Mana Jargon Indonesia Negara Maritim, Pembangunan Jembatan Sumsel-Babel Dinilai Mubazir

AsSAJIDIN.COM — Pembangunan jembatan penghubung Sumatera Selatan (Sumsel) dan Bangka Belitung (Babel) digadang-gadang akan terus dilanjutkan. Hal ini menjadi kecemasan tersendiri bagi keberlangsungan hidup dari transportasi penyeberangan dan kegiatan ekonomi sekitar wilayah tersebut yang sekarang ini sudah mulai tumbuh.
Sementara saat ini penyeberangan Bangka-Palembang sudah dilayani melalui Pelabuhan Tanjung Api-Api (TAA) – Tanjung Kalian yang bisa ditempuh tidak lebih dari 3 jam. Dengan adanya jembatan tersebut berarti jargon maritim Presiden Jokowi didalam menghidupkan sektor maritim tidak terwujud, apakah benar sikap pemerintah sudah mulai berubah? dan jargon maritimnya Presiden Jokowi apa sudah hilang?
Ketua Bidang Tarif DPP Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai Danau dan Penyebrangan (GAPASADAP), Ir. Rakhmatika Ardianto mengatakan, rencana pembangunan jembatan tersebut yang membutuhkan investasi belasan triliunan rupiah yang sangat fantastis.
“Harusnya bisa dimanfaatkan untuk mendukung program Presiden Jokowi dalam mengembangkan jalur-jalur maritim,” katanya.
Saat ini kepengusahaan di lintas penyeberangan tersebut perlu mendapatkan perhatian pemerintah. Dari 13 kapal yang ada, hanya bisa beroperasi di satu pasang dermaga sehingga setiap kapal hanya bisa beroperasi bergantian 6 kapal sehari yang dipaksakan dalam satu dermaga. Sehingga potensi utilitas dan kapasitas angkut dari masing-masing kapal yang bisa digunakan tidak lebih dari 30% perbulannya.
“Berarti kita masih bisa meningkatkan kapasitas angkut (utilitas) sekitar 70% lebih, kalau infrastruktur dermaga ada penambahan menjadi dua pasang dermaga. Maka kapasitas angkut dari jumlah kapal yang ada saat ini bisa naik 30% untuk melancarkan demand yang ada saat ini,” katanya.
Kesimpulannya di lintasan tersebut terlalu banyak kapal, tetapi tidak bisa dioperasikan karena kekurangan infrastruktur dermaga, sehingga untuk kelancaran bukan menambah kapal tetapi menambah dermaga untuk mengaktifkan kapal-kapal yang off karena kekurangan dermaga.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2018 Pemerintah wajib melakukan pengerukan di wilayah alur, karena saat ini terjadi pendangkalan yang luar biasa hebat dan ini bisa membahayakan keselamatan transportasi.
Apabila rencana pembangunan jembatan yang menghabiskan anggaran belasan triliun benar-benar direalisasikan, maka traffic kendaraan yang melewati jembatan tersebut sesuai dengan jumlah kendaraan yang ada di transportasi ferry hanya 300 kendaraan perhari, maka dalam 24 jam hanya sekitar 10-15 kendaraan yang lewat di jembatan tersebut per jamnya.
“Padahal bila kita ingin mempercepat dan menambah kapasitas angkut ditransportasi penyeberangan (ferry) menjadi 3X lipat yang ada, tidak membutuhkan biaya yang lebih dari Rp500 miliarar untuk pembangunan 1 pasang dermaga termasuk pengerukan yg ada di alur lintas transportasi penyeberangan,” jelasnya.
Dan tentunya juga bisa memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi terutama ekonomi kerakyatan dan ekonomi maritim yang tumbuh disekitar wilayah pelabuhan dan jalur-jalur yang dilewati oleh angkutan yang menggunakan ferry. Karena apabila lewat jembatan, kendaraan harus melewati jembatan tol yang akan mematikan ekonomi kerakyatan dan ekonomi maritim yang ada disekitar wilayah tersebut.
“Diharapkan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat bisa mengkaji manfaat dan kerugian dari dampak pembangunan jembatan terhadap ekonomi kerakyatan dan ekonomi maritim yang saat ini tumbuh, dibanding dengan pembangunan jembatan yang membutuhkan biaya belasan triliun yang akan direalisasikan dalam tahun-tahun ini dimana kondisi negara sedang dalam kesulitan,” katanya. (*/pitria)