Uncategorized

Pemimpin Itu Tak Boleh Ingkar Janji

Setiap calon pemimpin publik, baik legislatif, yudikatif, maupun eksekutif harus memiliki kompetensi (ahliyyah) dan kemampuan dalam menjalankan amanah tersebut

 Oleh: H. Bangun Lubis [ Pemimpin Umum ASSAJIDIN.Com ]

PEMIMPIN – Sejarah menunjukkan bahwa para pemimpin selalu saja ada yang kurang komitmennya terhadap masyarakat, tetapi tak sedikit tentunya yang baik dan komitmen besar terhadap rakyatnya.

ASSAJIDIN.COM – Seorang pemimpin sejati tidak akan pernah ingkar janji, baik pada janji yang diucapkannya secara sadar kala menerima amanah jabatan (pelantikan) lebih-lebih janji yang dilontarkan kepada rakyat secara langsung lewat lisannya sendiri.

Nilai utama seorang manusia terletak pada konsistensinya menepati janji (jujur). Jika tidak, maka ia terkategori sebagai seorang yang munafik. Yaitu suatu karakter yang melekat pada diri seseorang yang memang tidak punya komitmen terhadap kebenaran, ia bisa jadi pendusta. Pemimpin haruslah menepati janjinya.

Hal ini sebagaimana disabdakan Nabi, “Tanda orang munafik itu ada tiga. Apabila berkata ia dusta, apabila berjanji ia meningkari, apabila diberikan amanah (diberi kepercayaan) ia mengkhianati.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dan, orang munafik seperti itu bukan saja merusak dirinya sendiri tetapi juga menebar bahaya pada orang lain, lebih-lebih jika sifat tercela itu ada pada diri seorang pemimpin.

لاَتَعْتَذِرُواْقَدْكَفَرْتُمبَعْدَإِيمَانِكُمْإِننَّعْفُعَنطَآئِفَةٍمِّنكُمْنُعَذِّبْطَآئِفَةًبِأَنَّهُمْكَانُواْمُجْرِمِينَ

“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah [9]: 67).

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa orang munafik adalah orang yang telah keluar dari kebenaran dan secara sadar memasuki jalan kesesatan. Oleh karena itu, tempat bagi orang munafik adalah neraka Jahannam. (QS. At-Taubah [9]: 68).

Untuk itu, seorang pemimpin perlu senantiasa waspada terhadap segala kemungkinan yang menjadikan hatinya lemah apalagi lengah, sehingga pelan namun pasti dirinya justru menjadi beban rakyat banyak karena sifat munafik di dalam dirinya sendiri.

Lihat Juga :  Seikhlasnya Saja, Kalau Diberi Alhamdulillah, Pak "Ogah" Ibarat Buah Simalakama

Agar terhindar dari ketidak jujuran, seorang pemimpin mestinya sudah tidak lagi memelihara impian untuk hidup dengan bergelimang kekayaan. Pemimpin seharusnya berpikir bagaimana berkarya dan bekerja untuk rakyatnya. Karena dengan itulah ia benar-benar akan bisa memberikan manfaat bagi kehidupan.

Pemimpin Indonesia

Di Indonesia ada criteria yang dibuat oleh MUI. Isi lengkap Fatwa MUI dari Keputusan Komisi A tentang Masalah Strategis Kebangsaan (Masail Asasiyah Wathaniyah) dalam Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V tahun 2015 tentang Kedudukan Pemimpin yang Tidak Menepati Janjinya yang disampaikan Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni’am Shaleh dalam keterangan tertulis, Jumat (12/6/2015):

1. Pada dasarnya, jabatan merupakan amanah yang pasti dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Swt. Meminta dan/atau merebut jabatan merupakan hal yang tercela, apalagi bagi orang yang tidak mempunyai kapabilitas yang memadai dan/atau diketahui ada orang yang lebih kompeten. Dalam hal seseorang memiliki kompetensi, maka ia boleh mengusulkan diri dan berjuang untuk hal tersebut.

2. Setiap calon pemimpin publik, baik legislatif, yudikatif, maupun eksekutif harus memiliki kompetensi (ahliyyah) dan kemampuan dalam menjalankan amanah tersebut.

3. Dalam mencapai tujuannya, calon pemimpin publik tidak boleh mengumbar janji untuk melakukan perbuatan di luar kewenangannya.

4. Calon pemimpin yang berjanji untuk melaksanakan sesuatu kebijakan yang tidak dilarang oleh syariah, dan terdapat kemaslahatan, maka ia wajib menunaikannya. Mengingkari janji tersebut hukumnya haram.

5. Calon pemimpin publik dilarang berjanji untuk menetapkan kebijakan yang menyalahi ketentuan agama. Dan jika calon pemimpin tersebut berjanji yang menyalahi ketentuan agama maka haram dipilih, dan bila ternyata terpilih, maka janji tersebut untuk tidak ditunaikan.

6. Calon pemimpin publik yang menjanjikan memberi sesuatu kepada orang lain sebagai imbalan untuk memilihnya maka hukumnya haram karena termasuk dalam ketegori risywah (suap).

Lihat Juga :  Bagaimana Solusinya, Ingin Keluar dari Riba, namun Masih Punya Angsuran di Bank?

7. Pemimpin publik yang melakukan kebijakan untuk melegalkan sesuatu yang dilarang agama dan atau melarang sesuatu yang diperintahkan agama maka kebijakannya itu tidak boleh ditaati.

8. Pemimpin publik yang melanggar sumpah dan/atau tidak melakukan tugas-tugasnya harus dimintai pertanggungjawaban melalui lembaga DPR dan diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

9. Pemimpin publik yang tidak melaksanakan janji kampanyenya adalah berdosa, dan tidak boleh dipilih kembali.

10. MUI memberikan taushiyah bagi pemimpin yang mengingkari janji dan sumpahnya.

Selain itu, kita perlu belajar pada apa yang dilakukan sahabat Nabi, mereka tidak hina hanya karena hidup sederhana. Justru sebaliknya, setiap zaman memuja dan memuliakan mereka, membanggakan mereka, menyebut-nyebut mereka. Bukan tunggangannya, pakaiannya dan makanannya, tetapi kesederhanaannya dan kepeduliannya yang nyta terhadap derita rakyatnya.

Mereka tidak sibut membangun citra, tetapi memperbanyak kerja nyata. Seorang Umar bin Khaththab pemimpin tertinggi kala itu tidak melewati malam harinya, melainkan berpatroli mencari rakyatnya yang kesulitan, lalu ia turun tangan dan mengatasinya dengna kekuatan dirinya.

Semua itu dilakukan karena rasa tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin. Menarikna, meski Umar tidak pernah membayar awak media, kemuliaan beliau yang mau bekerja secara nyata untuk rakyatnya ini tak pernah terhapus oleh pergiliran zaman.

Dengan demikian, untuk apa jadi pemimpin jika niatnya tidak ingin menepati janji? Selain akan dikutuk dan dilaknat oleh rakyatnya sendiri, Allah dan Rasul-Nya juga akan melaknat. Sungguh, kerugian yang tiada tara. Dan, kemunafikan tidak mungkin dipelihara, melainkan oleh orang yang rusak dan atau mungkin bahkan sudah tidak lagi beriman.(*)

 

 

Back to top button