NASIONAL

Cepat Sembuhlah Negeriku…

AsSAJIDIN.COM —  Bermula dari fenomena politik elektoral. Puan Maharani, Agus Yudhoyono, Muhaimin Iskandar, dan Airlangga Hartanto menyebarkan baliho yang bikin ‘segelintir’ pihak resah. Alasannya, karena sedang pandemi, harusnya tidak sibuk hamburkan uang untuk politik 2024. Akibatnya, ketidakpercayaan terhadap pemerintah semakin menggema di berbagai lini. Konon, kapal pemerintah sedang oleng. Apakah spirit disintegrasi akan menjadi momok di HUT RI ke-76 ini?

Sebelumnya, Mochtar Ngabalin juga bikin statement apologis, persis apa yang sedang trending hari ini di Twitter, ketika Faldo Maldini berkomentar soal mural yang justru blunder. Pada setiap polemik tersebut, masyarakat semakin eneg, seolah pemerintah menutupi seluruh permasalahan demi keberlangsungan rezimnya yang dicap otoriter. Kasus lain, sebagai contoh, ketidakadilan hukum yang disorot tajam oleh Narasi, menjadi kasus yang tak kalah menjengkelkan.

Seperti itulah perspektif masyarakat hari ini. Pemerintah sedang krisis integritas. Masyarakat merasa berada di era represi rezim, bahkan menganggap pemerintahan sekarang sebagai Neo-Orde Baru. Fakta ini tidak bisa diabaikan begitu saja dan perlu penanganan serius. Hilangnya integritas pemerintah adalah bahasa lain dari tumpulnya kontrol negara terhadap rakyat. Rakyat akan melakukan apa saja asal bisa bebas dari pemerintah. Jelas, ini isyarat darurat.

Kapal pemerintah dianggap oleng, mungkin karena krisis integritas tadi yang membuat kebijakan apapun menjadi tidak efektif. Di waktu-waktu demikian, kebenaran pun tidak akan berdaya melawan kebatilan. Kontra-propaganda, sebagai contoh, tidak akan menyumbang banyak efektivitas. Beberapa waktu yang lalu tulisan yang mengonter narasi para aktivis khilafah justru dianggap fitnah, tidak benar, hanya karena mereka, para pengkritik, tidak lagi percaya pemerintah!

Singkatnya, spirit disintegrasi adalah masalah yang berkesinambungan dengan realitas faktual di satu sisi dan desakan ideologis di sisi lainnya. Pemerintah tidak akan mampu meminta masyarakat untuk tidak memihak khilafah, sementara pemerintah sendiri mempertontonkan ketidakadilan. Orang-orang akan mudah ditarik untuk mencari keadilan dalam sistem khilafah—caranya adalah dengan coba menerapkannya. Cita-cita itulah yang mendorong spirit disintegrasi.

Lihat Juga :  Bacagub Sumsel Heri Amalindo Umrohkan Penghafal Alquran

Besok, 17 Agustus, seharusnya menjadi momen persatuan—bersama merayakan hari kemerdekaan. Tetapi hari ini sebaliknya, alih-alih bersatu, narasi ke arah perpecahan mengalami eskalasi daripada sebelumnya. Dua faktor tadi, realitas faktual pemerintah yang mempertontonkan anggapan ketidakadilan dan desakan ideologi transnasional, telah menciptakan satu kluster oposisi baru yang terhadap kontra-narasi, mereka sudah tidak mempan dan putus asa.

Situasi ini dimanfaatkan sebagai katalisator perpecahan. Narasinya, dalam konteks keputusasaan dimaksud, konfrontasi ke arah disintegrasi dianggap sebagai jalan keluar dari masalah, tanpa melihat fakta bahwa perpecahan adalah sesuatu yang dicita-citakan kalangan sebelah dan merupakan agenda utama mereka demi menguasai dan mengganti sistem pemerintahan. Puncaknya, yang terburuk, adalah kembalinya nahas masa lalu—ancaman teror.

