Wae Rebo, Kota Cantik Menawan di Atas Awan
ASSAJIDIN.COM — Alhamdulillah, Wae Rebo dinobatkan sebagai kota kecil terindah di dunia.
Wae Rebo menduduki peringkat kedua dari 16 kota kecil tercantik di dunia tahun 2024. Di Urutan pertama ditempati Rothenburg ob der Tauber, Jerman.

Berikut ini 16 daftar kota kecil terindah di dunia 2024 versi media berbasis di Inggris TimeOut :
1. Rothenburg ob der Tauber, Jerman
2. Wae Rebo, Indonesia
3. SidiBou Said, Tunisia
4. Carmel-by-the-Sea, Amerika Serikat
5.Alberobello, Italia
6. Esperance, Australia
7. Ogmachi, Jepang
8. Grindelwald, Swiss
9. Kralendijk, Bonaire
10. Stepantsminda, Georgia
11. Guatape, Kolombia
12. Ilulissat, Greenland
13. Banff, Kanada
14. Sapa, Vietnam
15. Klaksvik, Kepulauan Faroe
16. Ghandruk, Nepal

Terpesona
Melansir Travel.detik.com, Desa Wae Rebo atau Waerebo adalah salah satu desa adat Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang masih tetap utuh dan terjaga keasliannya. Wae dalam bahasa Manggarai artinya ialah “air”.
Desa Wae Rebo, salah satu destinasi budaya yang ada di Kabupaten Manggarai.
Setiap orang yang menginjakkan kakinya di sini akan dibuat terpesona dengan keindahan lanskap alam dan budayanya.
Untuk sampai ke “surga” di atas awan ini diperlukan perjuangan dengan berjalan kaki. Tapi semua akan dibayar lunas dengan keindahan alam yang traveler dapatkan.
Di balik keindahan alam dan ragam kehidupan sosialnya yang unik, Desa Wae Rebo menyimpan fakta yang menarik untuk diulas.
Berikut ini 7 fakta Desa Wae Rebo:
1. Desa di Atas Awan
Desa Wae Rebo terletak di ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut. Desa ini menjadi salah satu desa tertinggi di Indonesia. Kerap dijuluki surga di atas awan, karena keindahan alamnya.
Kabut tipis sering menyelimuti desa ini di pagi hari. Karena lokasinya yang tinggi, untuk sampai ke Desa Wae Rebo pengunjung akan melakukan trekking sekitar 9 kilometer selama 2-3 jam. Sangat disarankan untuk menyewa jasa guide sebagai penunjuk jalan. Jangan lupa coba sensasi bermalam di Wae Rebo ya!
2. Rumah Adat Mbaru Niang
Wae Rebo terkenal dengan rumah adatnya yang disebut Mbaru Niang. Kata Mbaru berarti rumah, sedangkan kata Niang berarti tinggi dan bulat. Bentuk Mbaru Niang dimaknai sebagai suatu falsafah bahwa keseimbangan terwakili melalui bentuk lingkaran.
Mbaru Niang dibangun sebanyak tujuh rumah yang disusun berbentuk melingkar pada tanah yang datar. Satu rumah terdiri dari lima lantai dan dihuni oleh enam hingga delapan keluarga.
Pada bagian tengah lingkaran terdapat sebuah altar yang bernama Compang yang digunakan untuk menyembah Tuhan dan roh-roh leluhur.
3. Menjadi Warisan Budaya UNESC
Berkat keindahan alam dan kekayaan budayanya membuat Wae Rebo dinyatakan sebagai Warisan Budaya Dunia pada Agustus 2012 oleh UNESCO. Desa ini berhasil menyisihkan 42 negara lainnya.
Rumah Mbaru Niang yang ada di Wae Rebo dianggap sangat unik dan langka. Keunikan tersebut menjadikan desa ini sebagai salah satu lokasi Konservasi Warisan Budaya UNESCO.
4. Upacara Adat Penti
Warga Desa Wae Rebo memiliki hari spesial yang dirayakan setiap bulan November. Namanya Upacara Adat Penti.
Upacara ini merupakan salah satu perayaan untuk mengucapkan rasa syukur berkat hasil panen yang diperoleh.
Upacara ini juga menandakan sebuah awal dalam bercocok tanam di Wae Rebo.
Upacara Adat Penti juga menjadi salah satu daya tarik wisatawan ketika ingin berkunjung ke Desa Wae Rebo.
5. Sudah Berumur 1200 Tahun
Wae Rebo kini sudah berumur 1200 tahun dan sudah memasuki generasi ke-20. Dimana satu generasi berusia 60 tahun lamanya. Desa ini termasuk salah satu desa tertua yang ada di Flores.
6. Warga Lokal Keturunan Minang
Meskipun Desa Wae Rebo terletak di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang jauh dari tanah asalnya, ternyata penduduk desa ini memiliki darah Minangkabau, Sumatera Barat.
Empo Maro, nenek moyang Wae Rebo berasal dari Minangkabau yang melakukan perantauan jauh hingga ke Flores.
Setelah mengembara ke berbagai tempat, Empo Maro akhirnya menemukan tempat tinggal tetap di kawasan yang kini dikenal sebagai Desa Wae Rebo .
Meskipun memiliki latar belakang Minangkabau yang kental, namun menariknya, nama-nama penduduk di desa ini tidak mengikuti pola umum yang biasa ditemui di kalangan masyarakat Minangkabau.
7. Melakukan Upacara Kemerdekaan, Bendera Dipasang di Atas Rumah
Fakta unik lainnya dari Desa Wae Rebo adalah saat merayakan Hari Kemerdekaan RI. Warga Wae Rebo akan memasang bendera merah putih di atas rumah adat Mbaru Niang saat upacara berlangsung.
Unik ya! Meskipun lokasinya yang jauh, warga Wae Rebo tetap antusias dan hikmat menjalankan Upacara Kemerdekaan.

