Filantropi, Gerakan Moral Untuk Mencapai Peradaban Islam, Refleksi Gerakan Filantropi
Dalam Rangka Milad Muhammadiyah ke 111 dan Hari Relawan Sedunia 5 Desember
Oleh Andiwijaya.S.Si
-Sekretaris Majelis Pemberdayaan Manusia (MPM) Muhammadiyah Palembang
-Wakil Ketua Lazismu Palembang
-Mahasiswa Pascasarjana ITB Ahmad Dahlan Jakarta
ISLAM adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, salah satunya adalah cinta kasih dan kepedulian kepada sesama. Gerakan filantropi merupakan salah satu bentuk nyata dari nilai-nilai tersebut. Filantropi adalah kegiatan memberikan bantuan kepada orang lain yang membutuhkan, baik secara materi maupun non-materi.
Aktivitas filantropi dalam Islam sudah di implementasikan sejak awal Agama Islam. Lebih spesifik lagi filantropi dalam berkembang sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Hal ini dibuktikan dengan adanya perintah dan anjuran dalam Al Qur’an dan Hadis untuk berbuat baik kepada sesama, termasuk membantu orang yang membutuhkan.
Dalam Al Qur’an, terdapat beberapa ayat yang memerintahkan umat Islam untuk berbuat baik kepada siapa pun, termasuk diantaranya membantu orang yang membutuhkan.
Dalam pandangan Islam, filantropi ialah aktivitas yang amat mulia dan bisa membentuk ketaqwaan kita sebagai seorang muslim. Salah satu ayat tersebut adalah
“Dan (juga) orang-orang yang memberikan hartanya, karena ALLAH, kemudian mereka tidak mengiringi pemberiannya dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan menyakiti (perasaan orang yang diberi). Bagi mereka pahal disisi Tuhan mereka, dan tidak ada kekhawatiran bagi mereka, dan mereka tidak bersedih hati. “(QS Al Baqarah 262).
“Mereka bertanya kepada wahai Muhammad tentang apa yang harus mereka infaqka. Katakanlah,”Harta apa saja yang kamu infaqkan, hendaknya diperuntukkan bagi kedua orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin dan orang yang dalam perjalanan.” Dan kebaikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesunggunya Allah Maha Mengetahui.”
Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW, juga banyak yang mengajarkan umat Islam untuk berbuat baik kepada sesame, termasuk membantu orang yang membutuhkan. Salah satu contohnya.
“Tidaklah beriman seseorang di antara kalian sampai dia mencintai saudaranya sebagaiman dia mencintai dirinya sendiri”. (HR Bukhari).
Jika kita cermati dengan baik beberapa isi kandungan Al Quran dan sejumlah Hadis Rasulullah, maka terlihat kalau Islam sudah memberikan panduan atau aturan tentang sikap Kedermawanan sebagai bentuk instrument amal shaleh yang bisa mengantarkan atau menuntun seorang muslim terhindar atau jauh dari kerugian. Adapun bentuk instrument kebaikan itu dalam dua bentuk yang pertama wajib atau fardhu, sesuatu yang disebut dengan zakat, merupakan salah satu rukun Islam, yang mana Ketika rukun Islam, zakat ini dikerjakan makanya manfaatnya bukan hanya yang melaksanakan saja tapi juga bisa bermanfaat untuk banyak orang, apalagi kalau konsep pengelolaannya menjadi zakat produktif.
Jadi zakat ini rukun Islam yang bisa dirasakan oleh banyak orang langsung baik pelaku maupun penerima manfaat zakat, dibandingkan dengan empat rukun Islam lainnya yang bersifat Individualistik. Zakat terdapat dua bentuk yaitu Zakat Fitrah dan Zakat Harta (Mal). Dalam Al Quran kata Zakat dan Derivasinya disebut sebanyak 32 (tiga puluh dua) kali.
