Uncategorized

Niat yang Benar Bisa Jatuh ke Dalam Kesalahan, Bila tidak Diiringi dengan Metode dan Langkah yang Benar Pula

 

Oleh: Adib Gunawan

Praktisi Kesehatan, Pemerhati Masalah Sosial dan Keagamaan

Niat baik berdakwah harus dengan cara dan metode yang benar pula, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ulama M. Fethullah Gulen Hojaefendi yang mengatakan, “Janganlah dirimu menjadi sebab seseorang membenci agamamu, ketika dirimu sedang berdakwah mengabdi kepada agama”.

 

AsSAJIDIN.COM — KETIKA dikatakan kepada seseorang, bahwa apa yang dilakukannya itu salah, dan akibat yang ditimbulkan juga tidak baik, dan ia mengakui akan kesalahan tindakannya itu, tapi orang tersebut masih saja menjawab atau berpikiran, “Ah.. Ya sudahlah tidak apa.. yang penting niatku baik”..,

Maka orang tersebut telah berbuat dua kesalahan sekaligus. Kesalahan pertama adalah karena melakukan tindakan salah itu sendiri. Dan kesalahan yang kedua adalah karena memiliki pemikiran yang salah juga, yaitu beranggapan bahwa dengan niatnya yang baik itu, maka apa yang dilakukannya tetap dinilai sebagai sebuah kebaikan meskipun caranya salah.

Terlebih apabila ia merasa didukung oleh ungkapan, “Sesungguhnya setiap amal bergantung kepada niatnya”.

Sehingga ia semakin merasa bahwa tindakan yang salah masih bisa dinilai sebagai sebuah kebaikan, karena niatnya baik.

Padahal ungkapan, “Sesungguhnya setiap amal bergantung kepada niatnya”, diantaranya memiliki dua pengertian praktis.

Pengertian praktis yang pertama adalah: Meskipun suatu tindakan adalah suatu kebaikan, namun bila niatnya tidak murni karena Allah.. maka ia tidak dianggap telah melakukan amal kebaikan ukhrowi.

Sebagai contohnya adalah hijrah. Hijrah itu baik. Tapi bila niatnya utk memperoleh harta/tahta/wanita di dunia, maka perbuatan hijrahnya tidak dipandang bernilai ibadah yang akan memperoleh balasan pahala di akhirat kelak, melainkan hanya memperolah imbalan duniawi saja sesuai dengan apa yang diniatkannya, entah niat memperoleh harta, atau tahta, atau wanita, atau ketiganya.

Pengertian praktis yang kedua adalah bila seseorang telah berniat melakukan suatu amal kebaikan dan bertekad utk menjalankannya, namun oleh karena terkendala sesuatu yang di luar kemampuannya sehingga ia tidak mampu melakukannya atau tidak mampu menuntaskannya, lantas hatinya merasa pedih dan prihatin karena tidak mampu menjalankan niatnya tersebut, maka dengan niatnya tersebut ia dianggap seperti telah melakukan suatu amal kebaikan tersebut, sehingga akan memperoleh balasannya kelak di akhirat.

Ini adalah 2 pengertian praktis ungkapan di atas.

Jadi, niat adalah barat modal.

Jika modalnya sudah baik, maka jika modal tersebut diputar dengan benar, maka akan mendatangkan keuntungan, dalam hal ini adalah keuntungan ukhrowi.

Namun jika modal tersebut tidak mampu digunakan atau tidak mampu diputar oleh karena terkendala sesuatu di luar kemampuannya, maka setidaknya modal tersebut akan tetap, tidak berkurang, bahkan secara agama karena kemurahan Allah SWT modal tersebut tetap memberikan keuntungan di akhirat kelak.

Itulah diantara pengertian praktis dari ungkapan, “Sesungguhnya setiap amal bergantung kepada niatnya”.

Sedangkan anggapan bahwa, “Tidak peduli langkahnya benar atau salah, tindakannya benar atau salah, metodenya benar atau tidak, yang penting niatnya baik, maka tindakannya tetap dinilai sebagai sebuah amal kebaikan ukhrowi”, itu adalah di luar dari pengertian praktis dari ungkapan, “Setiap amal bergantung kepada niatnya” di atas. Bahkan anggapan tersebut berseberangan dengan pengertian di atas. Anggapan tersebut sama sekali bukan yang dimaksud.