Rute Perjalanan
Mengutip Indonesiajuara.asia, kamu bisa menggunakan mobil maupun motor untuk menuju Wae Rebo dari Labuan Bajo.
Konsekuensinya, pilihan transportasi akan berpengaruh pada keseluruhan rute perjalanan.
a. Rute 1: Labuan Bajo – Ruteng – Denge – Pos 1 Pendakian
Jika kamu memilih menggunakan mobil dari Labuan Bajo ke desa Wae Rebo, maka kamu harus melewati Ruteng. Kamu bisa memilih menggunakan travel lintas daerah atau menyewa mobil harian.
Tarif untuk menumpang travel adalah sekitar Rp100.000,00 – Rp 300.000,00 per orang. Pilihan menyewa mobil lebih cocok jika kamu melakukan perjalanan dalam rombongan.
Untuk sewa mobil, tarif berkisar antara Rp 500.000,00 – Rp 700.000,00 per hari.
Setelah sampai dan beristirahat di Denge, perjalanan selanjutnya adalah menuju Pos 1 pendakian menuju desa tujuan.
Kamu cuma bisa berjalan kaki atau menggunakan jasa ojek lokal dari Denge ke Pos 1 pendakian sebagai cara ke desa Wae Rebo selanjutnya. Alasannya, akses ke Pos 1 harus melalui jembatan.
Biaya untuk jasa ojek cukup terjangkau, yaitu berkisar antara Rp 20.000,00-Rp 50.000,00 sekali jalan per penumpang.
Setibanya di Pos 1, kamu bisa kembali mengistirahatkan fisik sebelum menempuh pendakian menuju Pos 2 yang memakan waktu sekitar 2 sampai 3 jam dengan medan area hutan yang cukup menanjak.
Dari Pos 2, kamu harus menuju Pos 3 tempat membunyikan kentongan di rumah kasih ibu untuk memberi tanda pada penduduk Kampung di Atas Awan tentang kedatangan kamu sebagai pengunjung desa.
Perjalanan kamu dari Pos 2 untuk bermuara di desa nan indah tersebut berdurasi kurang lebih 1 jam melewati hutan dan perkebunan kopi penduduk desa dengan jalan yang lebih datar dan cenderung menurun.
b. Rute 2: Labuan Bajo – Lembor – Nangili – Dintor – Denge – Pos 1 Pendakian ke desa
Beberapa traveler lokal menyebutkan pilihan menyewa motor dari Labuan Bajo untuk menuju Denge sebagai rute perjalanan yang lebih cepat dibandingkan menggunakan mobil melalui Ruteng.
Pasalnya, jalur yang digunakan adalah jalur Lembor yang terhubung dengan sebuah jembatan dan hanya bisa kamu lewati menggunakan motor.
Dari Labuan Bajo, kamu perlu berkendara menuju Lembor melalui jalur Trans Flores dengan Gereja St. Petrus dan Paulus Denge sebagai acuan.
Untuk durasi perjalanan Labuan Bajo – Lembor adalah sekitar 1,5 jam.
Menurut laman Tour Flores Komodo, di Lembor, kamu perlu mengisi bahan bakar motor sekaligus sarapan berhubung di daerah setelahnya akan sulit mencari tempat pengisian bahan bakar maupun rumah makan.
Selanjutnya, ambil jalur perjalanan menuju Nangili mengikuti plang petunjuk jalan. Rute perjalanan ini menyusuri pantai dengan medan yang cukup mulus.
Tetapi, kamu harus bersiap melewati jalan yang tertutup air sebanyak dua kali, sehingga motor perlu kamu tuntun.
Melalui rute ini, kamu akan tiba di Desa Dintor setelah sekitar 2 jam perjalanan. Dari Dintor, ikuti plang perjalanan menuju Denge.
Seperti sebelumnya, pendakian dari Denge adalah rekomendasi terakhir cara ke Wae Rebo yang perlu kamu lakukan selama kurang lebih 3 jam.