Ayat-ayat dalam Al Quran itu menegaskan instrument Kedermawanan yang bersifat anjuran itu adalah Shadaqa, Nafaqa, Ta’awana, Wahaba, Washiat dan Radzaqa. Kata Shadaqa dan Nafaqa serta derivasinya yang mengindikasikan aktivitas Filantropi sejumlah 24 (dua puluh empat) kali, kata Ta’awana dan Wahaba serta Derivasinya yang mengindikasikan kegiatan filantropi sejumlah 10 (dua puluh empat) kali.
Serta kata Washiat dan derivasinya mengindikasikan aktivitas filantropi sejumlah 30 (tiga puluh) kali.
Potensi Filantropi Islam di Indonesia
Aktifitas Filantropi Islam sudah di praktekkan sejak adanya komunitas muslim di Nusantara mulai sekitar abad 8-9 Masehi dan khususnya ketika Islam sudah menjadi kekuatan sosial dan politik dengan berdirinya Kerajaan-kerajaan Islam mulai abad ke 12 Masehi.
Seperti kita ketahui dalam Buku Karya Amelia Fauzia, dengan Judul , Faith and the State: A History of Islamic Philantropy in Indonesia (Leidon-Boston : Brill, 2013), yang membahas perkembangan historis filantropi Islam di Indonesia di masa silam, didalam buku tersebut menceritakan sejarah filantropi Islam Indonesia sejak masa Islamisasi Nusantara pada abad 13 Masehi, melintasi masa kerajaan-kesultanan Islam, Penjajahan Belanda dan masa pascakemerdekaan, termasuk masa kontemporer. Sepanjang Sejarah pra-kemerdekaan dan pasca kemerdekaan Indonesia, peran filantropi Islam telah memberikan kontribusi penting dalam kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat luas.
Tak perlu diragukan lagi bahwa kesenjangan sosial dan ekonomi dapat dilihat secara kasat mata saat ini, tidak lain adalah dampak dari derasnya arus globalisasi dan perkembangan dunia modern yang tidak dapat dibendung. Hal ini cerminan dari kuatnya sikap individualism yang tidak mementingkan kepentingan disekitarnya.
Filantropi Islam hadir dengan membawa nilai-nilai moralitas yang didasari oleh semangat humanis (kemanusiaan), egaliter, sehingga menjadi penting untuk menghilangkan segala bentuk diskiriminasi dan kesenjangan, khususnya untuk menjaga keberlanjutan hidup manusia di muka bumi ini. Sebagai sebuah Gerakan atau gagasan yang berkembang di Indonesia, filantropi cukup memberikan kontribusi dalam pengembangan masyarakat Islam di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda hingga sampai masa saat ini, baik dalam bentuk materi maupun jasa.
Di Indonesia, seperti yang sudah kita ketahui bahwasanya filantropi Islam itu dalam bentuk ziswaf (zakat, infaq, sedekah, wakaf) serta dana sosial keagamaan lainnya.
Potensi sangat besar. Ketua Baznas RI pernah mengatakan, potensi Ziswaf saja di Indonesia itu pada tahun 2022 lebih dari 500 triliun rupiah. Dengan rincian Rp 327 Triliun Zakat, Rp 187 Triliun wakaf, sehingga potensinya sekitar Rp 500 Triliun lebih, itu belum termasuk Sedekah/Infaq dan dana sosial lainnya. Untuk saat ini Baznas RI baru menyentuh angka Rp 150 Triliun lebih dalam penghimpunan ziswaf.
Walaupun pada kenyataannya potensi itu belum tercapai, aliran dana ziswaf kian hari terus tumbuh dan berkembang menjadi semacama “perebutan” antar lembaga ziswaf.
Sejak dari pemerintah dalam hal ini baznas sebagai regulator dan eksekutor, LSM/lembaga nirlaba nonprofit, ormas Islam hingga masjid, mushola pun mengurusin ziswaf.
