KUA Bakal Layani Semua Agama, Ini Tanggapan Guru Besar UIN Jakarta

ASSAJIDIN.COM — Rencana mengubah Kantor Urusan Agama (KUA) menjadi tempat pencatatan perkawinan untuk semua pemeluk agama oleh Kementerian Agama (Kemenag) mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Salah satunya datang dari Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie.
Diberitakan sebelumnya, Menag Yaqut Cholil Qoumas berencana menjadikan KUA sebagai tempat pencatatan pernikahan bagi umat non-muslim.
“Kita sudah sepakat sejak awal, bahwa KUA ini akan kita jadikan sebagai sentral pelayanan keagamaan bagi semua agama.
KUA bisa digunakan untuk tempat pernikahan semua agama,” ucap Yaqut dalam dalam Rapat Kerja Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kemenag, Jumat (23/2/2024).
Gus Men berharap pengembangan fungsi KUA sebagai tempat pencatatan pernikahan agama selain Islam ini bisa menjadikan data-data pernikahan dan perceraian lebih terintegrasi dengan baik.
Sangat Rasional
“Ini gagasan out of the box namun sangat rasional karena sejatinya Kemenag adalah kementerian untuk semua agama. Dari sisi ide patut didukung oleh pelbagai pihak,” ujar Tholabi dalam keteranganya, Senin (26/2/2024).
Namun, kata Tholabi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Rencana tersebut perlu dikonsolidasikan terlebih dahulu melalui berbagai aspek, seperti regulasi, organisasi, dan kemampuan sumber daya manusia (SDM).
Tholabi menilai hal itu penting untuk mengkonsolidasikan berbagai aspek tersebut guna memastikan kelancaran jalannya rencana.
“Untuk merealisasikan gagasan tersebut, tentu sejumlah aspek seperti regulasi, organisasi, hingga SDM harus dibereskan terlebih dahulu,” papar Tholabi.
Misalnya dari segi regulasi, baik secara eksplisit maupun implisit, masih ada pemisahan dalam pencatatan perkawinan, yaitu antara perkawinan muslim dan non-muslim.
Tholabi menyatakan hal ini merupakan isu regulasi yang membutuhkan upaya yang cukup besar.
“Seperti di UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan UU Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan, dan PMA Nomor 34 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama (KUA),” urai Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Jakarta itu.
Koordinasi dan Harmonisasi
Pada konteks ini, Tholabi menegaskan bahwa hal tersebut dapat berdampak pada koordinasi dan harmonisasi dengan kementerian dan lembaga lainnya. Baik dalam hal regulasi maupun redistribusi beban kerja antarinstansi.
“Jadi tidak sekadar urusan regulasi, tapi harus melakukan penyamaan persepsi antar kementerian dan pelaksana teknis di lapangan,” kata Tholabi.
Pada bagian lain, Tholabi juga menyoroti satuan kerja yang bertanggung jawab atas masalah Kantor Urusan Agama (KUA), yaitu Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah yang merupakan bagian dari Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.
Menurutnya, penyesuaian organisasi di dalam kementerian tidak dianggap sebagai hal yang sangat penting.
“Saya kira, jika urusan internal organisasi di Kementerian Agama tidak terlalu rumit, tinggal reposisi dan membuat payung hukum saja,” ungkap Tholabi.
Dalam hal lain, Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) juga menyoroti kesiapan sumber daya manusia (SDM) di lapangan.
Perlu adanya peningkatan kapasitas dan pengetahuan untuk memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat.
“Soal SDM di lapangan juga perlu dipikirkan untuk meningkatkan kapasitas dan pengetahuan. Mereka adalah garda terdepan dalam pelayanan di bidang keagamaan, khususnya soal pencatatan perkawinan,” tukas Tholabi. (Detik.com)