Mimpi Bertemu Rosul
Oleh: Adib Gunawan
Praktisi Kesehatan, Pemerhati Masalah Sosial Keagamaan
BILA kita bermimpi bertemu sosok yang mengatakan dirinya adalah Rasul, atau pihak ketiga yang ada dalam mimpi kita tersebut memperkenalkan, bahwa sosok tersebut adalah Rasul, maka jika terbangun lantas kita langsung meyakini, bahwa sosok dalam mimpi tersebut pasti adalah Rasul, oleh karena berpegangan dengan satu hadist, “Barangsiapa yang bermimpi melihatku, berarti dia benar-benar telah melihatku, karena setan tidak dapat menyerupaiku”, maka kita bisa terjerumus dalam sikap yang terburu-buru.
Sebagaimana ketika sebelum berpisah lama dengan kedua orangtua kita, lalu orangtua kita berpesan, “Nak, jika di tempatmu yang baru di sana kamu bermimpi melihatku, maka dalam mimpi tersebut benar-benar ia adalah aku orang tuamu, bukan setan atau jin atau yang lain. Karena mereka-mereka tidak bisa menyerupaiku, Nak”, mensyaratkan kita harus tahu terlebih dulu secara pasti rupa dan bentuk fisik asli kedua orang tua kita, sehingga ketika sosok kedua orang tua kita muncul dalam mimpi, maka kita bisa mengenalinya sebagai orang tua kita, lantas karena orangtua kita sudah berpesan bahwa tidak ada yg bisa menyerupai orangtua kita, sehingga yakinlah kita bahwa di mimpi tersebut benar-benar orangtua kita, maka begitu jugalah dalam hal mimpi bertemu Rasul.
Klaim bermimpi bertemu Rasul, mensyaratkan harus tahu terlebih dahulu secara pasti rupa dan wujud asli Rasul. Setelah tahu terlebih dahulu rupa dan fisik asli Rasul itu bagaimana, lalu ketika bermimpi bertemu dengan beliau, lantas ia mengenali Beliau, dan karena berpegang pada hadist bahwa setan tidak bisa menyerupai Rasul, maka ia yakin benar-benar Rasul lah yang ada dalam mimpinya.
Tanpa mengetahui secara pasti rupa dan bentuk fisik asli Rasul, maka secara logika kita tidak bisa mengklaim bahwa sosok tersebut adalah benar-benar Rasul.
Logika sederhana di atas, ternyata sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Imam Nawawi dan Ibnu Hajar Al-Asqalani, ketika menjelaskan makna hadist di atas, bahwa diantara makna hadist tersebut secara literal adalah ditujukan untuk orang-orang yang sezaman dengan Nabi yang sudah tahu rupa dan fisik asli Rasul, lalu bermimpi bertemu Rasul.
Demikianlah. Secara logika dasar saja, ditambah dengan pendapat dari Imam Nawawi dan Ibnu Hajar Al-Asqalani di atas, maka sesungguhnya orang yang sebelumnya tidak tahu pasti rupa dan fisik Rasul yang asli, tidak bisa secara mutlaq mengklaim bahwa sosok yang dilihat dalam mimpinya adalah benar-benar Rasul.
Setan memang tidak bisa menyerupai Rasul. Tapi ada kemungkinan, bisa saja ada sosok yang mengaku ia adalah Rasul.
Oleh karena ada kemungkinan bisa saja ada yang mengaku sebagai sosok Rasul inilah, maka Ahli Tafsir mimpi, Ibnu Sirrin, sebagaimana yang dituturkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani:
“Jika seseorang berkata kepada Ibnu Sirrin, bahwa ia telah mimpi melihat Nabi Muhammad SAW, maka Ibnu Sirrin akan bertanya kepadanya: ‘Jelaskan sifat orang yang kamu lihat (mimpikan) itu kepada ku’. Maka jika orang yang bermimpi tersebut mengisahkan kepadanya dengan sifat yang tidak diketahui oleh Ibnu Sirrin, maka Ibnu Sirrin berkata, ‘Yang kamu lihat di mimpimu itu bukan Rasulullah’.”
