ALFURQON SCHOOL

Sebuah Refleksi 20 Tahun SIT Al-Furqon Palembang : Pengabdian Tanpa Batas

Oleh:  Dwi Murni, SE

Kepala Keuangan SIT Al Furqon Palembang

PENDIDIK hmerupakan profesi yang mulia. Sesuai dengan sebaris kata bermakna dari ‘Hymne SIT Al Furqon” ada serangkai kata: “Kelak menjadi Insan Mulia”. Penulis lagu tersebut tentunya memiliki cita cita agar kelak terwujud generasi yang berakhlak mulia. Begitupula sebagaimana seorang pendidik yang berjuang untuk mewujudkan hal tersebut, yang dalam upayanya tak sedikit pengorbanan waktu dan tenaga di keluarkan tanpa mengharapkan imbalan tanda jasa.

Hal tersebut dapat terjadi, tentunya karena dalam hati seorang pendidik terpatri niat untuk mengabdi, mengabdi bagi negeri khususnya membangun generasi Qur’ani demi kebangkitan umat Islam Indonesia.

Inilah Kisahku
Menjadi bagian dari dunia Pendidikan tentunya tidak pernah terpikir saat saya berkuliah di jurusan Ekonomi Universitas Bengkulu, karena pastilah yang dipikirkan selepas kuliah akan berkecimpung di dunia perusahaan atau perbankan.

Qodarullah saya ditakdirkan menjadi bagian di SIT Al Furqon tahun 2003, ya tepat 20 tahun yang lalu saya dipanggil untuk mengikuti tes dan wawancara di lembaga ini. Saya berpikir saya akan bergabung di sebuah sekolah yang sudah ada murid dan gurunya.

Namun dugaan saya meleset, kala itu SIT AL Furqon baru saja didirikan oleh seorang owner keturunan Minang bernama Bapak Emil Rosmali dan istri beliau (almh) Umi Desmawati. Pak Emil langsung mewawancarai saya menanyakan latar belakang saya dan kesiapan bergabung di lembaga ini.

Tentunya saya siap karena saya memang mendambakan bekerja di lingkungan yang bisa membawa saya ke arah yang lebih baik, bukan saja hijrah dari kota asal saya namun juga hijrah dari kejelekan yang sebelumnya saya lakukan, itulah tujuan saya di sini.

Saya terkejut sewaktu mendengar bahwa sekolah ini belum ada murid dan tenaga pendidiknya. Ternyata kami yang diterima saat itu yakni 2 administrasi, 10 guru , 1 Kepala Sekolah menjadi orang orang pertama dalam merintis pembukaan Sekolah Islam Terpadu Al Furqon, dan kami disebut sebagai pendidik karena apapun tugas dan tanggung jawab yang diemban, nantinya sosok kami akan menjadi contoh bagi semua siswa.

Saya ditempatkan sebagai tenaga administrasi keuangan merangkap Front office yang berkantor di Ruko yang sekarang menjadi Hotel Al Furqon.

Lihat Juga :  SIT Al- Furqon Terapkan Kehidupan Islami Seperti di Pondok Pesantren

Bersama tim guru dan Kepala Sekolah , kami bahu membahu mencari siswa yang bersedia mendaftar di sekolah ini sesuai quota yang tersedia adalah 60 siswa untuk SD kelas 1 dan 30 siswa untuk siswa TK.

Saat itu keberadaan Sekolah Islam Terpadu masih baru di kota ini, sehingga pengetahuan masyarakat mengenai konsep / kurikulum yang diterapkan juga masih minim, menjadi hambatan sekaligus tantangan bagi saya yang baru berkecimpung di dunia pendidikan untuk menginformasikan hal tersebut kepada calon orang tua murid .

Saya ingat sekali pertanyaan yang mendasar dari calon walimurid kala itu mengenai biaya sekolah yang lumayan tinggi dibanding sekolah negeri, saya berupaya menjelaskan bahwa sekolah ini menggunakan konsep full day artinya anak belajar satu harian dari pagi sampai sore dengan kurikulum diknas dipadukan kurikulum agama, mereka akan mendapat fasilitas makan maupun snack, layanan kesehatan, perhatian yang cukup besar serta cinta yang tulus dari pendidiknya.

