Polemik Guru Penggerak dan Non Penggerak: Jangan Diskriminasikan Guru
Refleksi Hardiknas 2024
SETIAP tanggal 2 Mei, diperingati sebagai hari pendidikan nasional atau disingkat Hardiknas.
Penetapan Hardiknas dilatarbelakangi oleh sosok yang memiliki jasa luar biasa di dunia pendidikan, yakni Ki Hadjar Dewantara, yang lahir pada tanggal 2 Mei 1889.
Namun peringatan Hardiknas diselenggarakan pada setiap tanggal 2 Mei tidaklah semata-mata dimaksudkan untuk mengenang hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara selaku Bapak Perintis Pendidikan Nasional saja. Lebih dari itu Hardiknas merupakan momentum untuk kembali menumbuhkan rasa patriotisme dan nasionalisme bagi seluruh insan pendidikan di Indonesia.
Tujuan peringatan Hardiknas adalah untuk memperkuat komitmen seluruh insan pendidikan akan penting dan strategisnya pendidikan bagi peradaban dan daya saing bangsa, mengingatkan kembali kepada seluruh insan pendidikan akan filosofi perjuangan Ki Hadjar Dewantara dalam meletakkan dasar dan arah pendidikan bangsa, serta meningkatkan rasa nasionalisme di kalangan insan pendidikan.
Di tahun 2024 ini salah satu isu tentang pendidik adalah agar seorang pendidik atau guru harus terus berbenah, terutama dalam tata kelola guru.
Banyak negara, termasuk Indonesia, telah menyadari bahwa peran guru sangat penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Tanpa guru berkualitas, segala upaya meningkatkan kualitas pendidikan bagaikan menggantang asap.
Guru berkualitas merupakan investasi yang berharga bagi dunia pendidikan. Jenjang dan pola karier bagi guru perlu menjadi perhatian para pengambil kebijakan agar investasi guru berjalan optimal. Semua guru perlu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan meningkat kariernya sesuai kompetensi yang dimiliki.
Selama lima tahun terakhir telah dilakukan berbagai upaya oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru dan kesempatan karier bagi guru. Salah satunya dengan program guru penggerak. Namun, dalam praktik implementasi di lapangan tidaklah mudah.
*Diskriminasi Guru*
Mengutip tulisan seorang guru bernama Catur Nurrochman Oktavian, beliau adalah Pengurus Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), mendapat masukan dari para guru, kepala sekolah, dan pengawas di sejumlah daerah terkait program guru penggerak. Terutama bagi guru-guru atau kepala sekolah di atas usia 50 tahun yang sesuai regulasi tidak dapat mengikuti program ini sehingga karier mereka menjadi kepala sekolah, dan pengawas, seakan-akan tertutup, padahal masa pensiun mereka masih cukup panjang.
Semua guru seharunya perlu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan meningkat kariernya sesuai kompetensi yang dimiliki.
Pertanyaan yang mendasar, apakah kualitas guru-guru yang tidak mengikuti program guru penggerak tidak lebih baik dibandingkan dengan guru-guru yang mengikuti program guru penggerak?
Sejauh ini belum ada kajian akademik yang komprehensif bahwa program ini telah menghasilkan guru-guru berkualitas nomor satu. Mereka menjadi istimewa dan mendapat privilese dalam kariernya lebih karena regulasi menyebutkan bahwa pemegang sertifikat guru penggerak diprioritaskan sebagai kepala satuan pendidikan, dan/atau pengawas.
Lantas bagaimana nasib puluhan, bahkan ratusan, ribu guru senior yang tak mengikuti program ini? Peluang karier mereka tertutup karena regulasi seolah lebih menganakemaskan karier guru penggerak? Apakah ini bukan semacam diskriminasi karier bagi guru, padahal prinsip dasar pendidikan adalah nondiskriminatif?
Program pendidikan guru penggerak juga tidak sehebat yang diperkirakan orang. Pertanyaan sederhana, apakah dengan pola pendidikan guru penggerak selama enam bulan (di awal program ini diluncurkan, pendidikan selama sembilan bulan), para guru yang mengikuti sudah bisa menjadi guru super tanpa ditempa banyak pengalaman di sekolah?
Kesempatan karier sama
Hal itu berbeda dengan para guru senior yang sejatinya sudah mendapat tempaan pengalaman di lapangan selama puluhan tahun. Seharusnya, semua guru (penggerak atau nonpenggerak) diberi kesempatan yang sama mengikuti seleksi kepala sekolah atau pengawas dan mendapat tempaan selama beberapa bulan di lapangan sebelum diangkat.
Siapa saja guru yang nanti memenuhi kriteria sesuai hasil tes dan tempaan praktik di lapangan, itulah yang memenuhi syarat diangkat sebagai kepala sekolah dan pengawas sekolah.
*Beri Kesempatan yang Sama*
Masih menurut pendapat Catur,
di masa mendatang, sebaiknya karier guru perlu diperjelas dan berjenjang. Misal, guru senior (minimal 10 tahun menjadi guru) yang telah menjalani berbagai tugas kedinasan membantu kepala sekolah selama beberapa tahun dapat dipromosikan sebagai kepala sekolah melalui seleksi terbuka dan menjalani praktik di lapangan selama beberapa bulan.
Kemudian, setelah beberapa tahun menjadi kepala sekolah (minimal lima tahun), bisa dipromosikan jadi pengawas sekolah. Dengan demikian, para guru yang jadi pengawas sekolah benar-benar memiliki pengalaman purna dan lengkap sehingga bisa menularkan pengalamannya secara komplet.
Guru penggerak selama ini diharapkan menjadi sosok yang mampu dalam berbagai hal sehingga tampak istimewa. Sejatinya, guru penggerak memiliki kelebihan dalam memimpin proses kegiatan belajar-mengajar yang dikemas secara menyenangkan sehingga membuat anak dapat berkonsentrasi dengan baik dalam belajar.
Namun, yang harus dipahami para pengambil kebijakan, mereka belum memiliki pengalaman dalam kepemimpinan, manajerial, sehingga agak kaku saat melaksanakan tugas sebagai kepala sekolah atau pengawas.
Batasan usia guru penggerak 50 tahun ke bawah dan minimal masa kerja lima tahun membuat guru penggerak berstatus ASN/PNS relatif memiliki pangkat/golongan rendah. Ini menjadi dilema dan kecanggungan saat mereka kelak harus jadi pemimpin di satuan pendidikan serta harus mengelola manajemen sekolah dan para guru yang memiliki golongan kepangkatan jauh di atasnya.
Seharusnya, semua guru (penggerak atau nonpenggerak) diberi kesempatan yang sama mengikuti seleksi kepala sekolah atau pengawas dan mendapat tempaan selama beberapa bulan di lapangan sebelum diangkat.
Selamat berjuang untuk guru. Tentu masalah dan tantangan ini tidak menyurutkan semangat guru untuk terus berjuang mencerdaskan generasi bangsa.
Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Insya Allah. (Novi Amanah/Berbagai Sumber)