SYARIAH

Doa yang tidak Sopan, Seperti Apa?

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
ASSAJIDIN.COM — Ada doa yang lebih patut kita sambut dengan istighfar daripada mengucapkan “aamiin”. Ada do’a yang kita lebih layak kita tangisi dengan tangisan risau daripada kita sambut dengan pengharapan. Kita memohon ampun kepada Allah Jalla wa ‘Ala atas do’a-do’a tersebut. Do’a apakah itu? Dialah do’a yang tidak sopan.
Do’a seperti apa yang tidak sopan itu? Ia berdo’a, tapi meninggalkan sikap tadharru’ (merendahkan diri) di hadapan Allah Ta’ala. Ia berbangga diri. Atau ia membanggakan orang-orang yang hadir mengaminkan doanya atau salah satu di antara yang hadir. Padahal semestinya semua tunduk merendah di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla memohon karunia-Nya.
“Ya Allah…. Hari ini kami berkumpul di sini, Ya Allah… Dari kader-kader terbaik di antara orang-orang pilihan untuk mengikuti serangkaian workshop. Mereka inilah agen-agen perubahan yang akan menolong generasi penerus agama-Mu, ya Allah…”
Doa seperti apa yang tidak sopan itu? Ia berdo’a, tapi meninggalkan adab-adab dalam berdo’a. Ia meminta kepada Allah Yang Maha Mengetahui, tetapi kepada-Nya ia bersikap seolah lebih mengetahui atau bahkan serasa memberi kuliah. Ia memohon kepada Allah Yang Maha Besar, tetapi ke hadapan-Nya ia meninggikan dan membesarkan orang-orang yang hadir. Ini misalnya yang kerap terjadi dalam berbagai seminar maupun acara-acara formal, semisal:
“Ya Allah, sesungguhnya di dalam riset terbaru telah ditunjukkan…”
Atau:
“Ya Allah… limpahkanlah ilmu kepada kami. Mampukanlah kami menyerap semua yang disampaikan oleh narasumber kami, seorang pakar kaliber nasional…”
Inilah do’a yang meninggikan diri. Padahal seharusnya kita menundukkan hati dan kesempurnaan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Mengetahui. Kita mengakui sekaligus menunjukkan pengakuan bahwa Allah Ta’ala lebih mengetahui tentang kita daripada diri kita sendiri. Sungguh, Allah Maha Bijaksana.
Dari Abu Musa al-Asy’ari, dari Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau senantiasa berdo’a dengan do’a berikut:
Semoga Allah mengampuni dosa-DOSA SAYA DAN KETIDAKTAHUAN saya, dan apa yang anda ketahui dari saya, Allah, ampunilah saya, kakek saya, rumah saya, dan semua yang saya miliki, Allah, ampunilah saya, apa yang telah saya berikan, apa yang telah saya lakukan dan apa yang telah saya kerjakan dan apa Apa yang anda tahu tentang saya, Anda adalah Kolonel Dan Anda di atas segala sesuatu yang dihargai.
“Ya Allah, berikanlah ampunan kepadaku atas kesalahan-kesalahanku, kebodohanku, serta sikap berlebihanku dalam urusanku dan segala sesuatu yang Engkau lebih mengetahuinya daripada diriku.
Ya Allah, berikanlah ampunan kepadaku atas keseriusanku dan candaku, kekeliruanku dan kesengajaanku, semua itu ada pada diriku. Ya Allah, berikanlah ampunan kepadaku atas apa-apa yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan, apa-apa yang aku sembunyikan dan yang aku tampakkan, serta apa-apa yang Engkau lebih mengetahui daripada aku.
Engkaulah Yang Maha Mendahulukan (hamba kepada rahmat-Mu) dan Yang Maha Mengakhirkan. Engkaulah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Apa pelajaran yang dapat kita petik dari do’a yang senantiasa dimohonkan oleh Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam tersebut? Sikap tadharru’; merendahkan diri di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla seraya mengakui keagungan-Nya. Dan ini merupakan adab berdo’a yang sangat penting. Bukan meninggi-ninggikan diri, bukan bersikap seolah memiliki pengetahuan yang sempurna di hadapan Allah Ta’ala.
Miris sekali rasanya mendapati betapa semakin banyak orang-orang yang berdo’a tanpa menjaga adabnya kepada Allah Rabbul ‘Alamin. Terlebih jika yang melakukannya justru mereka yang disangka sangat memahami agama, atau memang sungguh memahami agama, tetapi ia melalaikan adab kepada-Nya. Lebih parah lagi jika disertai musik Kitaro hanya karena ingin membangkitkan kesan mendalam pada diri orang-orang yang hadir untuk mengaminkan do’anya.
