Tafsir Ayat ‘Wa bil Walidayni Ihsana’ dari Aspek Bahasa
ASSAJIDIN.COM — Dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra’ (17) ayat 23, Surat Al-Baqarah (2) ayat 83, Surat Anisa (4) ayat 36, Surat Al-An’am (6) ayat 151, terdapat perintah “Wa bil walidayni ihsana.”
Dalam Surat Al-Ahqaf ayat 15 redaksi yang dipakai adalah “bi walidayhi ihsana.” Ini adalah perintah Al-Qur’an untuk kita berbakti kepada orang tua. Kali ini kita bahas dari aspek bahasa, khususnya penggunaan kata sambung ‘bi’ dan diksi ‘ihsan’. Seperti berulang kali saya bahas, kita tidak bisa bergantung semata pada terjemahan untuk dapat memahami kandungan makna Al-Qur’an.
Kita harus membuka kitab tafsir untuk belajar dari penjelasan para ulama yang memang mumpuni baik dari segi Bahasa Arab, maupun kaidah tafsir. Pertama, mengapa digunakan kata sambung ‘bi’ dalam frase “wa bil walidayni ihsana”?
Bukankah secara bahasa boleh juga digunakan kata sambung ‘ila’ (ke) dan ‘li’ (untuk)? Apa rahasianya Al-Qur’an memilih kata sambung ‘bi’? Kita mulai dengan penjelasan dari Sayyid Thantawi dalam kitab
Tafsirnya Al-Wasith: والإحسان يتعدى بحرفى الباء وإلى، فقال: أحسن به، وأحسن إليه، وبينهما فرق واضح، فالباء تدل على الإلصاق، وإلى تدل على الغاية، والإلصاق يفيد اتصال الفعل بمدخول «الباء» دون انفصال ولا مسافة بينهما، أما الغاية فتفيد وصول الفعل إلى مدخول إلى ولو كان منه على بعد أو كان بينهما واسطة
Menurut para pakar gramatika Arab, kata sambung ‘bi’ salah satunya mengandung makna ‘lil ilshaq’ (إلصاق), yakni menunjukkan hubungan yang erat dan dekat antara dua hal atau lebih. Faidahnya untuk menunjukkan kedekatan atau kelekatan.
Sementara itu, penggunaan kata sambung ‘ila’ mengandung makna jarak, dari satu hal ke hal lainnya. Misalnya kita menuju ke Makkah dari Madinah. Ini menunjukkan ada jarak antara kedua kota tersebut.
Dengan demikian, dari sudut bahasa saja, yaitu pemilihan kata sambung ‘bi’, bukan ‘ila’, menunjukkan Allah tidak menghendaki jarak walau sedikitpun dalam hubungan berbakti kepada kedua orang tua. Al-Qur’an menghendaki hubungan yang sangat erat dan dekat, bahkan lekat, antara anak dengan orang tuanya.
Kedekatan ini bukan hanya dimaknai secara fisik, tapi juga secara emosional dan spiritual. Tafsir Al-Misbah juga menjelaskan bahwa penggunaan kata sambung ‘li’ tidak digunakan karena kebaikan atau manfaat dalam berbakti kepada orang tua itu pada hakikatnya bukan untuk kepentingan orang tua, tetapi untuk kepentingan sang anak itu sendiri. Itu sebabnya tidak dipilih kata sambung ‘li’ yang bermakna peruntukan.
Sebagai tambahan, kata sambung ‘li’ juga bermakna kepemilikan. Tidak digunakannya kata ‘li’, menurut kitab Tafsir At-Tahrir wat Tanwir karya Ibn Asyur, boleh jadi mengindikasikan bahwa berbakti pada orang tua itu bukan soal memberi manfaat material, tetapi lebih menekankan kepada penghormatan pribadi kedua orang tua.
وإذا أريد به إيصال النفع المالي عُديّ بإلى، تقول أحْسَنَ إلى فلان، إذا وصله بمال ونحوه.
Kedua, kenapa diksi yang dipilih untuk berbakti pada orang tua itu ‘ihsan’? Bukan kata ‘adil’, misalnya? Kata ihsan dan derivasinya digunakan untuk mencakup apa yang membahagiakan manusia karena perolehan nikmat berkenaan dengan diri, jasmani mapun kondisinya.
Demikian penjelasan Tafsir al-Misbah dengan merujuk kepada keterangan pakar kosakata Al-Qur’an, yaitu Ar-Raqhib al-Asfahani. Itu sebabnya Al-Qur’an menggunakan kata ‘ihsan’ karena kandungan kata ini lebih dalam dibanding kata ‘adil’. Kalau ‘adil’ itu memperlakukan orang lain sama perlakuannya kepada kita maka ‘ihsan’ maknanya kita memperlakukannya lebih baik lagi. Jadi, dengan makna seperti ini kita bisa pahami
Perintah Al-Qur’an untuk berbakti kepada kedua orang tua harus dengan makna kedekatan kita kepada mereka berdua secara emosional dan spiritual.
Memberikan penghormatan bukan semata soal material. Dan, apa yang kita berikan dan persembahkan kepada orang tua harus lebih baik lagi, meskipun seandainya orang tua berperilaku jelek atau mengabaikan anaknya. Karena, yang dipakai bukan konsep adil, tapi konsep ihsan. Maka, makna “wabil walidayni ihsana” yang kita jelaskan di atas dari sisi kebahasaan tidak bisa kita temui hanya dengan sekadar membaca terjemahan Al-Qur’an.
Sekadar informasi, kitab yang membahas aspek kebahasaan dalam al-Qur’an, di antaranya Ijaz al-Bayan karya An-Naisabury, kitab Fi Lughatil Qur’an karya Al-Farra, Ma’ani Al-Qur’an karya Al-Akhfasy, Ma’ani al-Qur’an karya Az-Zajjaj, I’rab Al-Qur’an karya an-Nahas. Kedalaman makna ini baru kita ungkap dari segi kata sambung dan pilihan diksi saja, belum lagi kita bahas dari sudut asbabun nuzul, konteks ayat, korelasi dengan ayat lainnya dan penjelasan dari hadits Nabi serta opini para ulama tafsir. Masih banyak pesona penggalan ayat Al-Qur’an di atas yang belum kita jelaskan. Semakin kita tambah bacaan kita terhadap kitab-kitab tafsir, insyaallah akan semakin luas kita menyelami kedalaman samudera Al-Qur’an.
Waallahu a’lam bisshawab Tabik. (*/SUMBER: NU.OR.ID/ Penulis adalah Rais Syuriyah PCINU Australia dan New Zealand; Dosen Senior Monash Law School.)