Hikmah di Balik Kisah Warisan Hisyam bin Abdul Malik dan Umar Bin Abdul Aziz

ASSAJIDIN.COM — Hisyam bin Abdul Malik dan Umar Bin Abdul Aziz sama-sama memiliki 11 anak, laki-laki dan perempuan. Hisyam bin Abdul Malik (Salah satu Khalifah di masa Umayyah) meninggalkan jatah warisan bagi anak-anak laki masing-masing mendapatkan 1 juta Dinar.
1 juta dinar (hari ini sekitar Rp 2.220.000.000.000,-) ternyata tak bisa sekadar untuk berkecukupan, bahkan menuju kefakiran. Dengan peninggalan harta melimpah itu ternyata tidak membawa kebaikan. Semua anak-anak Hisyam sepeninggalnya hidup dalam keadaan miskin.
Berbeda dengan Khalifah Umar Bin Abdul Aziz yang hanya mewariskan setengah dinar bagi anak-anak lelakinya (yang jika dirupiahkan hanya sekitar Rp.1.100.000) dan seperempat dinar untuk anak perempuan. Di masa kapitalisme sekarang ini di mana harga bahan-bahan pokok melambung tinggi, jumlah uang segitu dalam hitungan beberapa hari akan menguap tak berbekas. Nyatanya, anak-anak Umar bin Abdul Aziz tanpa terkecuali hidup dalam keadaan berkecukupan bahkan kaya. Salah seorang di antara mereka berinfaq fi sabilillah untuk menyiapkan kuda dan perbekalan bagi 100.000 pasukan penunggang kuda.
Umar bin Abdul Aziz seorang Khalifah yang sukses memakmurkan rakyatnya sampai tak seorang pun rakyatnya yang mau menerima pembagian zakat. Tentu dia juga berhak untuk memakmurkan keluarganya. Minimal sama, atau bahkan ia punya hak lebih sebagai pemimpin mereka.
Tetapi ternyata ia tidak meninggalkan banyak harta. Tak ada tabungan yang cukup. Tak ada usaha yang mapan. Apalagi asuransi seperti zaman sekarang.Tapi tidak ada sedikit pun kekhawatiran. Tidak tersirat secuil pun rasa takut. Karena warisan itu sudah ia tinggalkan berupa keshalihan anak-anak hasil didikannya.
Dengan keshalihan orang tuanya, mereka dijaga dan dengan keshalihan anak-anaknya, mereka akan diurusi, dijaga dan ditolong Allah.
Hikmah dari potongan kisah tersebut, semacam kode keras bagi orang tua. Jadi jika detik ini kita masih percaya anak-anak kita bisa shalih karena sudah di sekolahkan di lembaga pendidikan islami, sementara orang tuanya tak mau mengukur diri dan berikhtiar untuk menjadi shalih pula, mengabaikan Al-Qur’an sebagai panduan kehidupan dan menganggapnya hanya sebagai kitab suci yang cukup dipandang dan dilisankan namun enggan untuk mengamalkan, niscaya kesia-siaan yang kita dapatkan.
Pun ketika kita tak mampu menjaga militansi untuk memperjuangkan Islam, namun berharap banyak anak kita menjadi pembela agama. Mungkin semacam mimpi untuk memeluk bulan.[*]