kian hari kasih sayang terus tergerus, yang pada akhirnya, emosi terus membara.
Semua itu membuat seseorang lupa bahwa tujuan baik, tak bisa dicapai dengan cara yang tidak baik. Termasuk ketika ingin memiliki anak yang sholeh, tetapi setiap anak tidak sesuai harapan, lisan langsung menembakkan kata-kata buruk.
Dorothi Law Nolte mengatakan bahwa anak yang dibesarkan dengan caci maki akan tumbuh menjadi pribadi rendah diri. Anak yang dibesarkan dengan cercaan dan hinaan, akan tumbuh menjadi sosok yang jiwanya kerdil dan menjadi pribadi yang suka menyesali diri.
Oleh karena itu, kendalikan diri, jangan merasa benar, cobalah introspeksi diri. Jangan sampai maksud baik diwujudkan dengan cara yang salah, sehingga tanpa sadar justru kita sendiri yang membentuk alam bawah sadar anak sedemikian buruk.
Sekarang coba kita cek dalam hati sendiri, apakah mau kita dicaci maki? Andai diri kembali menjadi seperti anak-anak, apakah rela kita dicaci maki. Mungkin akan muncul pertanyaan dalam hati, jika orangtuaku sering mencaciku,untuk apa mereka melahirkan dan memelihara diriku.
Di sinilah kita dapat mengamalkan apa yang Allah sebutkan sebagai salah satu sifat insan bertaqwa, yakni memaafkan kesalahan manusia, siapapun itu, terlebih buah hati sendiri.
Ada kisah menarik yang dialami oleh Ustadz Haikal Hasan, dimana perilaku buruk dirinya ketika masih remaja ternyata disikapi dengan sangat bijaksana oleh sang ibu.
Ketika itu, sepulang sekolah, ia lemparkan tas sekolahnya, kemudian bergegas keluar main bola dari siang hingga petang. Pulang dalam keadaan basah kuyup, baju penuh lumpur. Dan, dirinya bersama teman-temannya pulang dengan cara mengendap. Temannya mendapat perlakuan hampir sama dari ibunya, dimarahi dan dipukuli.
Menyaksikan itu, ustadz yang dikenal dengan panggilan babeh itu merasa gugup dan gemetar untuk segera sampai di rumah.
Tetapi, luar biasa. Ustadz Haikal Hasan mendapati ibunya menyambut dengan penuh kasih sayang, tanpa ada kata marah, raut benci dan sebagainya. Malah menyuruhnya segera mandi dan telah disediakan air hangat. Kejadian itu membekas betul dalam benak ustadz yang dikenal humoris itu, hingga akhirnya beliau menjadi terdorong belajar dan berbakti kepada orangtua.
Didik Anak Bisa Berpikir
Mohamed A. Khalfan dalam bukunya Anakku Bahagia Anakku Sukses menjabarkan bahwa setiap anak mesti dididik untuk bisa berpikir.
“Ajarlah anak unutk bisa berpikir. Sekali kemampuan berpiir itu dikuasai, dia akan berbuat lebih banyak lagi daripada sekadar berpikir.”
Nampaknya hal itulah yang terjadi pada Ustadz Haikal Hasan, dimana perilaku sang ibu yang berbalik 180 derajat dari apa yang dibayangkannya, mendorongnya sadar, mengerti, dan yakin bahwa orangtuanya benar-benar mencintai dan berharap dirinya tumbuh menjadi pribadi bertanggungjawab dan bermanfaat bagi umat.
Jika merujuk dalam Al-Qur’an, metode mendidik anak bisa berpikir bisa dilihat dari cara para Nabi berkomunikasi dengan anak-anaknya. Nabi Ibrahim mengajak dialog anaknya. Nabi Ya’kub juga mengajak dialog anak-anaknya. Bahkan Luqman Al-Hakim mengajak sang anak tak sekedar dialog, tetapi terjun ke masyarakat kemudian menghadirkan banyak hikmah secara langsung kepada anaknya.
Dengan kata lain, memang tidak diperlukan ungkapan penuh kemarahan dan kekesalan ditumpahkan oleh orang dewasa atau orangtua kepada anak-anaknya. Berkatalah yang lembut, biasakan berdialog, dan yang terpenting pahami tingkatan psikologi anak, sehingga kita tidak mengharapkan, kecuali batasan yang sanggup dicapai anak kita sendiri.
Dalam hal ini, Mohamed A. Kholfan kembali menegaskan, “Seorang anak yang tidak terlatih untuk berpikir – dan karenanya ia akan gagal dalam melakukan penalaran – biasanya akan melibatkan emosinya untuk menutupi kekurangannya.”
Tidakkah hari ini kita bertemu dengan sosok orang yang emosinya lebih didahulukan daripada akalnya? Boleh jadi, orang yang demikian besar dalam cara didikan yang keliru, sehingga kala tumbuh dewasa, ia gagal menjadi pribadi yang mengedepankan akal di atas emosinya.
Dengan demikian, mari bersabar, mari lebih teliti, jangan mudah untuk mengumbar amarah, sekalipun terhadap anak-anak sendiri.
Sebab cara demikian selain tidak diajarkan oleh Islam juga akan membawa dampak negatif yang serius bagi pertumbuhan kepribadian anak-anak kita.
Jadilah pribadi yang kuat, orangtua yang kuat dalam beragam hal, terutama dalam mendidik anak-anak, membina keluarga, yang dianjurkan dengan sangat oleh Nabi Muhammad ﷺ.
“Orang yang kuat tidaklah yang kuat dalam bergulat, namun mereka yang bisa mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Malik).(*/sumber:dream.co)