Disintegrasi bangsa adalah masalah krusial yang fluktuatif, tetapi ia mengancam sudah sejak republik ini berdiri. Artinya, masalah ini bukan sesuatu yang baru, namun terjadi terus-menerus, terutama sejak aktor politik Islam memiliki utopia islamisme. Delusi perombakan sistem pemerintahan tidak boleh menemukan celah dalam aspek politik, karena akibatnya akan fatal. Bagaimana tidak, misalnya pemerintah kadung tidak dipercaya dan terus di-branding telah gagal?

Pemerintah saat ini mungkin sedang mengalami krisis terutama karena Covid-19 yang merambah pada aspek-aspek yang lain. Kendati demikian, adalah buruk jika terpikirkan bahwa solusinya adalah disintegrasi bangsa, karena alih-alih menyelesaikan masalah, justru ia berarti lari dari masalah. Orang-orang di pemerintahan juga harus peka dengan gejolak sosial-politik ini, lalu bersama berbenah menciptakan persatuan dan kesatuan. Itulah merdeka yang sebenarnya.

“Kapal oleng pemerintah” adalah narasi yang diciptakan untuk mempersonifikasi kegagalan pemerintah menjalankan roda pemerintahan. Faktanya, narasi tersebut datang dari pihak yang memang dari awal menegasikan kepemimpinan Jokowi. Carut-marut pemerintahan hari ini kemudian menjadi justifikasi politis dan ideologis disintegrasi bangsa. Padahal kapal oleng sendiri bernuansa stigmatis, artinya ia tidak seburuk yang digemborkan—terutama—oleh para aktor perpecahan.

Lihat Juga :  Mantan Walikota Palembang Eddy Santana Putra Hadir di Kediaman Herman Deru, Sinyal Akan Berpasangan di Pilgub Sumsel?

Di semua media massa, istilah tersebut akan banyak terdengar, sementara pemerintah tidak bisa membendung karena terjerembab fakta aktual perpolitikan nasional itu sendiri. Jika krisis nasional memang sedang terjadi, pemerintah juga mesti mengevaluasi cara mereka bertindak agar tidak semakin dicap otoriter. Sesuai sila keempat Pancasila, kebijaksanaan dalam permusyawaratan harus menjadi pedoman, karena hanya dengan itu, spirit disintegrasi bisa diredam.

Seluruh pihak, pemerintah maupun masyarakat selaiknya tidak larut dalam ‘masalah’ dan ‘penyelesaian masalah’ yang justru menciptakan sekat persatuan. Caranya adalah dengan menyadari sepenuhnya bahwa batas-batas yang mecemaskan, ada pemain yang sedang menunggu momentum untuk mengacaukan segalanya. Jika keadaan politik benar-benar memantik spirit disintegrasi, justifikasi ideologis akan berjalan sendiri bersama keputusasaan.

Sudah 76 tahun republik ini merdeka. Masalah utama seharusnya adalah rakyat-rakyat kelaparan akibat pandemi yang tidak kunjung selesai. Nafsu-nafsu 2024 harus ditahan, agar tidak memancing narasi para pemecah belah bahwa rezim kali ini tamak dan, para politisinya, asosial. Bagaimana bisa upaya mengonter perpecahan akan efektif jika mereka, para pemecah belah, diberi umpan? Narasi kapal oleng pemerintah, bagaimanapun, adalah PR bersama.

Poinnya, spirit disintegrasi mesti dicegah. Caranya, pemerintah menyelesaikan masalah krisis integritas dan membangun kembali kepercayaan masyarakat. Buruk sekali jika sampai terjadi begini: masyarakat tidak lagi percaya pemerintah, lalu semua ingin coba ganti sistem pemerintahan. Katakanlah khilafah misalnya, sebagaimana yang selalu digemborkan para aktivisnya selama ini—menebarkan spirit disintegrasi bangsa. Apakah kemudian semuanya akan menjadi balik?

Tidak. Yang ada, kapalnya bukan hanya akan oleng, tapi bahkan tenggelam. Apakah masalah ini yang akan dijadikan hadiah untuk HUT kemerdekaan? Tidak bisa dibiarkan. Indonesia harus tangguh dari segala masalah dan spirit disintegrasi. Indonesia harus tumbuh ke arah kemajuan.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab. (*/sumber: harakatuna.com)

Back to top button