Lihat Juga :  Tata Cara dan Bacaan Niat Salat Tarawih Sendiri di Rumah

Seseorang meskipun niatnya baik, namun jika dalam mewujudkan niatnya tsb ke dalam sebuah tindakan/perbuatan ternyata salah, maka ibarat niat adalah modal tadi, maka modal tersebut berarti tidak diputar dengan benar sehingga alih2 memperolah keuntungan, ia justru akan menimbulkan kerugian. Bahkan, tidak hanya kehilangan modal, ia justru malah bisa bangkrut.

Ya. Niat ibarat modal, sedangkan amal ibarat memutar modal.

Niat yang baik, kemudian diwujudkan dlm sebuah amal yg baik, maka ini sudah jelas sebagai sebuah kebaikan. Karena ini sudah jelas, kiranya tidak perlu dibahas lagi.

Niat yang baik, namun karena terkendala sesuatu di luar kemampuannya sehingga tidak mampu diwujudkan dalam amal perbuatan, lantas ia merasa pedih hatinya dan prihatin dengan kondisi tersebut, maka karena kemurahan Ilahi, modal yang tidak bisa diputar tersebut tetap dinilai sebagai sebuah amal ukhrowi yang akan memperoleh balasannya kelak di hari akhir.

Selanjutnya, amal yang baik, namun tidak dengan niat ukhrowi, maka ia tidak dipandang sebagai sebuah amal kebaikan karena modalnya saja sudah salah secara ukhrowi, maka tentu saja modal tesebut tak dapat diputar secara ukhrowi pula.

Sedangkan ini yang fokus kita bahas kali ini, di mana niat yang meskipun baik, namun tidak diiringi dengan langkah atau metode yang benar dalam mewujudkan niat itu, maka secara kesuluruhan ia tidak bernilai kebaikan secara ukhrowi, malahan ia bisa mendapatkan dosa atas kesalahan amal perbuatannya itu.

Sebagai contoh sederhana, niat memusnahkan tikus sebagai “hama” di lumbung padi, itu merupakan sebuah niat yang bagus. Namun bila caranya adalah dengan tindakan membakar lumbung sehingga baik tikus maupun padinya bahkan rumahnya ikut hangus terbakar, maka perbuatan membakar lumbung tersebut jelas merupakan kesalahan, meskipun niatnya baik.

Contoh lainnya, niat untuk menyehatkan bayi dengan memberi asupan yang maksimal, itu juga merupakan sebuah niat yang baik. Tapi bila untuk niat baik tersebut lantas memberikan bayi berupa daging2 keras, maka perbuatan tersebut bukan sebuah kebaikan. Alih-alin bisa menyehatkan si Bayi, sebaliknya malah bisa mencelakakannya karena perangkat pencernaan dan organ-organ tubuh si bayi belum siap.

Demikianlah. Niat itu memang penting sebagai awal dan landasan, namun ia bukan segalanya, dan tidak berdiri sendiri. Penilaian terhadap niat harus komprehensif dengan bagaimana ia mewujudkan niatnya tersebut, metodenya benar atau tidak.

Ada seorang hartawan yang karena merasa telah mendapatkan limpahan rizki dari Allah SWT, lantas ia berniat bersyukur dengan cara memperbanyak amal ibadah seperti memperbanyak sholat, puasa, baca quran, dzikir, dan ibadah2 sunnah lainnya yang tidak memerlukan biaya. Oleh Imam Ghozali, orang dengan tipe seperti ini termasuk sebagai kategori orang yang terperdaya. Karena menurut Imam Ghozali, seharusnya tidak berhenti di situ saja, rasa syukurnya seharusnya diwujudkan dalam bentuk ibadah membelanjakan hartanya di jalan Allah SWT.

Bila niat baik saja (seperti niat baik berupa niat bersyukur di atas) sudah cukup sebagai sebuah kebaikan, maka Sang Imam Ghozali tidak akan mengatakan, bahwa orang tersebut sebagai orang yang terperdaya.

