NASIHAT

Belajar dari Kematian Orang-orang Sholeh

ASSAJIDIN.COM — Kuburanku itu kelak akan diluaskan sehingga setiap sudut akan dilebarkan menjadi 40 hasta. Dari ruangan itu, akan dibukakan kepadaku pintu-pintu surga. Di sana aku akan melihat rumahku dan istri-istriku. Kenikmatan-kenikmatan surgawi disiapkan untukku. Lalu, pada hari ini, tempatku di surga itu aku hadiahkan kepada keluargaku.

Aku akan mendapatkan kesegaran dan aroma wewangian yang semerbak hingga kelak aku dibangkitkan. Dan jika kejadiannya lain, kuburanku disempitkan sampai tulang rusukku terjepit, sampai-sampai ukuran kuburkanku lebih sempit daripada sekian saja.

Pintu-pintu neraka jahanam telah dibukakan kepadaku. Di situ, aku akan melihat tempatku dan aneka siksaan yang dipersiapkan Allah kepadaku, berupa rantai-rantai, belenggu, dan teman-teman yang buruk. Pada hari itu, aku akan merasakan kepanasan sampai kelak aku dibangkitkan.” Abu Musa al-Asy’ari mengingatkan kita bahwa kematian pasti terjadi dan hanya dua kondisi yang akan dialami manusia kelak: kebahagiaan atau kesengsaraan.

Lihat Juga :  Menjadi Pribadi yang Ihsan

Ia merenungi itu untuk diri sendiri, juga untuk orang-orang di sekitarnya yang masih muda-muda. Kematian memang tak mengenal usia. Siapa saja layak menerima nasihat tentang kenyataan manis atau pahit kehidupan selepas mati. Kematian bagi para ulama terdahulu begitu melekat di hati, bahkan menjadi sesuatu yang patut ditangisi.

Kesedihan mereka bukan lantaran takut pada kematian itu sendiri, melainkan karena ketidakpastian: apakah diri ini kelak mendapat ridha Allah atau tidak. Sebuah ekspresi yang timbul dari kerendahan hati mereka. Ibrahim an-Nakha’i saat menjelang kematiannya, ia menangis. Lalu ada orang yang bertanya, “Apa yang membuat anda menangis?” Dijawab, “Tidak, aku tidak menangis. Hanya saja aku sedang menunggu utusan-utusan Tuhanku datang. Entah mereka akan membawa kabar gembira kepadaku berupa surga atau neraka.

Lihat Juga :  Mensyukuri Karunia Usia.

Ibnul Munkadir juga menangis ketika menghadapi kematiannya. Saat ditanya mengapa menangis, ia menjawab “Demi Allah, aku bukan menangisi dosa yang telah aku ketahui. Namun aku khawatir, aku telah melakukan sesuatu yang menurut dugaanku itu merupakan hal yang remeh-temeh, tapi menurut Allah ternyata hal tersebut adalah suatu hal yang besar. Wallahu a’lam. (*/Sumber: nu online/Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Semarang)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button