Selain potensi penghimpunan dana ziswaf berupa uang atau dana, kita juga bisa melihat potensi sedekah dan wakaf dalam bentuk barang, ada berbagai macam gerakan filantropi yang di inisiasi oleh lembaga-lembaga sosial filantropi dalam sebuah kegiatan sosial kemanusiaan, misal Gerakan Wakaf Pohon, tujuannya untuk keberlangsungan ekosistem makhluk hidup, Gerakan Sedekah Sampah/Bank Sampah, Gerakan Barang Bekas yang bermanfaat, Gerakan Infaq Beras dan masih banyak lagi organisasi atau lembaga filantropi yang bergerak tidak hanya menghimpun dana tapi juga menghimpun bantuan lainnya.
Masyarakat Indonesia terkenal dengan tingkat kedermawanan yang tinggi, sehingga potensi gerakan sosial kemanusiaan/gerakan filantropi tumbuh subur di seluruh daerah di Indonesia. Mulai dari tingkat nasional, propinsi, kota /kabupaten, bahkan sampai tingkat desa/kelurahan serta RT/RW.
Di Indonesia munculnya gerakan filantropi ini lahir dan tumbuh dari tatanan paling bawah, sebut saja misalnya pada “akar rumput”, mereka secara sadar dan sukarela atau jiwa kerewalananya memunculkan spirit dakwah dengan hadirnya ormas-ormas yang bersifat keagamaan. Pada zaman ketika Nusantara masih di jajah oleh para kolonial, ide dan gagasan tentang kegiatan sosial itu sudah terlaksana, bahkan gerakan pada waktu itulah yang menjadi cikal bakal hidupnya gerakan/lembaga filantropi di Indonesia. Sebut saja Muhammadiyah dan NU mungkin dua diantara sekian banyaknya ormas yang muncul dan tumbuh pada zaman itu.
Sedangkan pada era sekarang kekuatan gerakan filantropi lebih itu semakin berdaya karena dikelola oleh lembaga-lembaga sosial yang professional yang menginisiasi lahirnya kemandirian dan kesejahteraan bagi kaum lemah.
Negara Indonesia mengakui pentingnya eksistensi agama tanpa menyebut agama tertentu, apalagi Islam sebagai agama mayoritas, tidak sebagai dasar atau ideologi negara.
Akan tetapi pada hakikatnya Islam menjadi faktor utama dan penting sebab mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Dinamika ini mulai terasa ketika dipertengahan kepemimpin Presiden Soeharto. Presiden Soeharto percaya agama adalah instrument yang dapat digunakan dalam control sosial dan mengantisipasi gerakan komunis. Dari sinilah muncul gerakan filantropi di era presiden Soeharto dengan mendirikan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (YABMP) yang memungut donasi Rp 1000 dari setiap PNS dan anggota ABRI pada waktu itu yang beragama Islam. Dana yang terkumpul kemudian disalurkan untuk membangun masjid dan kegiatan dakwah lainnya. Hari ini mungkin generasi 80 hingga 90an sering melihat masjid-masjid Pancsila itu adalah legacy dari program sosial dakwah dari Yayasan yang dibentuk era presiden Soeharto. dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya secara tidak resmi mengamnbil peran penting dalam perkembangan filantropi Islam pada waktu itu. Dari sinilah kemajuan Pendidikan dan ekonomi umat menghasilkan peningkatan potensi dana filantropi Islam di Indonesia.
Hal menjadi motivasi munculnya Lembaga Swadaya Masyarakat melalui filantropi Islam yang menghasilkan berbagai kisah cerita sukses. Tidak hanya LSM dari umat Islam tetapi juga dari umat agama lain. Karena pada dasarnya setiap agama memiliki konsep berderma. Meskipun semua agama memiliki konsep berbagi atau saling membantu, pada hakikatnya mohon maaf bukan maksud menyombong agama Islam, konsep berderma pada agama Islam lah yang lebih detail dan sistematik.