Ya. Setan memang tidak bisa menyerupai Rasul. Tapi bisa saja ada sosok yang mengaku bahwa ia adalah Rasul.
Dengan demikian, orang yang tidak hidup sezaman dengan Rasul, yang tidak tahu secara pasti rupa dan fisik Rasul, ketika ia mimpi bertemu dengan Rasul, maka ia tidak bisa mengklaim bahwa sosok tersebut adalah Rasul. Melainkan, Ia hanya bisa menduga saja.
Dan dugaan tersebut bisa benar dan bisa pula salah.
Namun demikian, di luar orang yang hidup sezaman dengan Rasul, mungkin saja Allah SWT memberikan taufik dan karomah kepadanya, sehingga ia mengetahui secara pasti rupa dan fisik asli Rasul, sehingga ketika bermimpi ia bisa mengenali bahwa sosok yang ada dalam mimpinya tersebut adalah Rasul.
Diantara orang-orang mulia tersebut adalah semisal Syeikh Abdul Qadir Jailani, yang mempunyai pengetahuan hingga langit ketujuh.
Juga, Imam Ghozali, yang bisa menyingkap tabir alam malakut dan jabarut.
Atau Imam Jalaludin As-Suyuti yang mengaku pernah bertemu Nabi 28 kali dalam keadaan terjaga.
Serta Bediuzzaman Said Nursi, ulama ahli hakikat yang mengetahui rupa dan fisik asli Rasul, mimpi bertemu dengan Rasul, didatangi oleh Sayyidina Ali dan pendahulunya Syeikh Abdul Qadir Jailani. Bahkan setiap kali Bediuzzaman Said Nursi mengundang Syeikh Abdul Qadir Jailani, Sang Syeikh benar-benar datang dengan karomahnya.
Orang-orang dengan maqom tersebut, karena mereka merasa tahu secara pasti akan rupa dan fisik Rasul, maka mereka berani mengklaim bahwa yang hadir di mimpinya adalah benar-benar Rasulullah. Tinggal kita percaya atau tidak atas karomah dan pengetahuan yang mereka miliki serta klaim mimpi mereka.
Sedangkan orang lainnya, yang merasa selain yang memiliki maqom di atas, yaitu merasa tidak memiliki pengetahuan secara pasti akan rupa dan fisik Rasul, maka mereka tidak bisa mengklaim secara pasti kebenaran mimpinya. Sehingga sekali lagi, yang bisa dilakukan hanyalah menduga saja, serta menceritakan secara objektif dengan berkata, “Aku tadi malam bermimpi bertemu sosok yang ia mengaku dirinya Rasul”.
Ia tidak bisa berkata, “Tadi malam aku bermimpi bertemu Rasul”
Apalagi dengan ditambahi sumpah, “Demi Allah, tadi malam aku bermimpi bertemu dengan Rasul”.
Klaim dan sumpah seperti di atas hanya bisa dilakukan oleh orang yang hidup sezaman dengan Rasul, atau orang-orang yang tidak hidup sezaman dengan Rasul namun memperoleh taufik dan karomah memiliki pengetahuan secara pasti akan rupa dan fisik asli Rasul.
Selain orang-orang yang ada pada maqom di atas, yang bisa ia lakukan hanyalah menduga, mencocok-cocokkan dengan hadist Nabi akan ciri-ciri fisik Rasul atau menanyakan kepada alim ulama, dan tetap saja hasil akhirnya tetaplah sebatas dugaan saja, bukan klaim apalagi diiringi sumpah. Dugaan tersebut bisa sangat kuat dan bisa sangat lemah tergantung pertimbangan-pertimbangan yang ada.
Tidak bisa dibayangkan, bila yang hadir dalam mimpi kita adalah benar-benar sosok Rasulullah yang mulia.
Karena para sahabat mengatakan, wajah Rasulullah lebih terang dan bersinar ketimbang bulan purnama.
Para ulama ahli kasyaf yang bisa menyingkap tabir gaib mengibaratkan bila wanita-wanita mesir memotong tangannya sendiri ketika melihat ketampanan Nabi Yusuf AS, maka diibaratkan mereka menusuk jantungnya karena melihat ketampanan Rasulullah SAW.