Ketika hal itu dijelaskan dengan sepenuh hati, calon wali murid dapat memahami dan mendaftarkan anaknya di sekolah ini.
Alhamdulillah setelah segala upaya promosi baik media masa, menyebarkan brosur, mengikuti stand bazar di hotel dan mall, quota dapat terpenuhi maksimal sebelum tahun ajaran baru dimulai. Pada saat upacara hari pertama di laksanakan saya terharu sekaligus bahagia karena orang tua menaruh kepercayaan kepada sekolah baru ini.

Saya masih ingat, saat itu hanya mendapat Gaji sebesar Rp. 400.000,- sebulan, dan itu tidak menggentarkan hati saya, karena niatan dalam hati adalah untuk membantu memberikan layanan pendidikan Islam kepada orang tua dan anak anak tanpa memperhitungkan imbalan.

Saya bersyukur, bahwa saya tidak pernah mengalami kekurangan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, karena rezki dari Allah datang dari banyak cara. Lingkungan yang baik membawa dampak yang positif bagi saya merupakan rezki yang tak ternilai.

Enam tahun berselang, bersama tim yang dibentuk owner, kembali dirintis pembukaan unit baru yakni SMP sebagai sekolah lanjutan bagi siswa internal maupun eksternal, sekaligus menyediakan fasilitas asrama bagi siswa luar kota. Masyarakat yang berminat menyekolahkan anaknya dengan konsep berasrama cukup tinggi.
Pada 3 tahun selanjutnya kembali unit SMAIT hadir melengkapi unit pendidikan yang ada di SIT Al Furqon.

Lihat Juga :  Kultum Ramadhan "Menutup Aurat" Suatu Kewajiban

Menjadi bagian penting menhadirkan lulusan yang tersebar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia saat ini.
Seiring perjalanan waktu, ada beberapa rekan dari awal perjuangan mengundurkan diri dan ada pula yang meninggal dunia, sedih pastilah dirasakan, tapi disaat yang sama berdatangan rekan rekan baru yang menjadi bagian perkembangan SIT Al Furqon dari waktu ke waktu.

Sampai akhirnya saya diamanahi sebagai kepala Keuangan yang mengelola penerimaan dan pengeluaran, serta perencanaan. Saya bersama rekan rekan mengalami pasang surut jatuh bangunnya keberadaan lembaga ini, yang puncaknya saat pandemi covid melanda, dimana hampir disemua sektor terkena dampak akan kondisi diluar kendali manusia, apalagi sekolah swasta terasa sekali imbasnya.

Banyak orang tua walisiswa mengalami penurunan pendapatan bahkan kehilangan pekerjaan, mengajukan penyesuaian besaran uang sekolah. Lembaga tentunya memberikan kebijakan yang terbaik bersifat win win solution baik bagi orang tua maupun bagi keberadaan lembaga ini sendiri.

Kondisi demi kondisi yang terjadi tidak menciutkan niat saya untuk terus belajar agar dapat bermanfaat, membangun tim yang solid untuk memberikan pelayanan yang terbaik, sehingga kepercayaan orang tua maupun rekan sejawat dapat selalu dijalankan, menjadikan pengalaman sebagai pelajaran berharga agar dikemudian hari dapat menjadi lebih baik lagi.

Sebuah Refleksi
Jiwa pengabdian tidak akan memperhitungkan berapa besar timbal balik yang didapatkan dari yang dikerjakannya; sekalipun memang, sebagai manusia membutuhkan untuk kehidupannya sehari-hari. Tetapi hati seorang yang penuh pengabdian, tidak akan memikirkan hal itu lebih dari niatan hatinya untuk membangun generasi unggul dengan ilmu yang dimilikinya.

Inilah “Pengabdian Tanpa Batas”. Manusia bisa berkata kalau “kesabaran itu ada batasnya”, tetapi hati sang Pengabdi tak bergeming dengan aral yang melintang. Meski tak seberapa yang didapatkan, namun hatinya tetap ikhlas untuk mengabdi, menjadi bagian dari membangun peradaban umat, melahirkan calon pemimpin di kemudian hari. Harapan akan selalu ada, karena masa depan tidak akan hilang. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button