Dapat kita ketahui seprti Filantropi dalam Islam terdapat beberapa Instrument-instrument seperti zakat, Infaq, Shadaqoh dan Wakaf serta Hibah. Zakat lah yang memilki derajat lebih tinggi dari instrument lainnya. Sebab perintah zakat itu selalu berbarengan dengan perinta Shalat seperti dalam QS. AL Baqarah 43 serta bagi seorang yang beragama Islam, dan juga memenuhi syarat sah zakat itu merupakan suatu kewajiban seperti dalam QS At Taubah 103).
Selain legacy dari presiden Soeharto berupa Yayasan yang didirikannya, ada faktor-faktor lain yang menyebabkan lahirnya organisasi-organisasi amal sosial kemasyarakatan dan keagamaan. Diantaranya adalah problematika politik dan ekonomi. Lembaga tersebut muncul karena melihat ketidak cakepan pemerintah dalam melayani hajat hidup rakyatnya misal menciptakan keadikan dan kesejahteraan sosial.
Dari problematika itulah dirasa perlu lahir sebuah gerakan atau ajakan untuk menggalang dana dari masyarakat khususnya umat Islam dengan tujuan menolong masyarakat itu sendiri.
Untuk saat ini dapat kita lihat trend tumbuh kembangnya lembaga ziswaf dan lembaga kemanusiaan lainnya. Lembaga Zakat Dompet Dhuafa, Rumah Zakat itu beberapa lembaga ziswaf yang tumbuh dari kalangan masyarakat bawah atau akar rumput.
Misal dompet dhuafa, kalau kita baca di situs resmi mereka, Lembaga ini berdiri tahun 1993 dari sebuah gerakan dakwah dengan nama program Corps Dakwah Pedesaan (CDP) yang diinisiasi sekumpulan para mahasiswa yang sedang menempuh Pendidikan di Yogyakarta., Sebuah gerakan yang meliputi mengajar ilmu agama, pengetahuan umum, dan pemberdayaan masyarakat dikawasan miskin di daerah Gunung Kidul. Sekumpulan mahasiswa ini menyisihkan uang saku mereka yang dikirim oleh orang tua mereka,untuk mengerakan atau menghidupkan program sosial kemanusiaan di daerah tersebut, dari situlah, timbul gerakan galang dana melalui kolom harian Surat Kabar terbesar pada waktu itu, Harian Umum Republika. Secara khusus membuat Rublik Khusus dengan nama “Dompet Dhuafa”,sebuah program mengajak pembaca untuk peduli dengan program Corps Dakawh Pedesaaan dengan cara berdonasi melalui tersebut, mungkin pada waktu itu masih sistem transfer bank, serta dikolom yang salam juga dilaporkan keberlangsungan program tersebut atau bahasa sekarang report bulanan program sosial. Dari cerita inspirasi yang melahirkan lembaga zakat yang hari ini kita kenal dengan nama Dompet Dhuafa.
Sebuah lembaga zakat pertama yang lahir di luar pemerintah alias lahir dari Rahim masyarakat, sesuai dengan Undang-undang RI Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat,serta pada tahun 2001 Resmi menjadi Lembaga Zakat Nasional dari Kementerian Agama Republik Indonesia.
Ada tiga hal yang dapat kita temukan dalam rangka membahas dan melihat tumbuh dan potensi berkembangnya filantropi di Indonesia. Pertama potensi filantropi itu muncul dari kalangan tradisional atau masyarakat bawah. Kedua filantropi muncul karena adanya organisasi masyarakat sipil (ormas) dan Ketiga, filantropi muncul dan dibentuk dari dunia usaha dan organisasi penyandang dana.