Contoh lain, dalam hal berdakwah misalnya, niat menyebarkan kalimat Allah kepada sesama, itu merupakan sebuah niat yang baik. Namun bila dalam mewujudkan niat tersebut justru pada hakikatnya malah memperburuk citra agama yang ia anut, dan menyebabkan orang lari dari agama yang ironisnya justru ingin ia sebarkan, maka niat yang baik tersebut justru akan mendatangkan kerugian secara agama oleh karena diwujudkan dengan cara atau metode yang tidak benar.

Lihat Juga :  Mulai Hari ini Berlaku PPKM Level 4 di Empat Kabupaten/Kota di Sumsel

Niat baik berdakwah harus dengan cara dan metode yang benar pula, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ulama M. Fethullah Gulen Hojaefendi yang mengatakan, “Janganlah dirimu menjadi sebab seseorang membenci agamamu, ketika dirimu sedang berdakwah mengabdi kepada agama”.

Demikianlah. Sekali lagi, bahwa niat itu memang penting sebagai awal dan landasan beramal, namun ia bukan segalanya, dan tidak berdiri sendiri, penilaiannya harus komprehensif dengan bagaimana niat baik tersebut diwujudkan dalam sebuah tindakan, metode yang digunakan benar atau tidak.

Sehingga atas niat baik yang telah dikaruniakan oleh Allah SWT kepada kita tersebut, harus kita syukuri dengan memikirkan bagaimana supaya niat baik tersebut diwujudkan dalam sebuah amal perbuatan yang benar pula.

Nah, untuk mengetahui benar tidaknya amal perbuatan, Itulah pentingnya ilmu. Sehingga dikatakan bahwa amal itu tegak di atas ilmu (dan niat yang ikhlas). Diantara pengertian ungkapan diatas adalah niat kita yang sudah baik ikhlas karena Allah harus diwujudkan dengan metode yang benar pula, dengan cara mengetahui ilmunya.

Jangan sampai, niat baik mendakwahkan agama, namun pada hakikatnya justru malah menghambat dakwah itu sendiri. Jangan sampai niat baik ingin menunjukkan kemuliaan agama, namun pada hakikatnya malah justru mencoreng citra agama. Jangan sampai niat membela agama dan nabi, namun pada hakikatnya justru sebaliknya malah (naudzubillah) menistakan agama dan merendahkan nabi. Yang kesemuanya itu disebabkan oleh salahnya langkah atau salahnya metode dalam mewujudkan niat baik tersebut, oleh karena tanpa ilmu.

Dan untuk memperoleh ilmu tersebut, bisa didapat dengan belajar dari kitab2 atau buku2 dari ulama yang saleh baik dari kalangan ulama terdahulu maupun ulama saleh masa kini, atau bertanya langsung kepadanya. Kita berdoa, semoga kita dipertemukan oleh Allah SWT dengan ulama hakiki, ulama yg saleh yang bisa menunjukkan jalan bagaimana metode yang benar dalam mewujudkan niat baik kita. Amin

Selain dengan ilmu, apabila dalam mewujudkan niat baik tersebut terkait dengan orang banyak, dan supaya tetap berada dalam rel kebenaran, maka harus diiringi dengan musyawarah. Tidak akan merugi orang yang bermusyawarah.

Demikianlah.. pembahasan singkat kaitan antara niat dan amal.

Dengan paparan di atas, kita seyogyanya tidak bersembunyi di balik pernyataan, “Ah, masa bodoh.. yang penting niatku sudah betul ikhlas karena Allah”, atas kegegabahan kita dalam mewujudkan niat baik tersebut ke dalam bentuk amal perbuatan yang metodenya salah, sehingga terjerumus dalam kesalahan oleh karena tidak dilandasi oleh ilmu atau musyawarah.

Ya. Niat yang baik namun bila diwujudkan dalam tindakan dengan metode yang tidak tepat, tidak dipandang sebagai sebuah kebaikan.

Malahan seringkali, amal perbuatan atau sikap yang ternyata salah, seringkali disebabkan oleh niat kita yang ternyata tidak lurus atau tidak ikhlas yang tidak disadari. Inilah kenapa kita diajak utk, “Mari, memperbarui niat”.

Wallahu alam.(*)

Back to top button