Ingat !!! Kredit Mengatasi Masalah dengan Masalah Baru

ASSAJIDIN.COM PALEMBANG – Mafhum kiranya kredit sudah membelenggu kehidupan umat islam. Sepertinya sulit sekali untuk keluar dari cengkraman kredit dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup keluarga muslim. Tak berlebihan bila dikatakan setiap kebutuhan ekonomi tidak lepas dari pengaruh kredit. Padahal sudah jelas dan tegas kredit idtentik dengan riba.
Allah SWT, Tuhan yang memberikan kehidupan manusia ini, telah mengharamkan riba sejak dahulu kala. Hal ini telah ditegaskan dalam Firman Allah Swt pada Q.S. Al-Baqarah: 275 yang artinya Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Bahkan banyak hadist Nabi Muhammad SAW menerangkan hal ini, salah satunya adalah Hadis Riwayat Al Baihaqy, dari Anas bin Malik , Nabi SAW pernah bersabda, “ Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang dari (perbuatan) riba lebih besar dosanya 36 kali daripada perbuatan zina di dalam Islam (setelah masuk Islam). Oleh karena itu, Allah SWT melaknat orang yang melakukan riba.
Mengacu pada larangan riba tersebut maka seharusnya umat Islam dapat menghindari segala sesuatu yang berurusan dengan riba salah satunya adalah kredit. Untuk diketahui saat ini banyak cara yang dilakukan orang memperdaya riba dengan bahasa yang lebih santun. Hal ini dapat dengan mudah dijumpai, baik dalam pesan-pesan promosi, pamflet, spanduk dan sejenisnya dipinggir jalan, di tembok-tembok, tiang listrik atau pohon-pohon yang berjajar hampir di setiap sudut kota. Prinsip dari pesan itu adalah kemudahan mendapatkan pinjaman, mengatasi masalah ekonomi dengan masalah baru. Begitu kata Ustadz Nur Hadi, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Fattah, Palembang membuka perbincangan bersama As SAJIDIN beberapa waktu lalu.
“ Kalau mau jujur, sebenarnya persoalan riba di masyarakat kita ini seperti mata air yang selalu mengalir. Karena diakui atau tidak transaksi-transaksi ribawi sudah sangat mengakar dalam masyarakat kita dan celakanya banyak orang merasa bangga dengan berkredit. Mula-mula dengan alasan , kalo idak kredit dak pacak samo dengan wong.. Padahal, disadari atau tidak, pernyataan seperti itu sudah mencerminkan untuk memaksakan diri demi gaya hidup bukan lagi kebutuhan,” ungkapnya.
Disinggung mengenai maraknya antusiasme masyarakat terhadap produk-produk jasa keuangan konvensional yang menawarkan Kredit Pembiayaan Kendaraan Bermotor (KKB) dan kredit Pembiayaan Rumah (KPR) yang lagi trend di tahun ini, Ustadz Adi mengajak umat Islam untuk tidak ikut-ikutan terjebak dalam nuansa ribawi yang ada di dalamnya. Ini artinya, kaum kapitalis berhasil menina-bobokan kaum muslimin dengan layanan pinjaman dan penyimpanan sistem bunga.
Sebenarnya banyak sekali peringatan yang datang kepada umat Islam untuk menjauhi riba, diantaranya ada Firman Allah SWT dalam QS : Albaqarah ayat 275, 278-281 dan Hadis Nabi SAW. Bahkan diantaranya, Hadis Riwayat Al Hakim yang mengutarakan bahwa, “Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah SWT.”
“ Jujur dalam dunia modernisasi sekarang ini, masih banyak yang tidak memperdulikan lagi masalah halal dan haramnya bunga bank, termasuk kaum Uuslimin. Sebab banyak dari kaum Muslimin yang justru menikmati sistem kehidupan Sekularisme-Kapitalisme. Senang atau tidak, butuh atau tidak atas semua itu, yang pasti kita janganlah sampai memaksakan diri untuk berhutang, meskipun dengan berkredit. Toh, sudah jelas larangan untuk itu,” imbau ustadz Nur Hadi.
Menyikapi fenomena menjamurnya jasa keuangan yang menawarkan praktek riba atas nama kredit baik itu KKB maupun KPR, Ustadz Amran Anwar, SE, Dewan Syariah Al Furqon Palembang berpendapat, kalau bisa jangan sampai berhutang namun jika terpaksa dan mendesak seharusnya umat Islam dapat memilih produk syariah yang jelas hukumnya diatur oleh agama.
“ Hukumnya jelas, jasa keuangan yang didalamnya terdapat unsur riba adalah haram. Sejauh ini, konvensional tersebut pada praktiknya menggunakan sistem bunga dan berprioritas pada keuntungan. Sementara syariah adalah jasa keuangan yang tidak menggunakan sistem bunga melainkan bagi hasil. Namun harus diakui pula, kebutuhan umat Islam atas kendaraan dan rumah ini memang sesuatu hal yang mendesak. Nah, disini seharusnya ekonomi syariah ikut ambil peran. Namun celakanya, kebanyakan kita ini paham riba itu haram, tapi masih nak beguyur,” ujarnya.
Perlu untuk diketahui sambung Ustadz Amran, riba sama artinya haram karena merupakan sikap penindasan (dzolim) yang dinilai hanya menguntungkan satu belah pihak saja. Oleh sebab itu, kita sebagai seorang muslim dianjurkan untuk tidak berhutang. Bahkan Aisyah ra -istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, mengabarkan bahwa Rasulullah selalu berdoa di dalam shalatnya, “ Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari siksa kubur, aku meminta perlindungan pada-Mu dari cobaan Al Masih Ad Dajjal, aku meminta perlindungan pada-Mu dari musibah ketika hidup dan mati. Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari perbuatan dosa dan berhutang (HR. Bukhari no. 832 dan Muslim no. 589).
“ Menurut bahasa “riba” berarti tambah dan tumbuh. Sebagian ulama membagi riba menjadi dua, yakni riba yang terjadi dalam akad hutang piutang murni dan riba yang terjadi sebagai akibat dari akad jual beli (perdagangan). Riba dalarn hutang piutang dinamakan dengan riba nasi’ah, sedangkan riba dalam jual beli masih terbagi lagi menjadi dua, yakni riba fadldan riba nasa’. Riba fad1 adalah tambahan kuantitas atas salah satu pihak dalam transaksi pertukaran (barter) yang dilakukan secara tunai, sedangkan ribanasa’ adalah riba yang terjadi dalam transaksi jual beli (atau barter) karena penundaan pembayaran atau penyerahan barang yang dilakukan oleh salah satu pihak. Para ulama umumnya memandang bahwa riba, baik yang terjadi dalam hutang piutang maupun yang terjadi dalam jual beli, hukumnya haram dan oleh karenanya harus dijauhi,” tutupnya.
Reporter : Jemmy saputera
Editor : Aspani Yasland