Peran Filantropi Dalam Membangun Negara
Negara Indonesia memiliki beberapa keterbatasan dalam upaya membantu memberikan pelayanan terbaik buat masyarakatnya. Tentu banyak faktor yang menyebabkan keterbatasan itu, diantaranya mungkin saja bisa kita sebut kemampuan dalam hal finansial dan ketidak mampuan negara dalam sistem birokrasi pemerintahan yang memberikan respon atas laporan/ pemberitahuan tentang tuntutan atau ajuan publik berupa layanan kesejahteraan ekonomi. Dampak dari ketidakmampuan dalam mengelola kebutuhan publik ini akan menjadi krisis kepercayaan atau distrust terhadap keberlangsung tata kelola negara. Negara sejatinya harus mampu berkolaborasi dengan semua unsur, bisa merangkul peran masyarakat sipil diluar pemerintahan dalam memajukan negara.
Negara Indonesia kalau kita lihat dalam kondisi saat ini belum termasuk negara yang mapan dalam pengelolaan pelayanan kepada kelompok miskin dan marjinal. Indonesia masih atau sedang berusaha dengan mulai membangun legitiminasinya untuk memberikan sektor pelayanan kesejahteraan sosial kepada masyarakat akan tetapi dalam kurun waktu bersamaan proses Pembangunan yang sedang terus berjalan. Langkah ini penuh dengan dilematis. Di satu sisi negara harus memiliki jaminan kemampuan dalam sektor finansial yang sangat terbatas, tetapi disisi lain kehadirannya dihadapkan pada problematika yang sulit dengan tingginya angka kemiskinan, kesenjangan sosial dan multi problem sosial lainnya. Mungkin kita pernah mendengar apa yang disebut dengan welfare state yang dianut beberapa negara di Eropa, Welfare State ini dikatakan hanya mampu memiliki peran optimal disaat kondisi perekonomian suatu negara itu kondusif dan terus tumbuh, namun Ketika negara tersebut mengalami krisis, sektor pelayanan public yang sangat dibutuhkan masyarakat justru mengalami kondisi tersulit dalam memberikan pelayanan sosialnya, dampak dari keterbatasan fiscal.
Negara yang menganut welfare state biasanya menempatkan status kenegaraan / pemerintah sebagai satu-satunya actor dominan alias ketergantungan dengan peran pemerintah dalam penyedia atau membantu kesejahteraan sosial dalam rangka rekayasa struktur sosial. Sementara di Indonesia negara hadir bukan hanya satu-satunya aktor yang terlibat dalam pelayanan atau memberikan kesejahteraan sosial, akan tetapi ada sektor lain yang muncul, dengan menunjukkan eksistensinya dalam membantu memberikan pelayana sosial, yaitu pihak yang informal yang memberikan layanan kesejahteraan sosial atau disebut dengan volunteer sector.
Vandendael, Anoux pada tahun 2013 pernah melalukan penelitian di Indonsia dengan judul “Stimulating Civil Society The Perspective of INGO; an Explorative Study of Indonesia” , Erasmus University. Yang mengkaji peran Lembaga Swadaya Masyarakat asing dalam merangsang perkembangan masyarakat sipil di Indonesia. Dalam penelitiannya mengatakan, potensi besar sebagai pelengkap atau penopang kesejahteraan sosial yang sangat sulit dipisahkan adalah sebuah Gerakan yang disebut dengan Filantropi. Filantropi dalam negara berkembang adalah sebagai bentuk respon masyarakat yang peduli terhadap keterbatasan negara, yang muncul dari tatanan masyarakat kelas menengah. Munculnya filantropi ditandai dengan hadirnya lembaga swadaya masyarakat yang mengandalkan pendanaan dari masyarakat baik lokal maupun internasional.
