SYARIAH

Kapan Orang yang akan Berkurban Memulai Niatnya?

ASSAJIDIN.COM — Kapan orang yang hendak berkurban itu memulai niatnya?

Pada dasarnya niat dalam berkurban dilaksanakan saat penyembelihan hewan kurban. Jika penyembelihan hewan tersebut diwakilkan kepada orang lain dan orang yang berkurban sudah berniat dalam hatinya bahwa ia hendak berkurban, maka niatnya sudah sah walaupun nanti saat penyembelihan, tukang jagal tidak lagi niat dengan niat khusus. Bahkan seandainya penyembelih hewan kurban tidak tahu sekalipun, kurbannya tetap sah.

وإذا وكل به كفت نية الموكل، ولا حاجة لنية الوكيل، بل لو لم يعلم أنه مضح لم يضر

Artinya: “Apabila seseorang mewakilkan penyembelihan kurban, maka cukup niatnya orang yang mewakilkan saja. Tidak dibutuhkan niatnya orang yang menerima perwakilan (penyembelih), bahkan meskipun apabila penyembelih tidak mengetahui bahwa yang disembelih merupakan hewan kurban sekalipun, tidak menjadi menjadi masalah,” (Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatho Ad-Dimyathi, I’anatuht Thalibin, [Darul Fikr: cet I, 1997], juz 2, halaman 379-380).

Sebagian ulama ada yang berpandangan lain. Niat bagi orang yang mewakilkan penyembelihan hewan kurbannya kepada orang lain bisa dilakukan saat menyerahkan atau saat penyembelihan. Ada sebagian kecil pendapat ulama yang justru menganggap tidak sah apabila niatnya hanya saat menyerahkan saja.

Kemudian ada ulama yang menengahi perbedaan pandangan tersebut dengan memberikan batasan: apabila orang yang berkurban belum pernah niat sama sekali, maka niat tetap harus dijalankan oleh pelaksana penyembelihan hewan kurban.

Lihat Juga :  Adab Ziarah Kubur

(وَإِنْ وَكَّلَ بِالذَّبْحِ نَوَى عِنْدَ إعْطَاءِ الْوَكِيلِ) مَا يُضَحَّي بِهِ (أَوْ) عِنْدَ (ذَبْحِهِ) التَّضْحِيَةَ بِهِ، وَقِيلَ: لَا تَكْفِي النِّيَّةُ عِنْدَ إعْطَائِهِ وَلَهُ تَفْوِيضُهَا إلَيْهِ أَيْضًا وَفِي الرَّوْضَةِ كَأَصْلِهَا يَجُوزُ تَقْدِيمُ النِّيَّةِ عَلَى الذَّبْحِ فِي الْأَصَحِّ الْمَبْنِيِّ عَلَيْهِ جَوَازُهَا عِنْدَ إعْطَاءِ الْوَكِيلِ فَيُقَيَّدُ اشْتِرَاطُهَا عِنْدَ الذَّبْحِ بِمَا إذَا لَمْ تَتَقَدَّمْهُ

Artinya: “Apabila ada orang mewakilkan penyembelihan kurban, maka niatnya bisa pada saat menyerahkan hewan kurban atau pada saat menyembelihnya. Menurut sebagian pendapat, tidak cukup niat saat menyerahkan saja. Bagi orang yang berkurban juga harus menyerahkan tentang niatnya nanti sekalian.

Dalam kitab Ar-Raudhah sebagaimana disebutkan dalam kitab aslinya dikatakan, boleh mendahulukan niat sebelum penyembelihan berlangsung menurut pendapat yang paling shahih dengan berdasarkan pada pendapat yang memperbolehkan niat pada saat penyerahan hewan kepada panitia. Dengan demikian, niat dalam penyembelihan tersebut menjadi syarat mutlak apabila memang dari orang yang mewakilkan belum niat sama sekali.” (Qalyubi dan Amirah, Hasyiyah Qalyubi wa Amirah, [Darul Fikr: Beirut, 1995], juz 4, hal. 254).

Lihat Juga :  Berkurban atas Nama Instansi atau Sekolah, Bagaimana Hukumnya?

Jika melihat realitas masyarakat Indonesia yang sekarang ini, tampaknya sangat jarang terjadi orang saat menyerahkan uang—baik melalui transfer maupun tunai—atau menyerahkan hewan secara langsung, tidak terbersit sama sekali dalam hatinya untuk berkurban. Bila demikian, ketika panitia penerima kemudian mengirimkan hewan tersebut ke daerah tertentu dengan berpijak pada ulama yang memperbolehkan dan di sana penerima kedua tidak mengetahui secara detail ini kurban dari A, B, C dan lain sebagainya, maka hukum penyembelihan tetap sah. Niat cukup dilakukan orang yang menunaikan kurban, dan cukup dilaksanakan saat penyerahannya saja.

Masyarakat yang hidup di lingkungan dengan jatah hewan kurban melimpah tentu perlu juga memikirkan masyarakat lain yang bisa jadi dalam satu desa hanya terdapat satu kambing kurban saja. Hal ini sangat baik untuk diperhatikan. Lebih bagus lagi, tidak hanya hewan kurbannya yang sampai ke sana, tapi sekaligus orangnya turut menyaksikan. Hal ini mendapatkan kesunnahan tersendiri.

وأنه يستحب حضور المضحي أضحيته ولا يجب

Artinya: “Orang yang berkurban disunnahan hadir saat penyembelihan meski (hal tersebut) tidak wajib,” (Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’ânatuth Thâlibîn, [Darul Fikr, cet I, 1997], juz 2, hal 381). Wallahu a’lam. (*/Sumber : nu online)

Back to top button