MUSLIMAH

Kisah Safanah, Penyampai Hidayah yang Dermawan

ASSAJIDIN.COM — Suatu saat, sebuah dialog terjadi antara seorang anak perempuan dan ayahnya. Percakapan ini berlangsung setelah sang anak menghibahkan unta pemberian ayahnya kepada orang lain. “Wahai putriku, bila dua orang yang mulia berkumpul menguasai harta maka niscaya akan cepat habis. Bagaimana bila harta itu saya pegang dan kamu berdiam diri atau kamu yang pegang hingga tak tersisa apa pun?” kata sang ayah.

Dengan penuh santun dan kedewasaan, anak perempuan itu menjawab, “Saya tidak berkenan memegang harta.” Ayahandanya menimpali serupa. Keduanya sepakat tidak ingin mendominasi pengelolaan harta. Akhirnya, mereka mufakat untuk membagi rata. Semuanya berjalan wajar dan harta mereka dikelola secara proporsional.

Perbincangan itu merupakan penggalan dialog antara Hatim ath-Thai dan putrinya, Safanah. Baik ayah ataupun putrinya sama-sama dikenal dermawan dan berhati emas. Mengingatkan pada sebuah pepatah, yaitu buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Perangai anak sedikit banyak akan terpengaruh dengan tabiat dan karakter orang tua. Berapapun kadarnya, kebaikan ataupun keburukan seseorang bisa dari perilaku ayah atau pun ibunya.

Ini setidaknya juga terbukti sepanjang sejarah hidup manusia. Safanah lahir dari keluarga pembesar suku Thai. Garis keturunannya dikenal dengan keluarga ningrat. Ia memiliki nama lengkap Safanah binti Hatim bin Abdullah bin Sa’ad bin al Hasyraj bin Imri’ al-Qais bin Addi bin Akhzam bin Rabiah bin Jarwal bin Tsa’al bin Amar bin al-Ghauts bin Tha’ ath-Thai.

Lihat Juga :  Kisah Penyesalan Seorang Pedagang Ikan

Lahir di lingkungan yang berlimpah harta dan kebahagian tak membuatnya tumbuh sebagai sosok angkuh dan sombong. Ini tak terlepas dari keteladanan yang dicontohkan oleh Hatim. Ayahnya tersebut tersohor dengan kedermawanannya. Namanya bahkan disebut-sebut sebagai ikon filantropi ketika itu.

Soal kedermawanan, Hatimlah jagonya. Nasihat soal kebaikan maka Hatim dijadikan sebagai repersentasi. “Akrim min Hatim”, berbuatlah kemuliaan lebih baik dari Hatim. Abu Safanah, demikian sapaan ayahnya yang merujuk pada status putri pertamanya itu, tak dibuat gelap oleh gemerlap dunia. Ia sering menyediakan hidangan baik bagi tamu atau siapa pun membutuhkan meskipun tak jarang kebaikannya itu menomorduakan keluarganya. Selain dikenal baik hati, Abu ‘Addi, demikian dijuluki dengan nama anak keduanya Addi, piawi menyusun kata, frase dan bermain kosakata. Ia adalah penyair andal. Rasulullah SAW mengakui keluhuran pekerti Ayah Safanah.

Tatkala Safanah menceritakan perihal sosok sang ayah kepada Nabi, Rasul memberikan komentar luar biasa. “Wahai anak perempuan, semua sifat yang dimiliki ayahmu sejatinya adalah karakter Mukmin yang sebenarnya. Seandainya ayahmu Muslim, kita akan sangat menyayanginya. Tinggalkan Safanah karena ayahnya menyukai pekerti luhur dan Allah SWT juga mencintai hal yang sama.”

Namun sayang, sampai mengembuskan nafas terakhirnya pada 46 Hijriah, Abu Safanah belum memeluk Islam. Ia adalah figur panutan. Parasnya cantik dan berkulit putih. Postur tubuhnya tinggi. Gaya bicaranya lugas, fasih, santun, dan komunikatif. Kepercayaan dirinya tinggi dan bangga berbagi derma. Kecintaannya terhadap tanah kelahiran sangat tinggi. Dikisahkan, ia kerap mengawasi delegasi yang hendak pergi ke Madinah, seraya berharap, kelak ia akan kembali ke sana. Kisah peralihannya sebagai Muslimah kembali pada peristiwa penawanan Suku Thai. Safanah tampil ke hadapan Rasulullah berdiplomasi agar ia dilepaskan. Ia mengatakan, “Wahai Muhammad, jika engkau melepaskanku maka engkau tidak akan dicaci maki oleh pembesar Arab. Karena, aku adalah putri pemimpin kaum. Ayahku kerap membantu orang yang kesusahan, melindungi kaum lemah, melayani tamu, memberi makan orang kelaparan, menyelesaikan masalah, menebar salam, dan tidak pernah menolak siapa pun yang meminta bantuan. Aku putrid Hatim ath-Thai.” Rasulullah menyuruh agar ia dibebaskan. Nabi memuji ketinggian pekerti ayahnya. “Seandainya ia Islam kita amat menyayanginya,” sabda Rasulullah. Kebaikan hati Rasulullah mengetuk hatinya. Saat rombongan pendeta dari kaumnya datang, Rasul memberikan Safanah pakaian dan menyerahkan uang bekal. Ia berikrar syahadat lalu kembali ke Syam. Sesampainya di Syam, ia menghadap saudaranya, Addi. Saudaranya itu, penasaran dan bertanya-tanya seperti apakah sosok Rasulullah. Safanah menjawab, “Aku melihat demi Allah, kamu harus segera mendatanginya.

Lihat Juga :  LELAH YANG DISUKAI ALLAH

Jika lelaki ini adalah seorang nabi maka siapa pun yang pertama mendatanginya akan memperoleh keutamaan.” Peristiwa ini merupakan momen terpenting dalam sejarah sukunya. Cerita Safanah tentangan Muhammad, membawa hidayah bagi saudara dan segenap kaumnya. Ialah penyampai hidayah yang dermawan.(*/sumber: republika.co.id)

Back to top button