Para sahabat juga bersaksi, bila tidak dipengaruhi oleh dengki, dengan melihat rupa dan fisik Rasulullah saja, manusia akan mengakui bahwa Muhammad adalah Nabi. Bahkan diantara musuh besar beliau yaitu Abu Jahal, pun sebenarnya mengakui bahwa Muhammad adalah Nabi.
Imam Ghozali dalam kitabnya menceritakan rupa dan fisik Rasulullah sedemikian sempurnanya. Rambut, kepala, dahi, mata, bulu mata, hidung, pipi, gigi, bibir, leher, bahu, dada, perut, punggung, kaki, paha, betis, jari jemari, telapak tangan, warna kulit, daging dan tulang, serta penampilan dan cara berjalan, digambarkan dan dideskripsikan sedemikian detail akan keindahan dan kesempurnaannya sebagai ciptaan yang terbaik.
Dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Sang Imam Al hujjatul islam juga dituliskan, bahwa wajah beliau seperti mutiara, keringat beliau lebih harum dari kesturi yang paling harum. Telapak tangan beliau lebih lembut dari sutera dan bila seseorang berjabat tangan dengan beliau, maka sepanjang hari itu ia selalu mendapati bau harum tangannya.
Maka, tidak bisa dibayangkan bila kita bermimpi benar-benar bertemu dengan sosok kebanggaan manusia tersebut dengan ciri-ciri fisik sebagaimana di atas. Tentu tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Itulah kenapa, ulama mengatakan, orang yang benar-benar bermimpi bertemu dengan Rasul, maka akan ada perubahan besar dalam hidupnya secara ukhrowi.
Demikianlah, bahwa secara umum, mimpi bertemu rasul belum tentu ia bertemu dengan Rasul yang sesungguhnya. Memang setan tidak bisa menyerupai Rasul, akan tetapi bisa saja sosok yang ada dalam mimpi tersebut mengaku-ngaku sebagai Rasul, padahal ia bukan Rasul.
Karena kita tidak memiliki pengetahuan secara pasti rupa asli dan fisik Rasul, maka kita tidak bisa terburu-buru mengklaim apalagi bersumpah telah bertemu Nabi, hanya dengan dalil redaksi sabda Nabi diatas tanpa penjelasan ulama sebagaimana di atas.
Yang bisa kita lakukan hanya menduga dan bermohon serta berkhusnudzon bahwa semoga sosok tersebut adalah benar-benar Rasul, dan mimpi tersebut bisa memberikan pengaruh positif secara ukhrowi pada diri kita. Tidak sebaliknya, disamping kita terburu-buru mengklaim, masih kita lanjutkan dengan menceritakan kepada orang lain, apalagi bila dengan niat riya’ yang terselubung yang dibungkus dengan tawadhu’. Sehingga kita makin terjerumus dalam kesalahan. Dengan bersikap demikian, kita mungkin masih belum mampu menyikapi dengan tepat ujian mimpi di atas dan masih harus terus berjuang untuk lolos dari jebakan riya’. Kita seyogyanya berhati-hati dalam hal ini.
Kami tidak bermaksud menasihati Anda supaya jangan riya’, karena kata imam Ghozali, para ulama yg terkenal pun yang tekun beribadah dan bertakwa, banyak tidak mampu mengetahui tipu daya riya’ ini, apalagi orang awwam seperti kita.
Sebagaimana Sabda Rasulullah, “Sesungguhnya yang paling kutakuti di antara apa yang kutakuti atas ummatku ialah sikap riya’ yang tersembunyi yang lebih tersembunyi daripada semut hitam yang merayap di atas batu besar yang hitam pekat pada malam yang kelam”.
Karena sedemikian sulit berlepas diri dari riya’, maka sekali lagi kami tidak bermaksud menasihati Anda untuk tidak riya’, namun kami hanya ingin mengatakan sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ghozali, bahwa riya’ yang bersifat ukhrowi seperti riya’ bertemu Rasul misalnya, lebih tercela daripada tercelanya riya’ dalam hal duniawi. Wallahu alam. (*/Bandung, 26 Desember 2020)