Filantropi itu selalu berikhtiar mengajak keterlibatan dan kepedulian masyarakat, untuk bisa memberikan kontribusi berupa sumber daya yang dimiliki sehingga melahirkan aktifitas sosial. Vandendael dan Anoux mengatakan, filantropi yang paling potensial dan memiliki pengaruh yang kuat adalah filantropi agama, khususnya filantropi Islam. Dari sudut pandang teologis dan sosiologis, agama punya peranan penting dalam andil keterlibatan untuk mewujudkan keadilan sosial, dengan aksi nyata dalam ranah sosial, sehingga mewujudkan keseriusan bersama dalam lingkaran hidup masyarakat dhuafa. Kita sering melihat bahkan mungkin merasakan langsung bentuk dari filantropi islam hanya sebatas pengertian normatif saja, belum secara efektif terwujud dalam gerakan-gerakan sosial yang terorganisir dengan manajemen yang baik.
Kemandirian lokal dalam kerangka pembangunan adaptif kreatif membutuhkan upaya untuk menemukan formula konsep pembangunan dari khazanah lokal yang tersedia. Salah satu komponen dasar khazanah lokal adalah agama, baik dalam wujud teologis, spiritual, kaidah normative, maupun tradisi luhur yang berkembang dalam kelompok agama. Salah satu aspek kontributif agama yang sangat relevan dan dibutuhkan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial adalah gerakan filantropi (kedermawanan), terutama berkenaan dengan konsep-konsep tentang zakat, infak dan sedekah. Konsep-konsep tersebut sering kita sebut dengan filantropi Islam. Filantropi Islam memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan dan dimanfaatkan agar dapat mendukung upaya-upaya pengembangan masyarakat Islam, baik di Indonesia atau dunia. Filantropi Islam dapat berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat muslim dengan memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan, baik berupa materi maupun non-materi. Banyak penelitian sering kita temukan yang menyatakan rumusan model pengembangan masyarakat Islam salah satu mengutamakan potensi kebermanfaatan dana yang bersumber dari dana filantropi seperti Zakat, Infaq dan Sadaqah serta Wakaf. Tentunya untuk memaksimal potensi itu diperlukan kesadaran masyarakat menunaikannya. Peran lembaga-lembaga yang mengelola dana filantropi harus memberikan terobosan-terobosan menarik melalui berbagai upaya seperti sosialisasi, edukasi dan kampanye, sehingga masyarakat tergerak untuk menyalurkan dana filantropi (ziswaf) ke lembaga tersebut.
Hal penting berikutnya adalah kreatifitas dalam mengelola dan mengembangkan program-program filantropi yang inovatif dan berkelanjutan. Kalau bahasa dari lembaga ziswaf itu salah satunya program zakat produktif. Mengemas dana zakat menjadi program produktif bukan hanya sekedar konsumtif. Program-program tersebut harus memenuhi kesesuaian dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat, serta berdampak signifikan bagi kehidupan kesejateraan masyarakat.
Setelah melaksanakan edukasi yang menarik seputar dana filantropi dan melaksanakan program filantropi yang produktif, yang tak kalah penting berikutnya adalah transaparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana filantropi. Ini penting agar publik bisa memastikan bahwa dana filantropi digunakan sesuai dan tepat sasaran serta bermanfaat bagi masyarakat banyak.
Ketika dana filantropi dari zakat, infaq dan shadaqah serta wakaf di gunakan sesuai dengan kebutuhan dan bisa membantu banyak masyarakat pra-sejahtera, kita yakin akan bisa mengoptimal perubahan status sosial masyarakat pra-sejahtera menjadi lebih baik atau Sejahtera, yang nanti dikemudian hari bisa menjadi pemberi manfaat juga ke masyarakat yang membutuhkan lainnya. Dalam bahasa lembaga zakat itu, “dari penerima manfaat menjadi pemberi manfaat atau dari mustahik menjadi muzaki”. Peran-peran lembaga pengelola dana filantropi ini lah yang kemudian nanti bisa membantu dalam membangun kehidupan masyarakat dalam sebuah negara.