Inilah di antara do’a sangat tidak sopan yang kadang saya temui di berbagai forum. Saya tidak menyebut contoh secara persis. Tapi kandungan maknanya serupa atau mendekati itu. Sebagiannya bahkan diiringi musik semenjak tukang do’a beranjak menuju mimbar, selama berdo’a hingga kembali ke tempat duduk. Semakin lengkap ketidaksopanan itu manakala demi terdengar indah, ia memaksakan diri bersanjak-sanjak dalam berdo’a sehingga mengabaikan makna, melalaikan apa yang sesungguhnya ingin dimintakan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tidak jarang, iringan musik ini mengikuti lantunan do’a dengan suara yang dikeras-keraskan. Sungguh, sangat berbeda orang yang menggunakan pengeras suara sekedar agar yang paling belakang mendengarkan suaranya dengan orang yang mengeras-ngeraskan suaranya agar menimbulkan efek yang dramatis. Yang pertama, ia tetap dapat melantunkan do’a dengan merendahkan dirinya di hadapan Allah Ta’ala seraya bersuara dengan lembut. Sementara yang kedua, ia mengeras-ngeraskan suara demi mengaduk-aduk emosi pendengarnya. Mungkin di antara hadirin ada yang menangis, tetapi ini bukanlah khusyuk. Bukan tunduknya hati. Ini sekedar emosi yang meledak-ledak, teraduk-aduk.
Marilah sejenak kita ingat seruan Allah ‘Azza wa Jalla terhadap kita tatkala berdo’a kepada-Nya:
Berdoa kepada Tuhan sebagai doa dan tersembunyi, dia tidak suka para penyerang
“Berdo’alah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf, 7: 55).
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Urwah bin Zubair –seorang tabi’in– dan berbagai kalangan ulama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan melampaui batas ialah bersanjak-sanjak dalam berdo’a. Ibnu Juraij menyatakan, “Di antara bentuk pelanggaran adalah meninggikan suara, panggilan, do`a dan teriakan. Padahal, mereka diperintahkan untuk tunduk dan merendahkan diri.”
Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan:
Hai orang-orang, rbʿwạ pada diri anda sendiri, anda tidak membiarkan tuli dan tidak pergi, dia dengan anda, dia mendengar dekat
“Wahai manusia, kasihanilah diri kalian. Sesungguhnya kalian tidak menyeru Dzat yang tuli dan tidak ada. Sesungguhnya Allah bersama kalian. Dia Maha mendengar lagi Maha dekat.” (HR. Bukhari).
Kacau Makna Karena Rima
Di antara do’a yang tidak sopan adalah, seseorang memohon kepada Allah Ta’ala tanpa mendahuluinya dengan pepujian kepada-Nya serta permohonan ampunan. Padahal lapang waktunya, panjang masanya. Bukan ucapan do’a spontan saat bertemu seseorang, lalu mendo’akannya. Bukan do’a saat hendak makan. Tetapi ini do’a yang dilantunkan seusai shalat.
Termasuk yang tidak sopan adalah do’a yang disusun sendiri, tetapi kacau makna karena mementingkan rima, mengutamakan keindahan. Atau ia memaksakan diri dalam berdo’a agar sesuai dengan acara yang untuk itu ia diminta memimpin do’a. Ia menghindari ittiba’ (meneladani, mengikuti Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam), lalu merangkai kalimat yang tak jelas maknanya.
Do’a jenis ini, misalnya (sekedar menyebut contoh):
“Ya Allah Yang Maha Kuasa, usai sudah paparan yang kita semua telah mendengarnya dengan seksama. Berat rasanya tugas sebagai orangtua di tengah tantangan yang semakin menggila. Maka, dengarkanlah do’a-do’a hamba yang masih setia untuk berkumpul bersama.
Ya Allah Yang Maha Bijaksana, semoga anak-anak kita menjadi anak-anak yang cerdas dan memiliki karakter luar biasa….”
Ini hanyalah sekedar contoh do’a yang sangat tidak sopan. Mungkin yang memimpin do’a inginnya turut menasehati para peserta, tetapi ia lalai memasukkannya ke dalam do’a. Tanpa sadar ia melakukan kesalahan yang sangat fatal, sekurangnya pada dua perkara. Pertama, penggunaan kata kita yang dalam bahasa Indonesia berarti melibatkan pihak pertama dan pihak kedua yang dalam hal do’a berarti Allah Ta’ala. Ini berbeda dengan kata kami yang merupakan kata ganti orang pertama jamak. Kesalahan fatal ini terjadi karena yang memimpin do’a bersikap takalluf (memaksakan diri). Kedua, sangat tidak tepat menggunakan kata semoga saat berdo’a kepada Allah Ta’ala. Seharusnya ia memohonkan pinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla, semisal, “Ya Allah, berikanlah kepada kami….”
Jika kita mengatakan kepada seseorang, “Semoga rezekimu barakah”, maka kita sesungguhnya sedang mengharapkan pertolongan Allah Ta’ala agar menjadikan rezeki orang tersebut barakah. Lalu, kalau kita berbicara kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saat berdo’a dengan mengatakan “semoga”, kepada siapakah sesungguhnya kita berharap.
Astaghfirullah… Semoga Allah Ta’ala mengampuni kita semua. Semoga kita terjauhkan dari hal-hal yang demikian. Sudah saatnya kita mempelajari agama kita dari sumber agama kita sendiri.(*/sumber: artikel facebook bekam center)
Back to top button