Tips Kunjungan
– Saat tiba pertama kali di Desa Wae Rebo kalian akan dibawa ke rumah tetua adat untuk mengikuti acara penyambutan sederhana.
– Tetua adat akan memberikan doa dan berkah buat tamu yang datang, disini kita bisa menanya soal Wae Rebo tapi dibantu penerjemah guide yang kita bawa karena tetua adat memakai bahasa lokal.
– Wajib memberikan sumbangan seikhlasnya kepada tetua adat. Biaya per rombongan (15 orang misal) 50-100 ribu tergantung keikhlasan kalian.
– Selanjutnya guide akan mengarahkan kita ke salah satu rumah adat untuk beristirahat.
– Setiap 1 rumah bisa diisi 20-30 orang dengan posisi tidur melingkar mengitari tengah tiang. Kalian akan dicampur dengan rombongan lainya sampai terisi penuh.
– Sudah disediakan kasur dan selimut hangat untuk tidur pengunjung jadi kalian tak perlu khawatir.
– Cuaca di Wae Rebo cukup dingin karena berada di pegunungan.
– Usahakan Bangun Pagi sekitar jam 05.00 subuh dan mandi agar terasa segar, airnya cukup hangat kalo pagi.
– Paling lambat meninggalkan desa Wae Rebo pukul 09.00 agar tak kesiangan saat turunnya, terlebih yang ingin melanjutkan perjalanan.
– Biasanya saat treking naik/ turun bakalan banyak bertemu bule atau wisatawan lainya.

Tips Tambahan
– Bawa makanan sendiri/ tambahan buat cemilan saat treking dan jika makanan yang disuguhkan tidak sesuai selera kalian.
– Cukup bawa 1 botol besar air minum saja saat treking karena dipertengahan jalan ada sumber mata air yang bisa langsung diminum.
– Bangun lebih awal biar fotonya enggak banyak cendolnya heee
– Bawa mainan atau makanan kecil buat anak-anak yang sejak pagi sudah menunggu bermain-main bersama para pengunjung
– Tidak perlu membawa banyak barang atau pakaian saat ke Wae Rebo.
– Wajib bawa Jas hujan antisipasi hujan yang suka datang mendadak.
– Datang dengan rombongan.
8. Membawa uang tunai.

Waktu Terbaik
Bulan Oktober dan November adalah waktu terbaik untuk mengunjungi Wae Rebo.
Disebut waktu terbaik karena wisatawan akan bisa menyaksikan langsung pesta adat atau upacara adat masyarakat Wae Rebo yang unik.
Upacara adat tersebut adalah upacara Penti atau syukuran tahun baru. Upacara ini kerap dilakukan setiap tahun yaitu pada bulan Januari oleh masyarakat Manggarai pada umumnya.
Namun di sini, masyarakat Wae Rebo akan melaksanakan upacara Penti ini pada bulan Oktober atau November.
Hal ini karena bulan Oktober dan November merupakan bulan awal tanam karena mayoritas masyarakat Wae Rebo bermatapencaharian sebagai petani.
Di Wae Rebo, perhitungan Tahun Baru tidak jatuh pada Januari. Masyarakat Wae Rebo justru merayakan Tahun Baru pada bulan November.
Karena November adalah awal bulan dalam siklus perhitungan masyarakat Wae Rebo. (Dari berbagai sumber)