Wajah Filantropisme Muhammadiyah sebagai Implementasi Islam Berkemajuan. Dalam Menopang Negara
Sekretris Umum PP Muhammadiyah pernah mengatakan Islam berkemajuan dalam pandangan Muhammadiyah diaktualisasikan dengan dua hal. Pertama, Islam sebagai agama yang berkemajuan (dinul hadlarah). Artinya mengajarkan Islam yang ajaran dan nilainya mengandung serta mendorong kemajuan. Kedua , mengamalkan Islam yang berkemajuan untuk meraih kemajuan. Sepertiny yang pernah dikatakan KH. Ahmad Dahlan menilai bahwasanya Islam itu pada mulanya agama yang berkilau tapi kemudian menjadi kusam karena umat Islam nya sendiri.
Salah satu bentuk pembaharuan yang dilakukan Muhamadiyah adalah mendorong perubahan kultural tentang pembayaran zakat. Sebelumnya zakat dibayarkan kepada para tokoh agama setempat dan dijadikan pendapatan bagi mereka. Seiring berjalannya waktu dan regulasi dari kebijakan pemerintah tentang tata kelola ZISWAF. Muhammadiyah Melahirkan Lembaga Amil Zakat Nasional Muhammadiyah (LAZISMU). Muhammadiyah mendorong agar zakat dikumpulkan dan disalurkan kepada fakir miskin dan asnaf lainnya serta tepat sasaran.
Dorongan untuk berzakat dan bersedekah ini memunculkan semangat pada kader, anggota dan jamaah Muhammadiyah untuk mendermakan uang, tenaga, bahkan mewakafkan kelebihan asset berupa tanah atau rumah untuk mendirikan berbagai fasilitas pelayanan Muhammadiyah di daerahnya masing-masing. Hampir semua fasilitas yang didirikan di era awal perkembangannya adalah dukungan penuh dari anggotanya.
Filantropisme Muhammadiyah merupakan salah satu wujud implementasi Islam berkemajuan dalam menopang negara. Filantropisme Muhammadiyah diwujudkan melalui berbagai kegiatan sosial, seperti: Pendidikan: Muhammadiyah memiliki ribuan sekolah, mulai dari TK hingga perguruan tinggi. Sekolah-sekolah Muhammadiyah memberikan akses pendidikan yang berkualitas bagi masyarakat dari berbagai kalangan, termasuk masyarakat miskin. Kesehatan: Muhammadiyah memiliki ribuan rumah sakit, klinik, dan puskesmas. Rumah sakit dan klinik Muhammadiyah memberikan pelayanan kesehatan yang terjangkau bagi masyarakat. Kesejahteraan sosial: Muhammadiyah memiliki berbagai lembaga sosial yang memberikan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan, seperti panti asuhan, panti jompo, dan panti rehabilitasi. Kemanusiaan: Muhammadiyah juga aktif dalam kegiatan kemanusiaan, seperti memberikan bantuan kepada korban bencana alam dan konflik. Filantropisme Muhammadiyah memiliki beberapa peran penting dalam menopang negara, yaitu: Meningkatkan kesejahteraan masyarakat: Filantropisme Muhammadiyah memberikan akses pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial kepada masyarakat dari berbagai kalangan, termasuk masyarakat miskin. Hal ini dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan mengurangi kesenjangan sosial. Membangun masyarakat madani: Filantropisme Muhammadiyah mendorong masyarakat untuk bergotong royong dan saling membantu. Hal ini dapat memperkuat rasa kebersamaan dan solidaritas di masyarakat. Menjaga keutuhan bangsa: Filantropisme Muhammadiyah memberikan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan, termasuk masyarakat yang terkena bencana alam dan konflik.
Hal ini dapat memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Filantropisme Muhammadiyah merupakan wujud nyata dari komitmen Muhammadiyah untuk mewujudkan Islam berkemajuan. Filantropisme Muhammadiyah telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan membangun masyarakat madani. Filantropisme Muhammadiyah merupakan salah satu kekuatan penting yang dimiliki bangsa Indonesia.
Filantropisme Muhammadiyah dapat menjadi teladan bagi organisasi-organisasi lain dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan membangun masyarakat madani.